Ia membungkus pisau dengan namaMu. Ia ingin melukai Kau dengan melukaiku. (Joko Pinurbo)
Sekira dua tahun yang lalu, persisnya, tanggal 23 Desember 2014, saya menulis puisi di blog pribadi saya, dengan judul “Natal”. Dan, tahun berikutnya, nasib puisi itu, bersama beberapa puisi lainnya, diikat dalam satu rumpun, buku sehimpun puisi, yang bermarga, AirMataDarah. Pada Natal tahun ini, saya tidak mengarang puisi. Entah kenapa belakangan ini, saya menyepikan diri dari menganggit puisi, lebih banyak menulis esai. Maka, esai ini pun, saya dedahkan untuk menandai Natal, yang oleh sekaum saya, banyak yang tidak menaruh simpati, apatah lagi empati, waima sekadar ucapan Selamat Hari Natal bagi kaum yang merayakannya.
Esai yang saya tuliskan ini, tiada lain adalah ulasan atas puisi yang ada di buku itu. Walau sebenarnya, esai ini serupa ketabuan bagi seorang pengarang puisi untuk menafsirkan puisinya, karena hal itu bisa berakibat fatal, seolah menyajikan tafsir tunggal atas apa yang telah dilahirkannya. Padahal, sudah jamak di jagat pengetahuan, bahwa seorang yang telah mengarang dan mempublikasikannya, maka sang pengarang pun telah mati. Begitulah Roland Barthes mensabdakan. Namun begitu, saya melanggar ketabuan demikian. Dengan berlindung pada Maman S Mahayana, yang menyatakan, lewat bukunya Pengarang Tidak Mati.
Pada bait-bait awal puisi Natal itu, saya menulis ujar-ujar:
Aura Natal mengharu biri di kisaranku // teringat dengan kawan-kawan kristianiku // semasa masih kanak-kanak dan usia sekolah // Johannis, Feri, Obet, Tabita, Rifka, Adriana, Lasarus // berada di mana kalian?
Sejatinya memang, saya lahir di sebuah negeri yang cukup tua peradabannya, sering dijuluki Butta Toa, tanah yang tua, itulah Bantaeng. Usianya kini sudah 762 tahun. Jumlah penduduknya sekira 207. 975 jiwa. Aneka etnis yang memukiminya. Makassar, Bugis, Toraja, Mandar, Tionghoa, Jawa, Sumatera, dan lainnya. Pokoknya, hampir semuat etnik ada di Bantaeng. Pun agama yang dipeluknya, beraneka, ada Islam, Katolik,Protestan,Hindu,Budha dan Kong Hu Chu. Saya sering membanggakan, kampung halaman saya, tempat lahir dan bertumbuh menjadi dewasa, serupa dengan miniatur Indonesia. Mesjid dan gereja, berdiri berdekatan, berdampingan, yang jumlahnya, ada empat gereja, yang usianya lebih tua dari umur saya, yang mendekati separuh abad ini.
Ada sejumput rindu untuk bertemu // sebisa mungkin kita main bersama lagi // penuh keceriaan nan bahagia // masihkah mungkin di usia jelang separuh abad // merasakan masa kanak-kanak dan usia sekolah?
Sengaja ini kutanyakan padamamu // dan pada diriku // sebab dalam mengarungi kemelataan hidup // tidak sedikit pengalaman yang mengharuskan // saling benci bahkan saling meniadakan.
Kerinduan untuk bersua kembali, terkadang membuncah di jiwa saya. Pada Natal tahun ini, saya telah berjanji pada diri sendiri, bila bertemu siapa saja di antara kalian, saya akan memberikan hadiah, berupa buku-buku bacaan pavorit saya. Setidaknya, ada dua buku yang telah saya persiapkan, masing-masing, Happines Inside, karangan Gobin Vashdef dan Anak Juga Manusia, tulisan Angga Setyawan. Buku-buku tersebut, saya sengaja pilihkan, dengan harapan kita semua berbahagia dan sekaligus menjadi orang tua yang memperlakukan anak-anaknya selaku manusia.
Pada sisa jatah usia kita masing-masing // kedewasaan tentulah makin menghampiri // dan puncaknya menjadi kanak-kanak kembali.
Aku benar-benar berharap // kala kita bertemu kembali //kita semua sudah mendewasa dalam wujud kekanakan // biar keceriaan nan bahagia itu menerungku kita.
Dalam terungku itulah // kita bisa saling berbagi // sebab kita berada pada nasib yang sama // ditakdirkan sebagai sesama manusia //yang mesti saling memelihara kehidupan //sebagai buah dari kelahiran //bukankah Natal berarti kelahiran?
Mungkin saja bila kita berjumpa, tidak lagi saling mengenal roman muka, karena semuanya menjadi tua. Sebab, saya tidak sanggup merabanya. Kita yang puluhan tahun lalu, kala masih SD, SMP dan SMA, dengan wajah-wajah yang masih lugu, enerjik dan obsesif, tetiba saja berubah menjadi manusia-manusia, yang tidak lama lagi bersetubuh dengan tanah. Bahkan, saya sendiri, terkadang mencium bau badan saya, sudah bau tanah. Dan, mungkin saja, kalian pun demikian. Kawan-kawanku, bau tanah yang menghidu setiap diri, tak sanggup diusir oleh parfum apapun, termasuk minyak wangi yang dari Paris. Kenapa? Karena kita dari tanah, dan akan kembali menjadi tanah.
Kehidupan diawali oleh kelahiran // bagi pecinta kelahiran manusia agung // baik bagimu maupun untukku //memelihara kehidupan adalah titahnya.
Pengalaman hidup yang saling benci// hanyalah beternak permusuhan // pangkal permusuhan adalah benci // muaranya akan saling mematikan // mari di tengah perayaan kelahiran // kita kubur kematian.
Sesarinya, kita mesti berkumpul kembali. Pasalnya, perjalanan hidup kita, dengan selimut pengalaman yang kita lalui, tidak menutup kemungkinan, telah tumbuh benih-benih kebencian pada diri saya dan juga pada kalian. Apatah lagi, kehidupan sosial kita saat ini, di negeri yang berbhineka, yang seharusnya tunggal ika, aura kebencian begitu massiv merinsek masuk dalam jiwa-jiwa kita, yang tak pernah kita bayangkan bersama, sewaktu kita semua masih kanak-kanak. Memang, kala kita dulu kanak-kanak, sering saling ejek, bahkan menyerempet ke hal-hal sensitif, tapi itu semua hanya bagian dari ulah kekanakan kita, sehingga jauh dari benci.
Sudah saatnya kita main bola lagi, petak umpet dan jenis-jenis permainan yang mengakrabkan kita, yang kesemua permaianan tidak punya agama dan etnik. Sebab, saya tidak ingin, dan berharap pun pada kalian, terjerumus dalam sindiran Joko Pinurbo, dalam sajaknya, “Pisau”, yang saya dedahkan pada pembuka esai saya ini, yang lebih serona dengan surat rindu. Kerinduan akan masa silam, yang kita hadirkan kembali di kiwarian.
Sumber gambar: http://www.deviantart.com/
Pantastik