Belakangan ini, ketakutan kita akan kerusakan-kerusakan “tisu sosial” semakin menunjukkan kenyataaannya. Ketidakpercayaan yang dibangun antar generasi menjadi bahan yang ramai menyeruak di permukaan. Padahal, masih banyak hal baik yang bisa dikelola untuk merukunkan rasa memiliki kita sebagai sebuah bangsa yang harmonis.
Seorang pemikir bernama George Orwell dalam esainya Can Sosialist Be Happy diterbitkan Tribune edisi 3 pada tahun 1946. Dengan gaya satire, Orwell menuliskan tentang hal utopis yang berusaha dihidupkan, yakni surga. Utopis secara etimologi tidak berarti “tempat yang baik”, melainkan “tempat yang tidak benar-benar ada”.
Orwell juga dalam esainya itu menceritakan kembali ramalan dunia yang utopis seperti dalam karya H.G. Wells. Dunia yang didambakan atau paling tidak dunia yang Wells dambakan. Dunia di mana segala kejahatan dan penderitaan yang kita alami sekarang telah menghilang. Kebodohan, perang, kemiskinan, kekotoran, penyakit, kefrustasian, kelaparan, ketakutan, pekerjaan yang terlampau keras, semuanya lenyap. Bukannya kita semua menginginkan hal-hal yang Wells ingin tiadakan?
Seperti penghuni utopis lainnya, mereka hanya ingin menghindari recoknya hidup. Hidup mereka membosankan, sama sekali tidak berkesan, “layak”, dan terbebas bukan hanya dari perselisihan, kekacauan, atau kegelisahan macam apa pun, tapi juga dari “gairah”. Mereka memilih menghindari kasih sayang dan tampaknya mati dengan senang hati ketika waktunya sudah tiba.
***
Belum lama ini, luka kita akibat teror yang perlahan-lahan sudah mulai menyembuh, kini robek lukanya, terbuka lalu berdarah lagi. Kabar duka itu datang dari Samarinda. Bom molotov menghantam gereja. Sedihnya, korban berjatuhan dan seorang anak kecil meninggal dunia akibat teror mengerikan ini.
Di sisi lain pelaku pengeboman adalah juga korban utopia. Dia menjelma menjadi korban demi mewujudkan sebuah perjuangan yang utopis, yakni diiming-iming hidup bahagia setelah berjuang lalu mencapai surga.Mungkin itu hanya kisah berulang dari peristiwa-peristiwa perdarahan di bangsa ini dengan iming-iming surga.
Mengapa menerjemahkan menggapai kebahagiaan surga di masa kini justru diperoleh dengan cara-cara terbalik? Dia diperoleh dengan perdarahan, dengan teriakan-teriakan yang spontan menolak “yang lain” atau pun yang “bukan kita”. Bahkan diwariskan dengan nyata ke generasi lebih muda untuk terpenjara dalam logika hitam-putih.
Mungkin benar, kalimat reflektif seorang Jakob Sumardjo dalam tulisannya Kulit atau Isi. Kita benar-benar hidup dalam dunia hitam-putih. Sampai-sampai penulis esai tersebut menuliskan kalimat tanya yang begitu dalam. Apakah kalau berasal dari satu kelompok tertentu, masalah laten akan dapat diatasi? Apakah kita ingin persoalan menahun ini akan selesai atau tidak? Baik oleh orang normal kita atau “orang lain” itu?
Harus berapa lama, bangsa ini melalui pendarahan-pendarahan agar belajar harmonis? Sampai saat ini, penulis masih ragu bahwa dunia ini dicirikan dengan adanya kebalikan. Ini adalah dikatakan Heracritus, filsuf asal Yunani yang hidup kira-kira 540-480 SM. Jika tidak pernah sakit, kita tidak tahu seperti apa rasanya sehat. Jika tidak mengenal kelaparan, kita tidak akan merasakan senangnya menjadi kenyang. Jika tidak pernah ada perang, kita tidak dapat menghargai perdamaian.
Betapa usangnya pemikiran hitam-putih ini mengungkung isi kepala kita. Padahal, lokalitas kita menganut cara-cara organik untuk mencapai keharmonisan itu. Bahkan, di dalam tubuh kita yang organik. Respon dari perdarahan adalah ketidakpercayaan. Kaki dan tangan yang lumpuh, sementara otak kita yang berdarah benar-benar dalam keadaan sekarat. Apakah kita mengincar kenikmatan seperti itu? Bahwa kenikmatan terhebat di surga adalah menonton siksaan yang dilakukan pada para penghuni neraka.
Jadi, sahabat bisakah aku menjabat tanganmu. Kita sama-sama menyembuhkan luka ini. Lalu, menerbitkan sebilah senyum di bibir ini lagi. Sebagai manusia yang sebangsa, tentunya.
(Catatan redaksi: Tisu sosial adalah istilah yang diacu dari Emile Durkheim, yang menunjuk suatu medan kritis yang begitu rentan dimasuki kepentingan tertentu, yang mampu membelah keutuhan bermasyarakat semisal: asal-usul, wilayah, kepentingan, pikiran, kepercayaan, naluri bersosialisasi, tradisi historis, dan bahasa)
Ilustrasi: http://www.human-awareness.com/category/conflicts/
Lahir di Makassar, pada 16 Februari 1991. Terlibat dalam Komunitas Literasi Makassar, ia mengaku banyak mendapatkan kejutan-kejutan dan manusia cerdas. Setelah selesai sekolah medis selama 7 tahun, sekarang sudah jadi dokter. Mondar-mandir di koridor rumah sakit kayak kain pel. Telah menulis buku berjudul: “Sekolah Medis dan Bikini Bottom” (2019). Dapat dihubungi melalui Email: wwdableyu@gmail.com.