Anak-anak senang menjadikannya guyonan. Jika sedang melintas, mereka berlari kecil-kecil, mengekor pada bayangan perempuan ini, sambil serempak bersorak-sorak, “Torroko-torroko na kandeko batitong!![1]!” Sebagian lagi akan berkata, “Minggirko, lewatki nenek pakamekame, na curiko nanti[2].”
Sementara perempuan yang diteriaki sedemikian rupa, melenggang saja. Tak hirau pada keusilan anak-anak tersebut. Baginya, itu tak lebih dari angin lalu. Dia telah terbiasa digempur cibiran. Makanya, dia memilih membangun rumah kecil pada sepetak tanah di pinggiran sungai, untuk menghindari kebisingan orang-orang yang panjang lidah, demikian dia memberi istilah. Walau begitu, masih ada saja yang sengaja datang membuang masalah. Semisal, para perempuan yang sahaja lewat, lalu melempar gunjingan bahwa salah satu di antaranya melihat seorang laki-laki keluar masuk di rumah itu, dengan suara keras dan cekikan mesum. Atau, para lekaki yang berkelakar saat melewati daun pintu rumahnya, bahwa kalau pun digaji mereka takkan pernah sudi dilamar oleh perempuan itu.
Pernah suatu ketika, penduduk kampung mendatangi rumahnya. Seorang ibu menghimpun massa tersebut demi anak laki-lakinya yang pamit bermain kelereng, namun hingga matahari tenggelam belum jua pulang. Secara sepihak, ibu itu menuduhnya telah menyembunyikan anak laki-lakinya, dan diaminkan oleh seorang saksi yang melihatnya bermain di tepi sungai. Gerombolan massa, mengepung rumahnya. Di tengahi Pak RT, selaku orang yang dituakan di kampung tersebut, dia menyilakan perwakilan massa memeriksa seluruh sudut rumahnya untuk membuktikan dirinya tidak bersalah. Setelah hampir sejam, massa akhirnya menyerah, dan berinisiatif pulang satu-satu. Tetapi tanpa diduga-duga, anak itu ditemukan meringkuk dalam tempayan berukuran besar, di dekat pintu belakang rumah tersebut, oleh seorang warga yang masih tinggal memeriksa beberapa tempat.
Sontak, warga yang awalnya berniat pulang, kembali berkerumun. Mereka meminta Pak RT mengusir perempuan ini dari kampung, sebab terbukti telah menculik seorang anak. Meski perempuan tadi membela diri, bahwa dia tak tahu tentang keberadaan anak itu, yang tiba-tiba saja di dalam gentong miliknya, Ibu yang merasa anaknya telah diculik, tak terima. Dia meminta Pak RT mengambil keputusan sebagaimana kehendak warga, sebelum mereka main hakim sendiri. Pak RT, lalu menyarankan perempuan tersebut untuk meninggalkan kampung sampai dia mampu membuktikan bahwa dirinya tak bersalah, barulah boleh kembali lagi.
Warga merasa, keputusan Pak RT adil. Kerubungan, mengecil. Pulang ke rumah masing-masing satu persatu, kecuali ibu tadi. Sambil mengelus-elus kepala anaknya, dia menatap tajam pada Margina, perempuan yang telah dituduh melarikan anaknya. Ada sebilah pisau, dan sebuah kesumat menari-nari di matanya.
***
Dia tak pernah meminta terlahir dengan bulu mata lentik. Dia juga selalu mengelak, jika ada yang memujinya cantik. Baginya, hidup tak akan selesai dengan paras jelita saja. Pernah, dulu sekali, saat masih tekun beribadah, dia memohon agar keelokan yang dimilikinya, ditukar saja dengan kekayaan. Namun kemudian dia menyadari bahwa itu adalah permintaan konyol. Sebab meski beberapa kali mengulang permohonan yang sama, hasilnya tetap nihil. Untuk menjadi kaya, dia haruslah bertahan menekuni segala jenis pekerjaan yang mengutamakan syarat, berpenampilan menarik.
Dia juga sebenarnya kurang mengerti perihal syarat tersebut yang sepertinya wajib pada setiap pekerjaan yang dilamarnya. Malahan lebih wajib dari hanya sekadar ijazah Sekolah Menengah Pertama yang dibawanya. Dan secara cepat dia menyadari, syarat tersebut tak pernah membuatnya kesulitan memperoleh pekerjaan. Sejak awal dia terlahir menawan, dan di kota besar tempatnya mencari kerja, dia belajar bahwa keayuannya adalah sebuah modal.
Belum setengah tahun dia berprofesi sebagai seorang pramuniaga sebuah toko pakaian, dia merasa di atas angin. Berkat bekerja di tempat itu, dia menjadi akrab pada salah seorang pelanggan utamanya. Sepertinya, tidak hanya sekadar akrab saja. Tersiar kabar, mereka telah pacaran. Dan itu membuat iri pramuniaga yang lain. Tetapi suka cita yang dirasa, tidak bertahan lama. Ciko, si pelanggan utama, ternyata adalah seorang lelaki hidung belang. Darinya, Margina merasa, kecantikan yang dimilikinya semisal tanah liat yang teronggok. Tak memiliki harga, dan telah mati oleh kepasrahannya di suatu malam.
Orang-orang di toko tempatnya bekerja dengan cepat mengetahui apa yang terjadi pada Margina. Ada yang bersedih, tetapi banyak juga yang tersenyum penuh kemenangan. Yang bersedih, tentunya Si Manager toko karena akan kehilangan pramuniaga yang kecantikannya telah banyak mendatangkan pembeli. Dan yang bahagia, pastilah para wanita pramuniaga lainnya yang telah dibuat sakit hati oleh Margina.
Inilah kali pertama, Margina melatih telinganya untuk abai pada perkataan orang. Hidup di atas opini orang lain, baginya tak nyaman. Dia ingin melanjutkan hidup dengan caranya sendiri. Meski penat, dia memutuskan mukim di kota saja, sebab di kampung tak ada sesiapa yang bisa dijadikan sandaran. Dia luntang-lantung sejak beranjak remaja. Kedua orangtuanya merantau ke negeri Jiran saat Margina masih di tahun pertama, sekolah menengah pertama. Orang tuanya, menitipkan Margina pada seorang kerabat, untuk beberapa waktu dan berjanji akan menjemputnya, tak lama. Namun, telah terbilang tahun, orangtua Margina tak memberi kabar, dan tak kunjung datang. Maka setamat sekolah menengah pertama, Si Bapak asuhnya, hendak menikahi Margina saja. Dia telah setahun menduda. Terang saja, ini tak diterima Margina, ada setumpuk cita-cita telah disusun runut di benaknya yang hendak ditunaikan satu-satu. Hingga bermufakatlah dia dengan hatinya untuk pergi ke kota.
Bermodal wajah rupawan itu, Margina melakoni banyak peran. Selepas pramuniaga, dia pernah menjadi simpanan seorang pesohor. Darinya Margina belajar, bahwa di sisi seorang pesohor, perempuan semisal dirinya haruslah terus bertopeng, meski ditimbun banyak uang dan barang-barang mewah. Jika topeng itu sekali saja dilepas, perempuan tak ubahnya sisa-sisa makanan dari restoran siap saji yang membusuk dan dikerumuni lalat di tempat sampah. Saat usianya memasuki dewasa, sempat juga dia menjadi istri muda seorang pengusaha. Tetapi lagi-lagi dia berguru, dirinya tak lain hanyalah sebuah kantong kresek tempat hal-hal yang kurang berkenan ditampung. Setiap kali lelakinya datang, ada banyak masalah yang diturutkan bersamanya. Dan malam mereka akan dihabiskan dengan segudang curhatan lelakinya perihal kebisingan rumah tangganya.
Lalu, dia memutuskan sendiri saja, tidak memiliki dan dimiliki siapa-siapa. Tetapi pilihan itu tidak membuatnya anteng. Ada banyak lelaki tua, dan muda yang menginginkannya. Setiap kali keluar rumah kontrakan, ada yang ikut berjalan di belakangnya. Bahkan sering kali para lelaki menggodanya terang-terangan saat dia lewat. Sampai-sampai, seorang tetangga dekat rumahnya bersiasat mendatanginya di suatu sore yang redup, mendekapnya, dan memerkosanya, dan menyekap Margina di rumah sendiri.
Margina menangis sejadi-jadinya untuk hal ini. Dia mengutuk lelaki yang telah membuatnya lebih rendah dari apa pun. Sendiri menerawang langit-langit rumah, hati kecilnya merindukan kampung, dan rumah panggung tempatnya dahulu berleha-leha di sisi bingkai jendela, melihat para petani pulang berkebun dengan setandan pisang mengkal di pundak. Setitik bulir bening, menepi di sudut matanya. Dia akhirnya berjanji, ingin pulang ke kampung jika masih ada kesempatan baginya melepaskan diri. Kemudian itu terkabul, tepat saat lelaki yang menyekapnya lalai membiarkan Margina terkulai, selepas dia membuang hasrat lagi.
***
Margina tak seranum dahulu. Dia tak muda lagi, namun guratan pesonanya tidaklah memudar. Di kampung, dia menjadi bahan pembicaraan para lelaki. Banyak para istri yang dibuat cemas oleh kedatangannya gara-gara para suami mulai membanding-bandingkan Margina dengan mereka. “Belajarlah dari Margina, telah berumur tapi pandai merawat diri.” Demikianlah saran para suami.
Perempuan muda juga merasa terancam. Kekasih mereka, mulai menyebut-nyebut nama Margina.“Kau masih muda, seharusnya kau lebih memikat dari Margina!” Inilah semisal kata-kata yang harus mereka telan
Baik perempuan tua dan muda menyebut Margina, nenek pakamekame. Mereka harus berhati-hati, sebab dia sewaktu-waktu dapat menculik para suami, dan kekasih mereka yang telah tersihir oleh Margina. Anak laki-laki juga dibuat waspada oleh ibu mereka, karena Margina tak segan-segan menjadikan anak laki-laki sebagai incaran.
Bapak asuh, Margina merupakan orang yang paling bahagia mendengar kabar kepulangan Margina. Meski telah memperoleh seorang istri, tetapi dia masih menyimpan keinginannya memiliki Margina. Dia hendak menjadikan Margina istri berikutnya. Dan ini terdengar oleh Jaiyang, perempuan yang dulu menggantikan posisi Margina, dan telah memberinya dua anak perempuan, dan satu anak laki-laki.
Dia merasa Margina adalah meriam waktu yang akan meledakkan rumah tangganya. Dan dia tidak menghendaki itu terjadi. Maka, di suatu kesempatan diutuslah anak lelakinya, bermain di sekitar tepi sungai. Dan jika matahari telah tenggelam, dia memerintahkan anak lelakinya bersembunyi dalam tempayan. Lalu muncullah seorang lelaki yang juga adalah saudara sepupunya, menemukan anak tersebut. Maka sempurnalah alasan mengusir Margina, menjauh dari kampung itu, karena dia seorang nenek pakamekame.
Makassar, 19 November 2016
Sumber gambar: http://dok-alexa.deviantart.com/art/Grandmother-Spider-201399749
Catatan Kaki:
[1] Sebuah peringatan dari bahasa duri, suku Masenrempulu, jika tinggal akan dimakan parakang/ setan
[2] Menjauhlah, karena nenek pakamekame akan lewat dan menculikmu