Barangkali, sudah tak asing di telinga kita tentang sosok Richard Dawkins, seorang ateis, evolutionary biologist dan penulis buku Delusion of God. Anda dengan mudah bersentuhan dengan dia di Chanel Youtube, Twitter, dll, berdebat dengan agamawan, baik itu muslim maupun umat Kristen. Dengan akses media yang mudah ini, dia mendapat banyak pengikut. Akhirnya angka peningkatan ateis tidak hanya terjadi di Eropa, tapi juga terjadi di banyak negara Islam. Bahkan pemerintah Saudi sendiri guna mengantisipasi peningkatan jumlah ateis, mengeluarkan kebijakan hukuman penjara selama 10 tahun dan mengategorikannya sebagai teroris. Di Indonesia sendiri banyak yang memprediksi peningkatan jumlah ateis juga terjadi, walaupun belum ada data valid tentang hal ini. Banyak alasan mereka menjadi ateis, salah satunya adalah sentuhan pemikiran Richard Dawkins yang mereka anggap benar dan tentunya akan semakin mengokohkannya.
Si Richard Dawkins percaya bahwa dalam mengungkap realitas cukup dengan fakta-fakta sains. Saya mengandaikan misalkan dalam kajian ontologi, Anda berdebat mengenai idelisme, materialisme, dan dualisme dengan term yang cukup rumit, mungkin Richard Dawkins menjawab dengan fenomena sains atau bahkan dia mengatakan itu cuma aktivitas neuron atau sel saraf saja. Tapi saya tidak mau berbicara banyak tentang itu. Yang ingin saya ulas adalah tweet atau kicauan Richard Dawkins terhadap umat Islam yang bagi saya adalah sebuah tamparan, yang kemudian saya tak bisa mengelak atau membalas tamparannya, cuma bisa berdiam dan meratapi sambil cengingisan, karena beberapa hal yang dia sampaikan adalah benar adanya.
“All the world Muslims have the fewer Nobel Prizes than Trinity College, Cambridge. They did great things in the middle ages, though.” Kicauannya pada tanggal 8 Agustus 2013 tentang pencapaian Nobel Prizes umat Islam. Kalau kita mau menjadikan Nobel Prize sebagai acuan atau indikator pencapaian kita dalam berkarya di bidang sains, apa yang dikatakan Richard Dawkins benar adanya. Trinity College Cambrdige telah mengoleksi 32Nobel Prize, 27 di antaranya terkait sains (Fisika, kimia dan Kedokteran). Sementara total umat muslim adalah 23% dari total penduduk seluruh dunia , hanya memperoleh 12 Nobel Prize, 3 di antaranya di bidang sains yang diraih oleh Mohamad Abdus Salam dari Pakistan , Ahmed Zewail dari Mesir, dan Aziz Zancar dari Turki. Di antara 3 pemenang ini adalah orang-orang yang banyak mengenyam “asam garam” pendidikan ala Barat, tidak di tempanya di negeri mereka masing-masing. Itupun perdebatan dan kontroversi tidak berhenti di sini. Ada beberapa di antara kita yang tidak mau memasukkan Mohamad Abdus Salam dalam daftar umat Islam karena katanya dia adalah seorang Ahmadiyah, bahkan Ahmadiyah di Pakistan sendiri, negara asalnya Abdus Salam, sudah tidak dianggap sebagai bagian dari Islam.
Bukan cuma kita yang mengakui kehebatan peradaban umat muslim di abad pertengahan, Richard Dawkins pun mengakuinya, “They did great things in the middle ages”, banyak peradaban masa lampau umat Islam yang sampai sekarang masih menggema seantero dunia, misalkan Ibnu Rusyd yang berkontribusi besar pada renaissance bangsa Eropa, karya-karya kedokteran Ibnu Sina, Ar Razi dan beberapa ilmuwan muslim abad pertengahan yang menjadi bahan kajian dan primadona ilmu di Barat pada awal-awal transmisi ilmu pengetahuan ke Eropa.
Tapi yang tersisa sekarang di kalangan kita adalah melupakan substansi yang diajarkan umat Islam abad pertengahan yang bersifat inklusif, warisan Islam yang cukup kaya, banyak dan beraneka rupa, akhirnya membuat kita kebingungan mau memilih yang mana. Ibarat adonan kue yang banyak itu, kita sudah memilih kue masing-masing, setelah itu kita berdebat mana kue paling enak, tanpa memikirkan bahwa masing-masing resep adonan itu bersumber pada hal yang sama. Kita kebingungan untuk bagaimana seharusnya, tak tahu bagaimana untuk berdialog dengan fenomena sains, sehingga yang tersisa adalah cuma simbol-simbol, miskin dan kering substansi. Toko obat berakhiran nama ilmuwan muslim, universitas berakhiran nama ilmuwan muslim, rumah sakit berakhiran nama muslim. Itulah yang ada saat ini, sambil bernostalgia dengan prestasi masa lampau. Saya tidak mengatakan itu salah, tapi kita harus memperkayanya dengan substansi. Yang tersisa sekarang adalah romantika-romantika dan nostalgia masa lalu, yang terlalu manis untuk dikenang dan terlalu indah untuk dilupakan, tapi dalam konteks sekarang tidak tahu peradaban ini mau diapakan dan di bawa ke mana.
Si Richard Dawkins tidak berhenti di situ, setelah berkicau dengan pernyataannya tadi kembali dia mengeluarkan kalimat provokasi, “That was unfortunate. I should have compared religion with religion and compared Islam not with Trinity College but with Jews, because the number of Jews who have won Nobel Prizes is phenomenally high.” Berdasarkan yang dimuat dari laman algeiminer.com pada Oktober 2013, dua bulan setelah dia mengeluarkan pernyataan kontroversi yang tadi. Dia ingin mengklarifikasi pernyataannya yang membandingkan umat Islam dengan Trinity College Cambridge. Katanya dia seharusnya membandingkan agama dengan agama, maka dipilihlah Yahudi dibandingkan dengan Islam yang meraih Nobel Prize. Dari 0.2% populasi Yahudi di seluruh dunia, sebanyak 185 di antaranya adalah peraih Nobel Prize, atau 21.26% total penerima penghargaan Nobel Prize adalah Yahudi. Tidak usah saya bandingkan lebih dalam lagi karena semakin saya menelaah lebih dalam lagi semakin saya merasa ditampar lebih dalam oleh si Dawkins ini.
Richard Dawkins kembali melanjutkan pernyataannya, “Race does not come into it. It is pure religion and culture. Something about the cultural tradition of Jews is way, way more sympathetic to science and learning and intellectual pursuits than Islam”. Inti yang ingin disampaikan pada pernyataannya ini adalah kultur, atau tradisi Yahudi lebih bersimpati dalam hal sains dan wacana intelektual dibandingkan dengan Islam. Saya merasa Richard Dawkins tidak lagi mengolok-olok saya sebagai orang Islam, tapi menampar pipi kiri kanan saya berulang kali. Hey Dawkins, “Sudahilah menyampaikan kebenaran dan fakta ini dalam pikiranku, karena semakin kau sampaikan, angan-angan dan apa yang saya persepsikan di dalam kepalaku akan hancur berantakan”.
Kita bisa saja menolak apa yang dikatakan Richard Dawkins dengan menjadikan Nobel Prize sebagai indikator kemajuan keilmuwan, atau misalkan mengatakan Richard Dawkins belum paripurna kerangka epistomologinya dalam mengungkap realitas, ataupun berbagai argumentasi lain tentunya. Yang ingin saya sampaikan adalah dia berhasil menampar saya sebagai muslim dengan sekeras-kerasnya. Mudah-mudahan ini menyadarkanku dan menyadarkan kita semua, bahwa kita tidak berdaya dalam dialog sains dengan mereka. Kalau anda masih tidak mau sadar, silakan sibuk bertengkar di antara umat muslim sendiri dengan segala argumentasi dan klaim kebenaran Anda masing-masing.
Atau mungkin Anda bertanya, siapakah Richard Dawkins? Pentingkah orang ini? Patutkah kita mendengarkan ocehan-ocehannya? Faktanya adalah dia orang berpengaruh, dia semakin banyak mendapat pengikut di Indonesia dan dibelahan dunia lainnya.
Sumber gambar: inquisitr.com
Sumber Data:
https://www.trin.cam.ac.uk/alumni/famous-trinity-alumni/nobel-laureates/
https://en.wikipedia.org/wiki/List_of_Muslim_Nobel_laureates
https://richarddawkins.net/2014/01/the-rise-of-indonesian-atheism/
Penulis berasal dari Bantaeng. Mahasiswa Pascasarjana pharmaceutical Sciences, Naresuan University. Peneliti obat dan penyuka fakta-fakta sains.
Menarik sekali, saya baru berkenalan sgn beliau Dawkin blom lama dan lewat internet utamanya youtube, memang fikiran2 tajamnya tentang science dan evolusi sngat memukau,bgmn mana dia menelanjangi agama2 besar didunia spt Kristen dan islam..menarik