Desember dan Ritus Pembebasan

Desember adalah bulan yang panjang. Banyak peristiwa yang terekam di sana. Hari anti korupsi (9), hari HAM (10), Kelahiran Muhammad (12), hari Ibu (22), dan kelahiran Yesus Kristus (25), kelimanya terekam dalam satu makna yang sama; bukan saja mempertemukan hari kelahiran seorang manusia agung diupacarai, hari di mana Ibu kembali diperingati, atau hari kala anti korupsi dan HAM dirayakan, tapi juga kelima peristiwa itu mengingatkan kita akan perjuangan melawan lupa. Lupa atas penghormatan terhadap nilai ketuhanan, kemanusiaan, pembebasan dan perdamaian.

Tulisan ini barangkali tidak banyak mengulas perkara hari anti korupsi, hari HAM, dan hari Ibu, bukan tidak penting, tetapi butuh waktu dan ruang yang lebih banyak untuk menuliskannya. Itulah kenapa, tulisan ini hanya akan lebih banyak bercerita perihal kelahiran dua sosok agung yang di bulan ini kelahirannya dirayakan, dialah yang kita kenal sebagai wujud sempurna dari emanasi Tuhan di jagad raya. Sependek yang penulis ketahui kedua sosok inilah yang dalam sejarahnya sangat berperan penting dalam membangun peradaban dari yang sebelumnya sangat sesak oleh laku-laku kebiadaban. Dalam banyak hal, kedua sosok ini memiliki kesamaan-kesamaan, setidak-tidaknya keduanya sama-sama membawa ajaran keesaan Tuhan, mengajarkan bahwa kebenaran harus diperjuangkan dengan cinta (tanpa kekerasan), menempatkan agama sebagai semangat pembebasan (agama yang dimaksud adalah agama secara substantif bukan simbolik), mengajarkan ketegasan bukan kekerasan, sama-sama mengamalkan ajaran sufistik; membebaskan diri dari kepemilikan dan nafsu, meyakini bahwa semua manusia bersaudara dan perbedaan itu adalah rahmat. Pada titik-titik itulah kedua sosok ini ada pertemuan.

Kelahiran Isa Al masih—Yesus Kristus—, yang kita sebut Natal dan kelahiran Muhammad SAW, yang kita kenal sebagai perayaan Maulid seharusnya tidak dimaknai sekadar pesta euforia dan perayaan simbolitas semata, yang sarat akan laku konsumtif, kapitalistik dan eksklusifitas teologis. Tetapi mestinya dimaknai sebagai ritus reflektif untuk menumbuhkan rasa keberagamaan yang altruis—berkorban dan membebaskan—serta menghormati keberbedaan, dalam hal apapun. Semangat itulah yang harusnya dibangun dan dirawat.

Kehadiran kedua sosok ini di muka bumi, merupakan realitas kesejarahan yang membawa pesan perjuangan untuk kerja pembebasan dan perdamaian. Keyakinannya akan keesaan Tuhan dijadikan sebagai ilham dan penyemangat untuk memimpin serta mengorganisir perjuangan, perlawanan dan pengorbanan untuk melawan semua status quo, belenggu dan penindasan terhadap ummat manusia. Dalam sejarah kita menyaksikan bagaimana Yesus dan Muhammad telah memperkenalkan ajaran akan ketundukan pada keesaan Tuhan dan penghormatan akan nilai kemanusiaan, serta memimpin ummat untuk melawan segala praktik-praktik perbudakan.

Kedua sosok agung ini, lahir di tengah-tengah kaum yang termarginalkan, para budak, anak yatim, janda dan orang orang miskin yang luar biasa menderitanya. Dari komunitas inilah Muhammad dan Al-masih memulai perjuangannya untuk mewujudkan cita-cita kemanusiaan, yaitu persaudaraan universal, keseteraan, keadilan sosial, dan keadilan ekonomi. Sebuah cita-cita yang membutuhkan keyakinan, tanggung jawab, keterlibatan dan komitmen. Karena itulah, di sana sangat dibutuhkan kebersetiaan.

Itulah kenapa, kedua sosok tersebut mewajibkan umatnya untuk melakukan perjuangan membela orang-orang yang tertindas, dan memosisikan diri sebagai pembela kelompok yang termarginalkan. Kedua sosok ini selalu menyeru manusia untuk terus memperjuangkan harkat kemanusiaan, menghapuskan kezaliman, melawan penindasan dan segala bentuk ekploitasi. Begitulahlah cita-cita ideal diturunkannya mereka ke muka bumi.

Kehadiran keduanya menjadi penegas bahwa, pada dasarnya sejak mula diturunkannya mereka beserta ajaran-ajarannya memang hadir dengan watak subversif terhadap kekuasaan yang ada di sekelilingnya, terutama kekuasaan yang sewenang-wenang. Hal itu tidak terlepas karena memang demikianlah cita awal agama diturunkan; mengubah tata nilai lama kedalam tata nilai baru yang lebih maju. Itulah barangkali, mengapa Yesus Kristus, dan Muhammad Saw di masa hidupnya senantiasa dicap sebagai pemberontak atau pembangkang oleh penguasa-penguasa di mana mereka hidup. Dari berbagai kisah mereka, kita dapat memetik banyak hikmah. Dari sana kita bisa menyaksikan bagaimana Yesus Kristus menjadi oposan bagi penguasa imperialis Byzantium yang lalim, dan Muhammad Saw menjadi penyeru perlawanan, untuk menghancurkan sendi-sendi kesewenang-wenangan para bangsawan Quraisy tanah arab pada waktu itu.

Kehadiran sosok ini di tengah kepenatan hidup dan kebekuan berpikir seperti sekarang ini sungguh sangat diperlukan dan dinanti. Ia tidak saja memaknai agama sebagai laku spritual semata. Tetapi menempatkan agama sebagai laku keberimanan yang menyeru pada perlawanan, pembebasan dan perdamaian. Sebagai pembawa risalah ilahi, kedua sosok ini laksana lautan tak bertepi dan bumi tak terjejaki. Ia selalu mengajarkan kepada umatnya untuk bersikap toleran terhadap sesama, peduli akan penderitaan orang lain, menerima kelompok berbeda untuk hidup berdampingan sambil bergandengan tangan tanpa harus bertikai, serta mengabdikan hidup demi persaudaraan, pembebasan, perdamaian dan menjaga martabat manusia, sehingga terwujud tatanan masyarakat yang adil, demokratis, egaliter dan berperadaban.

Ritus perayaan natal dan maulid, mengajak kita untuk menelusuri kembali gagasan pluralitas dan progresifitas ritus tersebut, serta menyulam kembali kesadaran kita agar tetap lestari di tengah kepungan arus zaman yang kian kapitalis dan serba materialistik, seperti saat ini. Jangan sampai keberagamaan kita justru tumpul dan tampak lugu serta dungu ketika berhadapan dengan realitas sosial yang harus dihadapi umat: kekerasan atas nama SARA, rendahnya upah buruh dan redistribusi tanah yang tidak merata, meluasnya lembaga pelayanan publik yang berwatak komersial, utang luar negeri yang membubung, dan banyak persoalan lain. Kira-kira begitulah harusnya kita memaknai kelahiran dua sosok agung tersebut. Natal, maulid mestinya menjadi ritus reflektif, mengenang Sang Agung, yang dalam hidupnya berani keluar dari jalan ramai, penuh hiruk pikuk kekuasaan, menuju jalan sunyi, jalan perjuangan, pembebasan dan perdamaian.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *