Tahukah engkau apa itu rindu?
Ia berjarak tak berjauhan, jua tak berdekatan
Tahukah engkau apa itu rindu?
Ia derita yang panjang, jua bahagia tak berkesudahan
Tahukah engkau apa itu rindu?
Ia air mata yang tak menetes, jua tawa tak bersuara
Tahukan engkau apa itu rindu?
Ia intensi tanpa pretensi, jua perintah tak menyuruh
Tahukah engkau apa itu rindu?
Ia durasi, jua singkat
Tahukah engkau apa itu rindu?
Entahlah yang tak berkesudahan
1
Konon, ketika seorang penulis mewartakan segala pengalaman psikologisnya ke dalam sebuah teks, pada saat itu, pengalaman itu juga telah dibunuh dan dibungkam. Hilang. Di sana, tak ada lagi suara (hati) penulis. Sebab teks kadang adalah bahasa bisu kesunyian. Oleh sebabnya, teks butuh untuk dibaca. Menghidupkan dan menghadirkan kembali ‘perasaan penulis’ dengan wacana baru. Dengan makna makna baru.
Kegiatan memberikan (menambahkan) makna ini juga boleh dikata adalah kegiatan menebak-nebak saja. Sebab mustahil mengetahui maksud sebenarnya dari seorang pengarang. Hal inilah (dalam interpretasi) yang disarankan oleh Schleirmacher dengan validasi “divinatoris” terhadap apa yang ia sebut dengan gramatikal. Dari sanalah dimulainya sebuah proses membaca (memahami).
2
Selain sebagai tindak memahami, membaca puisi juga amat penting ketika hati diliputi gersang modernitas ataupun kekeringan oleh segala sains yang positivistik. Modernitas yang hanya dikepung oleh aktifitas fisik-kerja. Positivisme yang terjebak pada objektivitas cogito. Di sana, jiwa kosong, manusia yang tak lagi punya rasa pada estetika, apalagi meneguk spiritualitas. Estetika (dan juga spiritualitas) inilah yang dihadirkan lewat puisi, yang memuat simbol dan juga metafora lewat bahasa literer. Saya tidak akan bicara lebih jauh perihal metafora dalam tulisan ini. Sebab hal demikian tak begitu dominan muncul pada sebuah puisi yang akan saya omongkan nanti. Yang justru nampak sangat kentara dalam setiap penggalan kalimatnya justru teks puisi yang filosofis-kontradiktif.
Filosofis dikarenakan keseluruhan teksnya menghadirkan tanya dan jawab. Pertanyaan tentang rindu yang punya banyak makna. Dan makna-makna yang muatannya berlawanan satu sama lain. Dalam kaidah linguistik, hal demikian tak lagi sesuai aturan gramatikal. Sebab grammar hendak menemukan meaning di antara jalinan-jalinan teks. Tapi tentu saja tak demikian denga puisi. Di situlah saya kira “wajah” penting sebuah karya sastra. Wajah yang tak bisa diringkus dengan mudah oleh objektifitas sains/pengetahuan.
3
Mereka yang membaca (apalagi mencintai) puisi, juga secara otomatis akan mencintai keindahan dalam makna yang dikandungnya. Kecintaan ini, menurut hemat penulis, akan sedikit banyak menangkal “radikalisme” yang kini sedang menjadi populer dikalangan masyarakat (Islam) kita. Meskipun baru hipotesis, tak ada salahnya membumikan puisi pada seluruh lapisan masyarakat, di kota ataupun di desa, dari anak kecil hingga orang tua. Berusaha menelusuri setiap susunan indah diksinya dan berusaha jatuh tercelup pada kedalaman maknanya.
Metafora adalah salah satu unsur penting pembangun puisi. Di sana imajinasi akan bebas bergerak kesana kemari membayangkan segala semesta. Meskipun dalam puisi Rindu di atas, unsur metaforisnya tidak begitu tercermin, tetapi lebih kepada susunan larik yang berisi “bunyi” yang menentramkan. Serupa mantra yang dibaca oleh para saman.
Tetapi tentu saja puisi Rindu yang ditulis oleh seorang Asran bukanlah mantra. Sebab mantra tak memperhatikan lagi makna. Hanya ada suara-suara. Biji teks di mana kita bisa mendengar biji kerongkongan, patina konsonan, keganasan vokal, seluruh stereofani karnal: artikulasi tubuh, lidah, bukan artikulasi makna, bahasa. Yang barusan itu adalah kata-kata Roland Barthes, seorang scholar bahasa pada bagian akhir The Pleasure of the Text.
Dalam mantra, keindahan tak ditemukan lagi pada teks atau pesannya, keteraturan tata bahasa, atau metafora. Tapi keindahan (kenikmatan) itu didapat dari “wilayah pengalaman” saat sebuah teks keluar dari segala ikatan-ikatan. Dalam bahasa St. Sunardi, saat sebuah teks berhasil mengantar orang untuk bertemu dengan tubuhnya sendiri.
4
Ohh..iya. Sekadar info saja, apresiasi (omong – omongan) tentang Rindu ini lahir kala hujan turun pada sebuah sore yang ganjil. Mungkin kalian tahu sendiri, hujan adalah waktu terbaik membaca puisi. Kita akan disesaki oleh gelombang suka cita yang tak terjelaskan. Keduanya adalah perpaduan yang membuat pagi dan sore hari seperti mimpi yang mistik. Kita berada pada ruang masa lalu dan masa depan pada waktu yang bersamaan. Dan pada saat itu hadir, kita seperti bukan siapa siapa.
“Tahukah engkau apa itu rindu?
Ia berjarak tak berjauhan, jua tak berdekatan”/
Rindu dengan demikian, telah mengutakatik dimensi ruang-waktu. Ruang-waktu tak menjadi spesifik materi ataupun angka angka. Kalaupun harus dipaksakan, maka angka-angka tersebut adalah angka gaib. Begitu engkau menuliskannya, dia akan raib. Hilang.
5
‘’tahukan engkau apa itu rindu?”
Rindu juga adalah sebuah derita panjang tak berkesudahan. Di mana segala sedih jelma air mata. Kehilangan jadi sunyi yang nestapa. Ataupun perpisahan menjadi penantian tanpa jeda. Tapi perasaan tak mengabadi. Dia seperti badai yang tak berkesudahan. Darinya (rindu) jelma segala episode tak jelas dan tak tentu. Manusia dibawa pada sebuah kemungkinan-kemungkinan tak pasti. Dengannya, kita seperti diselimuti oleh semacam harapan dan juga jeda. Dari dua kata itu, harapan dan jeda, akan membentuk semacam refleksi kebahagiaan yang tak biasa. Dengannya kita bisa membaca hidup, meskipun samar-samar saja. Memberinya makna, sambil menyeruput teh panas dipagi hari. “Ia derita yang panjang, jua bahagia tak berkesudahan/” Begitu romantis. Demikianlah bait kedua puisi itu bertutur.
6
Dalam beberapa bait puisinya, sang penulis juga seakan mewartakan “kebajikan dan kebijakan” dalam membangun relasi antara laki-laki dan perempuan. Relasi kasih yang “intensi tanpa pretensi, jua perintah tak menyuruh”. Bagaimana sebuah perasaan cinta yang tak henti hentinya dihadirkan, tetapi bukan perasaan posesiv yang membuat pasangan menjadi tak nyaman. Atau bagaimana sang laki laki menjadi pemimpin, tetapi tidak menjadi penguasa mutlak pada perempuan. Pola hubungan yang hendak dihadirkan adalah pola yang diskursif dan komunikatif. Tidak satu arah. Keduanya hadir sebagai kelengkapan satu sama lain. Demikianlah penulisnya memberi makna “rindu”.
7
Saya menduga, puisi ini ditulis ketika sang penulis berada pada sebuah momen di mana dia duduk diam dalam sunyi rumahnya atau pada sebuah ramai yang mencekam keseharianya. Di sana rindu hadir. Tiba tiba saja. Semacam pengalaman eksistensial yang kadang tak terjelaskan; silap. “Ia durasi, jua singkat”
Demikian juga tulisan ini. Catatan yang begitu saja hadir dan lahir setelah tiga kali membaca puisi Rindu di atas dengan segelas teh hangat di kamarku. Dengan suara hujan yang jatuh di atap atap. Sambil mendengarkan bait bait Musikalisasi Ari Reda; Dan sunyi ini sempurna.
Nuun.
Sumber gambar: https://loveinshallah.com/tag/muslim-love-poetry/
Pernah Aktif di Ikatan Pelajar Muhammadiyah Takalar. Laki-laki penyuka kopi dan buku.