Mungkin kita hanya satu orang di dunia ini. Tetapi, bisa jadi kita adalah dunia bagi seseorang
(Harvey Mc Kinnon & Azim Jamal)
***
Saya sedih saat melihat paras sekolah. Perpustakaan merupakan tempat yang sangat sunyi. Buku-bukunya tak teratur, lama dan penjaganya kurang menarik. Daya pikat perpustakaan muncul karena tugas atau jika ada ujian. Selebihnya perpustakaan hanya menyisakan meja dan ruangan kosong. Belum ada investigasi yang detail mengapa keadaan perpustakaan begitu buruk: sunyi, tak ada pengunjung dan kurang greget. Walau tak semuanya bernasib naas, tapi sulit diingkari perpustakaan adalah tempat yang tak seberuntung kantin. Lihat saja bagaimana kantin sekolah yang meriah, hidup dan ramai. Lebih-lebih ada banyak acara wisata kuliner: seakan-akan perkara jajan bersangkut-paut dengan peradaban. Makan dan makanan ibarat kepingan budaya yang patut dijunjung.
Bukan hanya wisata kuliner tapi ancaman budaya menonton. Rasanya tak ada perkakas yang paling umum selain televisi. Nyala selama 24 jam dengan jumlah penonton mengerikan. Televisi telah mengganti fungsi kumpul keluarga dan juga kegiatan membaca. Tengok saja mana ada rumah yang kini punya stok buku yang lumayan; lebih banyak rumah yang menyimpan rekaman lagu dalam kepingan VCD. Buku hanya menyembul di tas-tas sekolah dan setelah ganti tahun mungkin dijadikan jualan loak. Di samping itu juga budaya untuk menikmati fasilitas komunikasi. HP seperti berhala kecil yang ada di tiap saku celana atau kemeja. Uang untuk beli pulsa mengalahkan jatah bulanan—kalau ada—untuk beli buku. Dengan korting sms berulang-ulang, bicara dan menulis sms jadi kegiatan paling populer. Dengan situasi seperti itu membaca kemudian jadi budaya yang terengah-engah dan agak kuno. Lahir kemudian anekdot perpustakaan tempat paling sunyi setelah museum.
Soal sunyinya perpustakaan tak bisa lain karena lemahnya budaya baca. Buku memang jadi makanan utama sekolah, tapi membaca bukan budaya yang umum. Kebanyakan buku sekolah berisikan LKS, lembaran kerja yang berorientasi pada latihan menjawab soal. Pelajar sangat sedikit dan jarang memiliki tradisi baca. Membaca bukan bagian tugas tapi bagi pengalaman: merupakan sesuatu yang jarang didapat di sekolah. Anak-anak sejak kecil berlatih membaca tanpa pergolakan bahkan emosi. Ingat saja bagaimana buku membaca lepas dari konteks. Mengenalkan aksara tanpa memiliki akar budaya di mana aksara itu tumbuh. Ringkasnya perkara belajar membaca merupakan pengalaman yang tak menakjubkan. Anak-anak tumbuh dengan penghargaan yang minim pada buku, apalagi isinya. Tanyakan pada anak-anak SMP, kenalkah mereka dengan isi surat RA Kartini? Saya yakin mereka hanya mengenal judul tanpa tahu apa isinya.
Budaya baca dikenalkan bisa melalui berbagai cara. Yang umum adalah mengajak anak-anak untuk berbagi pengalaman membaca dari sebuah buku yang mereka rasa menarik. Kisah Harry Porter atau New Moon sebelumnya hanya sebuah fiksi tebal yang mengajak pembaca untuk berada di dunia fantasi. Sebelum menjelma menjadi sebuah film kedua novel ini menyimpan dinamit kisah yang mengaggumkan. Kisah anak bersekolah sihir atau pacaran dengan drakula. Kemasan bahasanya ringan, meyentuh dan indah. Atau anak-anak diajak untuk membaca majalah National Geographic yang menyajikan perjalanan alam. Bertemu dengan keganasan alam atau mata rantai binatang yang belum pernah mereka duga. Singkatnya, untuk menghidupkan budaya baca memerlukan buku yang menantang, memberikan daya pesona dan disajikan dengan mudah.
Jika sudah begitu maka budaya baca bisa dirayakan dengan lomba menulis komentar atau resensi buku. Buku-buku yang telah dibaca kemudian diberi komentar, ditanggapi dan dituliskan. Pengalaman membaca selalu punya hubungan dengan menulis. Mengikat makna dalam istilah seorang penulis: menggambarkan bagaimana buku musti diperlakukan dan diberi penghormatan. Pengalaman membaca tak bisa lagi dikurung dalam ruang individual, melainkan perlu dibagikan dan disebar-luaskan. Begitu pengalaman membaca bertemu dengan kegiatan menulis maka buku mendapat perlakuan istimewa. Anak-anak harus dibiasakan untuk mengenang buku-buku yang memengaruhinya. Soalnya tiap buku seperti sebuah kisah yang hidup dalam alam pembacanya sendiri. Lewat menuliskan buku yang telah dibaca maka buku akan mengawetkan gagasanya dalam diri pembaca.
Tentu demi untuk memberikan iming-iming bagaimana membaca itu kegiatan menyenangkan: sesekali ada kegiatan mendatangkan penulis. Mereka yang punya pengalaman dalam membaca dan menulis. Apa yang sesungguhnya ada di balik kerja sebuah buku: seorang penulis-sebuah penerbitan-rantai distribusi. Begitulah sebuah gagasan itu tumbuh, diawetkan dalam buku dan disebarkan pada pembaca. Saya selalu merasa bangga menjadi penulis, bukan sekadar buku saya laku dibeli melainkan juga saya berjumpa dengan komunitas pembaca yang tak bisa diduga. Menulis adalah cara termudah untuk memberi saya lukisan atas masa depan atau merenungkan apa yang terjadi. Berjumpa dengan penulis membuat buku bukan lagi benda mati tapi buah hidup. Buah yang benihnya disemai oleh seseorang sebagaimana mungkin pembaca. Saya punya banyak pengalaman bagaimana penulis kerapkali dituntut untuk menjadi wujud utuh dari gagasanya.
Tentu untuk mengoptimalkan gagasan semacam ini diperlukan penjaga gawang yang andal. Sang penjaga perpustakaan yang punya kriteria sederhana: penyuka buku, penikmat bacaan dan imaginatif. Menyukai buku saya rasa jadi syarat paling minim seorang pengelola perpustakaan. Saya punya pengalaman dengan penjaga perpustakaan di kota kecil saya. Seorang PNS yang sangat antusias untuk memberitahukan isi perpustakaan daerah yang sederhana: selalu memberitahu jika ada buku baru atau buku penting yang layak untuk dibaca. Ia selalu melanggar waktu tutup karena tak ingin menganggu pembaca yang sedang asyik. Dirinya selalu menjadi orang pertama yang mengucapkan terimakasih pada para pengunjung yang memang tak banyak. Keramahanya begitu dikenal di kota kami. Kadang saya rindu datang bukan untuk membaca, tapi menemukan keramahanya. Begitu telaten menggunting koran yang meresensi sebuah buku yang ada dalam perpustakaanya. Tak jarang dirinya menegur anak yang berisik dalam perpustakaan. Ia menjaga perpustakaan seperti menjaga harga dirinya.
Di samping itu tentu sebuah perpustkaan butuh dukungan. Di Malang sebuah perpustakaan kota berdiri dengan anggun. Dicat dengan warna ceria dan bekerja sama dengan toko buku setempat. Semua acara yang berhubungan dengan teks diselenggarakan di sana. Dari bedah buku, pameran lukisan, foto hingga bertemu dengan penulis. Komplit semua kegiatan berjalan di sana dan tulang punggung dari kerja itu adalah ‘kerja sama’. Pengelola perpustakaan musti mahir mengembangkan kerja sama dengan berbagai pihak untuk membuat perpustakaan bukan lagi sarang kesunyian. Magnet kegiatan membaca dan menulis ada pada bagaimana perpustakaan jadi tempat semarak, meriah dan padat. Bukan hanya itu, perpustakaan juga bisa menjadi saluran informasi pendidikan yang penting. Makanya lokasi kerapkali ikut menentukan. Di Malang, kehadiran perpustakaan kota berdekatan dengan kampus dan berdampingan dengan pusat keramaian.
Saya tak bisa mengusulkan lebih banyak, karena memang perpustakaan punya karakter dan keunikanya. Keberadaanya tidak ditentukan lewat koleksi buku semata, tapi juga bagaimana pengelola mulai memandang tempat itu. Akankah mereka melihat perpustakaan itu sebagai lorong yang berisi rak yang hanya patut dipelihara, atau tempat di mana akan muncul calon ilmuwan, pemimpin dan negarawan agung? Imaginasi dibutuhkan ketika kebuntuan muncul dan perpustakaan hanya menjadi lokasi gudang buku saja. Berkaca pada negara-negara maju, perpustakaan adalah tempat utama yang menunjukkan sejauh mana sebuah bangsa menghargai dan menghormati akal sehat. Melalui budaya baca, menulis dan berkunjung ke perpustakaan: sesungguhnya kita diam-diam sedang memelihara peradaban sekaligus hati nurani. Karena itu saya begitu menghormati dan angkat topi pada Anda, yang masih mau bekerja dalam kubangan buku dan tulisan.
Sumber gambar: deviantart.com
+ There are no comments
Add yours