Nama aslinya Tungka’ namun warga sekitar memanggilnya Lajana. Sematan namanya sering dikait-kaitkan dengan hikayat orang-orang tua dahulu, tentang pemuda tampan, pemalas dan angkuh yang mendiami desa tempat mukim Tungka’. Warga setempat percaya bahwa reinkranasi Lajana Tarattu ada pada pria bernama Tungka’,[1] lelaki tampan—yang kata gadis berseragam putih abu-abu—mirip dengan aktor korea Lee Jong Suk ini memiliki perangai yang sama dengan hikayat Lajana Tarattu. Tampan namun pemalas, angkuh, picik dan licik.
Namun, siapa yang menyangka. Pria yang telah jatuh miskin ini dahulunya pemilik sawah yang berhektare-hektare, harta yang berlimpah ruah, warisan dari orangtuanya. Namun sayang, semuanya telah habis karena perangai Lajana yang boros, suka menghambur-hamburkan uang, dan gemar berleha-leha di kota. Dan diperparah dengan peristiwa pada satu masa, di malam yang masih perawan, sisa harta Lajana ludes dilahap si jago merah. Kini hanya sepetak sawah dan gubuk bambu yang menjadi tempat Lajana bermuram durja, merenungi kerundungan yang dialaminya.
Setiap matahari mulai merangsak menuju pembaringan yang meninggalkan semburat senja, Lajana akan sering ditemui di ujung pematang sawah yang berbatasan langsung dengan sungai yang mengaliri desanya. Tetua kampung, para petani yang pulang dari pematang sawah akan selalu berbisik, riuh rendah ketika melihat Lajana duduk memandangi aliran sungai.
“Lihat si Lajana hartanya sudah habis, ia dapat karma karena berlaku congkak, picik,” sahut seorang petani dengan caping di kepala.
“Ia, begitulah hukum tuhan kepada manusia yang berlaku angkuh. Iblis yang dahulunya disebut penghulu para malaikat dikeluarkan ke syurga lantaran berlaku angkuh, apalagi si Lajana yang hanya manusia biasa, bukan nabi,” timpal seorang petani yang membawa arit.
“ia betul! Lihat si Lajana, haratnya sudah habis, kini ia telah jatuh miskin,” petani bercaping itu menyambung hardikan dari petani yang membawa arit itu.
“Mari kita pergi, jangan dekat-dekat dengan si Lajana, nati nasib kita sial!” petani yang membawa arit itu kemudian meludah ke tanah sebagai bentuk kekesalan terhadap Lajana.
Begitulah kira-kira hardikan dan cemooh yang didapati Lajana, maklum saja semasa jayanya ia sering menindas para petani di desanya, merampas tanah dan pematang sawahnya dengan dalih harta warisan, walaupun sesungguhnya tanah dan pematang sawah yang luas adalah harta wakaf peninggalan mendiang ayah Lajana.
Tetapi, tidak semua para petani di desa—tempat mukim Lajana—menghadrik dan mencemooh Lajana. Ada juga yang berempati dengan nasib Lajana, ketika beberapa gadis desa tak sengaja mendapati Lajana sedang asyik duduk di ujung pematang sawah dekat sungai yang mengaliri desa.
“Hei, lihat itu. Bukankah pria itu si Lajana?” sahut seorang gadis desa dengan rambut hitam sebahu, usianya kira-kira sebantaran dengan gadis yang makan bangku sekolah menengah atas.
“Entahlah? Mungkin saja bukan si Lajana…, tapi sebaiknya mari kita periksa,” timpal gadis desa yang kulitnya cenderung gelap tapi mulus, bersih dan sedap dipandang. Mengingatkan pada penyanyi Amerika, Beyonce.
Kedua gadis itu kemudian mengambil satu posisi yang tepat, menatap wajah Lajana dari samping, sehingga dua per tiga wajahnya dapat dipandangi.
“Iya betul itu si Lajana, wah ia tampan juga yah.” Gadis berkulit cenderung gelap mirip Beyonce itu memuji ketampanan si Lajana, sekitar sepuluh detik mereka menikmati suguhan itu.
“Yah walaupun si Lajana tampan, tapi hampir seluruh warga desa membencinya, bahkan mereka senang tatkala si Lajana jatuh misikin. Dan kasihan, kondisinya sekarang memprihatinkan, tiap sore duduk-duduk di sini mungkin meratapi nasibnya, yah andai ayah tidak melarang untuk bergaul dengan si Lajana, mungkin saya sudah memacarinya.” Gadis desa dengan rambut hitam sebahu itu berkelakar, sejenak mata kawannya melototinya, nampaknya gadis yang katanya mirip Beyonce itu memiliki pengharapan yang sama.
Entah ritual apa yang dilakukan si Lajana, tiap sore warga mendapainya duduk-duduk di ujung pematang sawah dekat sungai yang mengaliri desa. Bahkan pernah satu waktu, di kala sore, hujan turun dengan derasnya. Kepala desa mendapati Lajana duduk di tempat itu, membiarkan tubuhnya dihujami buliran hujan hingga membasahi sekujur tubuhnya.
“Hei Lajana, apa yang kau lakukan di situ?” tanya kepala desa, Lajana tetap bergeming, ia berkukuh untuk duduk di tempatnya, tak menghiraukan kepala desa.
“Hei Lajana! Hujan deras begini apa yang kau lakukan di situ?” kepala desa menarik lengan Lajana yang putih kekar itu, namun tetap saja Lajana tak menghiraukan kepala desa, ia masih asyik duduk-duduk di tempatnya, membiarkan beningan jarum-jarum kenangan itu menghujami tubuhnya.
Kepala desa hanya pasrah, ia pun memayungi Lajana agar tubuhnya tak basah kuyup, Lajana hanya duduk diam menatap aliran sungai yang meluap dan tak menghiraukan kepala desa yang berada di dekatnya. Sedangkan, kepala desa hanya geleng-geleng kepala, mendapati perangai Lajana yang mulai menampakkan ketidakwarasan.
Begitulah si Lajana, akan selalu didapati warga duduk-duduk dengan asyik di ujung pematang sawah dekat sungai. Dan setiap kali pula Lajana akan mendapatkan hadiah berupa hinaan, cemooh, gunjingan dari warga yang pernah disakitinya. Dan tak sedikit pula yang berempati dengannya, terutama gadis-gadis desa.
***
Kini matahari telah usai melaksanakan tugasnya, sang surya telah kembali ke peraduannya. Demikain pula Lajana, ia beranjak dari tempatnya, mengakhiri keasyikannya duduk di ujung pematang sawah dekat sungai yang mengaliri desanya. Ia berjalan pulang menuju gubuk sawah tempat mukimnya, sejenak matanya yang bening nan teduh itu mengedarkan pandangan, menatap langit yang mulai gelap. Sejenak dihembuskan nafas yang panjang lalu membuka pintu gubuk tempat tinggalnya. Gubuk sederhana beratapkan daun rumbia, dengan dinding dari anyaman bambu yang ditempeli spanduk bekas kampanye kepala desa.
Lajana kini asyik duduk di bagian tengah gubuknya. Di depannya tersaji mesin tik, lima lembar kertas polos bewarna putih dan sebuah amplop bewarna cokelat. Lajana mengambil satu carik kertas polos bewarna putih, ia kemudian mengawinkan kertas itu dengan mesin tik. Kini kertas dan mesin tik itu telah bersetubuh. Dan kemudian, jemari Lajana menari-nari pada tuts-tuts mesin ketik. Sebuah sura khas terdengar memenuhi gubuk Lajana. Matanya mengeker tajam pada kertas polos bewarna putih itu, sebuah deretan huruf yang membentuk sebuah kata, seperti sebuah penggalan kalimat judul cerpen yang disertakan sematan namanya yang berbunyi:
Pada Suatu Hari Ada Muchniar, dan Secangkir Kopi Hitam
Oleh
Lajana
Sungguminasa, 26 Nopember 2016
[1] Baca Cerpen Muchniar AZ – Lajana Taruttu dimuat di kalaliterasi.com edisi 13 Nopember 2016