Kawan, di tempat yang mungkin dikatakan nirwana, izinkanlah saya menceritakan satu kisah kecil di medio tahun enam puluhan, namun berjanjilah! Jangan memberitahukan kisah ini kepada orang-orang berpakaian hijau. Nanti kamu diculik.
***
Masih kuingat bagaimana rasanya sebilah parang akan menggorok leherku, saat fajar telah menyingsing sempurna. Di belakang halaman rumah reyot—di pinggir kali—bersama tuanku, kami diperhadapkan pada kematian.
Sebelum kematian itu menjemput, saya mencoba melawan sekuat tenaga, menyelamatkan tuanku dan kabur dari tempat penjagalan. Namun sayang seribu sayang, saya hanyalah makhluk tak berdaya, tak sebanding melawan orang-orang berpakaian hijau, dan tahukah kau kawan, konsekuensi dari perlawanan yang sia-sia itu? Saya diseret ke dalam penjara yang terbuat dari bilah-bilah bambu.
Kakiku telah diikat dan tubuhku dikungkung sedemikian rupa, seluruh nyaliku ciut untuk melawan. Bahkan untuk menopang tubuh saja saya tak kuat, apalagi untuk kabur. Namun yang membuat hati ini meringis dan sedih, tatkala melihat tuanku meringis kesakitan. Popor senjata mendarat di pelipisnya, darah mengucur dengan deras, saya hanya menatap pilu. Tapi apalah daya diriku, makhluk tuhan yang lemah.
Mungkin di dalam benakmu ada satu pikiran yang berkelebat, dikurung dalam penjara yang terbuat dari bilah-bilah bambu namun tidak bisa kabur. Kamu keliru kawan, sungguh pun saya telah berusaha untuk kabur dan sungguh pun saya berusaha untuk menyelamatkan tuanku. Tetapi kawan, ke empat sisi penjara bilah-bilah bambu itu dijaga ketat orang-orang berpakaian hijau, dengan sebilah parang di tangan kanan dan pistol tersangkur di pinggang sebelah kiri. Bagaimana mungkin saya yang lemah ini bisa kabur! Ditambah lagi tatapan orang-orang berpakaian hijau bak mata elang yang tajam, laksana mata itu seperti pedang yang siap menusukimu, menyayat-nyayat kulit dan tubuhmu.
***
Di medio tahun enam puluhan, saya dan tuanku berlari menyusuri satu rumah ke rumah lain, satu kampung ke kampung lain yang ada dalam wilayah Kawedana A—salah satu bekas wilayah Karesidenan B—dengan satu tujuan, bersembunyi dari kejaran orang-orang berpakaian hijau.
Di ujung pematang sawah dekat selokan, tatkala tuanku menghentikan langkah kakinya dan berdiri pada satu rumah reyot yang pintunya telah termakan usia. Kulihat tuanku berdiri terpaku sembari mengatur nafasnya yang tersengal-sengal, begitu capai lari dari kejaran orang-orang berpakaian hijau. Sesaat kemudian tuanku menggedor-gedor pintu reyot yang ada di ujung pematang sawah dekat selokan.
“Tolong, sembunyikan saya,” sahut tuanku kepada pemilik rumah itu, tetapi pemilik rumah itu bergeming tak berkenan atas permintaan tuanku, kemudian ia membanting pintu rumah itu, “Tolonglah saya, kumohon.” Tuanku memelas sembari menggedor-gedorkan pintu, berharap agar diberikan perlindungan. Namun sayang, pemilik rumah itu acuh atau lebih tepatnya takut dicap merah.
Hati tuanku remuk-redam, mendapati perlakuan demikian, ia yang dahulu dihormati karena telah berjasa membantu petani-petani di hampir seantero Kawedana A, kini diacuhkan, dicampakkan oleh orang-orang yang pernah memelas, bersimpuh meminta bantuan. “Dasar ular, culas!” Tuanku merutuki nasibnya, dipandanginya rumah reyot itu dan kemudian berlalu meniggalkan dengan perasaan dongkol.
Mendapat penolakan—sedari malam hingga fajar—kami kemudian menyusuri satu kampung ke kampung lain, satu desa ke desa lain, satu pematang sawah ke pematang sawah yang lain, demi satu tujuan, mempertahankan hidup dari buruan orang-orang berpakaian hijau.
“Kurasa kita aman sekarang,” sahut tuanku, kemudian berbaring di atas gundukan tanah sejenak melepaskan penat, “Untunglah mereka tidak melihat kita bersembunyi di balik semak belukar ini.” Tuanku kemudian memejamkan mata.
Ketika tuanku masih terlelap, perlahan namun pasti terdengar sebuah langkah kaki, kulihat dari balik semak belukar beberapa orang berpakaian hijau sedang menggiring tujuh pemuda kampung, berjalan menapaki pematang sawah yang tak jauh dari sungai kecil yang mengairi pematang sawah. Mereka bertujuh berbaris membelakangi orang-orang berpakaian hijau.
Salah seorang dari mereka kemudian menghunuskan pedang, dan mengangkatnya ke udara, dari jarak tempatku mengintip terdengar jelas suara yang lantang.
“Berdasarkan maklumat tak tertulis, tuan-tuan sekalian dituduh sebagai simpatisan merah, oleh karenanya dijatuhi hukuman tembak.” Pedang yang terhunus di udara kini telah terhunus menghujam bumi, suara tembakan terdengar menyeruak ke udara, dor!
Terlihat jelas di mataku, ke tujuh pemuda itu meregang nyawa dan berjatuhan—terjun bebas—ke sungai kecil yang mengairi persawahan itu.
Sontak, suara itu membuat tuanku terjaga, dengan sigap ia berjalan penuh kehati-hatian, mengintip dari balik semak belukar, nampak keringat dingin mengucur membasahi pelipisnya, “Sebaiknya kita lari cepat,” hanya itu yang diucap tuanku, kamipun bergegas meninggalkan tempat itu, menyusuri pematang sawah, mencari tempat perlindungan, “Entah sampai kapan pelarian ini akan berakhir.” Sahut Tuanku.
***
Sudah empat hari kami berlari dari kejaran orang-orang berpakaian hijau, tuanku pun nampak kelelahan, wajahnya kini telah tirus bin kurus, matanya menapakkan kelelahan luar biasa. Tuanku sejenak berhenti di salah satu rumah reyot yang berada di pinggiran kali, dipandanginya pintu kayu yang sudah nampak lusuh itu, jemari lemah tuanku mengetuk pintu itu, sedetik, dua detik, tiga detik, “Tidak ada jawaban,” kembali tuanku mengetuk pintu itu, sedetik, dua detik, tiga detik, tak ada jawaban. “Sebaiknya kita masuk saja.” Kami pun memasuki rumah reyot itu, atapnya berdaun rumbia, lantainya bertegel tanah dan tidak ada seorangpun penghuninya, hanya ada kasur lusuh, berdebu, dan berbau apek.
Malam itu, diputuskan untuk beristirahat sejenak, cukup lelah dan payah berlari dari kejaran orang-orang berpakaian hijau.
Kini kami berada di belakang rumah reyot itu, ada halaman luas yang berhubungan langsung dengan kali, di sebelah kiri halaman belakang rumah ditumbuhi pepohonan bambu, sedangkan di sebelah kanan rumah ditumbuhi beberapa pohon mangga berdaun lebat nan rindang, dari balik pohon mangga itu terhampar persawahan yang cukup luas, namun sudah tak terawat.
Tuanku menyulut api, membakar kayu dan dedaunan yang berserakan di sekitaran halaman belakang rumah reyot itu, rasa lapar menjejali, rasa dahaga menggerogoti kerongkongan.
Tuanku dengan langkah penuh kehati-hatian menuju kali yang ada di belakang rumah, dengan perlatan dapur yang ditinggalkan si empunya rumah. Tuanku kemudian menggayung air yang cukup keruh dan memberikan kepadaku, “Minumlah,” sahutnya, tanpa babibu menjalarlah air itu membasahi kerongkongan. Setidaknya malam itu ada sedikit kesejukan dan kesyukuran menjelajahi jiwa, tuhan masih memberikan kekuatan.
***
Fajar belum menyingsing sempurna, sayup-sayup terdengar suara langkah kaki yang bergemertak, menyeruak, memekakan pendengaran. Saya terbangun dan samar-samar kulihat tuanku kini telah bersimbah darah, mataku terbelalak melihat pemandangan itu, popor senjata mendarat di pelipisnya. Tuanku hanya meringis menahan kesakitan. Kucoba untuk membantu tuanku, namun sayang, orang berpakaian hijau itu terlalu kuat untuk kutandingi. Ia memegangi seluruh tubuhku, saya berontak! Ia pun menguatkan cengkramannya, membuatku sesak, ada pedang yang tak terlihat menghunus tajam menembusi hatiku, pilu tak bisa berbuat apa-apa. Orang-orang berpakaian hijau menangkapku kemudian memasukkanku ke dalam penjara yang terbuat dari bilah-bilah bambu. Entah kapan penjara itu dibuat, tetapi di dalam penjara dari bilah-bilah bambu itu, kakiku diikat membuatku tak leluasa bergerak, kini saya hanya meringkuk ketakutan.
Dari balik jeruji ini sangat jelas kulihat tuanku hanya menatapku nanar, matanya berubah merah, wajahnya merah, tubuhnya merah bermandikan darah yang bewarna merah.
“Dasar Merah!” Begitulah makian yang dilontarkan orang-orang berpakaian hijau. Tuanku diseret seperti bangkai binatang, ia tak melawan, tak meringis kesakitan lagi, entah mungkin tuanku sudah meregang nyawa ataukah terlalu lelah untuk menahan siksaan. Orang-orang berpakaian hijau itu kemudian membuang tubuh tuanku ke kali di belakang rumah. Kini, Fajar telah menyingsing sempurna.
Syahdan, tibalah giliranku menjemput ajal, sebilah parang telah berada di leherku, saya sudah pasrah menyambut kematian. Akan tetapi, kematian ini tidak sia-sia, karena cerita ini sudah kukisahkan kepadamu kawan dan berjanjilah jangan menceritakan kisah ini kepada orang-orang berpakaian hijau, nanti kamu diculik!
Sejenak algojo yang akan mengeksekusiku sedang merapalkan suatu mantra, sebilah parang itu kini semakin dekat di urat nadi leherku, sejurus kemudian darah mengucur deras dari kerongkonganku yang telah digorok. Tubuhku kejang-kejang, tak kurasakan lagi tarikan nafas, namun masih kurasakan algojo itu berucap.
“Setidaknya, pagi hari ini kita makan ayam bakar.”
Ilustrasi: deviantart.com
Ilyas Ibrahim Husain adalah nama pena dari Adil Akbar. Alumni S1 dan S2 Pendidikan Sejarah UNM. Pernah menjadi guru di SMAN 1 GOWA dan SMAN 3 MAKASSAR. Pun mengajar di SMAN 2 MAKASSAR dan SMKN 10 MAKASSAR