Viya

Pernikahan hanyalah legitimasi perbudakan. Tetiba aku teringat kata-kata itu. Awalnya aku pikir itu hanyalah sebuah senjata yang ia gunakan untuk menolakku. Sehingga ia bisa terbebas dari upayaku merebut hatinya. Tapi kini aku sadar, pesan itu bukanlah sekadar penutup ruang hati, namun juga sebuah petuah. Atau barangkali peringatan. Aku menyesal tak mencatatnya baik-baik dalam lembaran hidupku.

Aku terus memacu mobil. Melewati padatnya lalu lintas Ibu Kota. Sesekali juga harus menekan klakson untuk memperingatkan pengendara motor yang kerap menyerobot dari arah kiri. Memang bukan hal yang rahasia lagi jika di negara ini orang bisa melanggar aturan agar tujuannya cepat tercapai. Hari ini udara sangat terik, jarum arlojiku telah mengarah tepat pada angka sebelas. “Sial, aku bisa terlambat”

“Di mana ia sekarang?” tiba-tiba lamunan mengantarkanku pada sosok perempuan “gila” yang pernah aku kenal dulu. Padatnya jalan, memberikan peluang memoriku membuka kembali kisah-kisah yang telah lama terpendam. Namanya Viya. Ia teman sewaktu kuliah dulu. Parasnya cantik, namun tidak terlalu terurus. Rambutnya tergerai hingga sebahu, kerap tertutup topi hijau bergambar bintang merah. Matanya bulat, terlihat tajam di balik sebuah bingkai berkaca. Tampilnya sedikit tomboy dengan kemeja lengan panjang tak terkancing yang menjadi ciri khasnya.

Kami pertama kali bertemu di sebuah kantin yang berada di belakang Fakultas Sospol. Saat itu aku tak sengaja memergokinya sedang merobek selembaran poster milik salah satu komunitas keagamaan. Terlihat sedikit vandalistik. Namun dari situlah aku mulai tertarik padanya. Sebab di zaman modern seperti saat ini, biasanya perempuan hanya disibuki dengan urusan make-up dan brand aksesoris kecantikan tubuh. “Penjual agama, cuihh!”, katanya ketus sambil menyemprot robekan kertas dengan ludahnya.

Begitulah Viya. Perilakunya tak laku menjadi rujukan hidup perempuan-perempuan hedon. Aku pernah mendapatinya sedang berdebat dengan dosen karena dianggap terlalu memprovokasi mahasiswi lainnya untuk turut melakukan demonstrasi di hari Perempuan Internasional. Setelah aku selidiki dari mahasiswi sekelasnya, aku baru tahu kalau Viya kerap menyampaikan isu-isu gender pada rekan-rakannya. “Ah Viya, kau memang gila,” batin ku saat sadar kalau mobil yang ku kendarai harus berhenti di lampu merah.

***

Sejak keributan di ruang dekan beberapa hari yang lalu. Aku tak lagi mendapati Viya berada di kampus. Kantin belakang fakultas juga tak menunjukkan adanya sosok perempuan berkacamata yang biasa mangkal sambil membaca. Aku khawatir ia diskorsing karena tuduhan tindakan subversif. Atau ditangkap karena kedapatan merusak fasilitas kampus. Sebab, sudah beberapa kali ia bermasalah dengan birokrat kampus. Viya pun terkadang tak segan-segan memaki mereka dengan sebutan tikus, para penjual obat, antek-antek kapitalis, atau bahkan anjing-anjing penjilat. Sampai-sampai karena ulahnya itu, ia harus dipaksa keluar ruang dekan oleh pihak keamanan. “Sudahlah, kenapa aku harus sibuk mencarinya?”. Aku pun memilih untuk pulang dan menyegerakan mengisi lambung tengah yang sedari tadi sudah berorkesria.

Namun pada saat langkahku baru saja meninggalkan gerbang kampus, aku mendapati sosok berkacamata itu sedang asyik duduk sambil membaca di sebuah kios pedagang kaki lima. Ia sendirian, dan tampaknya memang selalu senang menyendiri. Tanpa memedulikan perutku yang keroncongan aku pun segera menghampirinya.

“Kau tak kuliah?” kata ku membuka percakapan. Ia hanya tersenyum lebar, seakan menutup malu. Entahlah. Lalu terus merapal huruf-huruf pada buku tebalnya itu. Tak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya. Tapi aku tak goyah, sebab ini adalah kesempatan untuk mengenalnya lebih dalam. “Kopi hitamnya satu Pak”, pintaku pada pemilik kios, sekaligus upayaku mengalihkan perhatiannya agar tak mencurigai gelagatku. Sambil menunggu pesananku, aku menyalakan rokok yang tinggal beberapa batang saja tersimpan di saku kemejaku. Lalu tiba-tiba terdengar suara buku tebal tertutup keras, kemudian diikuti dengan sebuah tanya.

“Kau anak FKIP ya?”

“Dari mana kau tahu?”

“Hampir semua mahasiswa tahu asal fakultasmu, hanya dari seragammu itu.”

“Hahaha iya, kau benar. Hanya fakultasku yang mewajibkan mahasiswanya menggunakan seragam”

“Kau ini mahasiswa atau anak sekolah?”

Pertanyaannya sedikit menohok, namun aku tak bisa menyangkalnya. Aku benar-benar tak berdaya di hadapannya. Atau barangkali, kata-katanya itu baru saja menyadarkan sikapku yang selama ini apatis menyikapi kebijakan birokrat kampus.

“Mereka memang antek kapitalis, menganggap kampus sebagai pasar. Memperdaya mahasiswa agar jualannya laku. Kau dan teman-temanmu telah ditindas oleh birokrat kampus.  Kau dipaksa membeli bukan?” ujarnya. “Itu sebabnya aku membenci kampus. Karena kita tak menemukan pendidikan yang humanis. Semua harus rigid, menilai sesuatu hanya dari angka-angka. Mengkritik sedikit kita dianggap melawan. Memangnya mereka dewa yang selalu benar?”

Aku hanya tersenyum kecut.

“Jadi kau sudah tidak mau kuliah?”

“Justru itu, aku harus tetap berada di dalam kampus. Perjuangan belum selesai bung!”

Kata-katanya terus terngiang di kepala. Membuatku berpikir sepanjang perjalanan menuju kos. Rasa laparku pun telah lenyap. Hanya wajah dan ucapannya yang selalu hadir menemani sepanjang malamku. “Aku harus menemuinya lagi.”, gumamku mengakhiri malam.

***

“Berengsek macet!” teriakku sambil memukul stir mobil. Rasa kalut di kepala sepertinya telah terakumulasi. Tapi aku sadar kalau aku harus tetap tenang. Oleh sebab itu kuambil cepat sebatang rokok di saku celana. Menyulutnya agar sedikit menenangkan pikiran. Asap menyembul keluar, kuantitasnya agak sedikit berlebih setelah sengaja kuhisap dalam-dalam. Macet telah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat kota, namun terkadang macet juga bisa menjadi jalan cepat menuju lianglahat. Bukannya sudah banyak kasus kecelakaan yang terwartakan akibat tidak sabar mengendarai? Lagi pula masih ada satu jam. Jadwal di surat itu mengaharuskan kuhadir pukul 13.00 dan setelah itu, maka semua akan berakhir. Tak henti-hentinya aku terus menyugesti diri.

***

Pertemuanku dengan Viya semakin intens. Kini bukan saja diskusi-diskusi kampus yang kita lakukan. Kita juga kerap menggelar aksi-aksi protes terhadap penguasa. Serta  mengadakan pendampingan pada masyarakat dan memberikan pemahaman tentang adanya upaya oknum-oknum yang korup.

Tak terasa pertemananku dan Viya telah berjalan setengah dekade. Selama itu, telah banyak suka duka yang kita lalui bersama. Aku pernah ditangkap karena mencoba menghentikan mobil presiden saat kunjungannya ke daerah kami. Popor senjata menghantam kepalaku, mengakibatkan lebih dari selusin jahitan untuk menutup luka tepat di ubun-ubun. Untungnya aku masih  hidup dan kampus tak mengeluarkanku karena ulah tersebut. Saat itu, aku paham bagaimana upaya Viya membebaskanku dari jeruji penjara. Jadi cukuplah tiga malam aku bermalam dan mendapatkan makanan gratis di sana. Lain lagi yang dialami Viya. Ia hanya butuh bermalam semalam di rumah sakit karena jatuh pingsan. Setelah terkena tendangan sepatu laras saat menghalang satu peleton orang berseragam melakukan penggusuran. Kala itu nyawanya masih panjang, Tuhan belum rindu dan memanggilnya pulang.

Dari rutinitas kubersama Viya. Ada satu hal yang aku suka darinya. Yakni saat ia mengajakku ke sebuah kamar kos. Jalan menuju tempat itu terbilang cukup jauh. Letaknya agak terpencil, melewati gang-gang sempit perkampungan padat penduduk. Itu adalah kos Viya. Meski kecil dan terbilang sempit, tumpukan buku yang ia tata rapi membuat dekorasi kosnya terlihat indah. Belum lagi poster-poster beberapa pemikir abad 18 yang terpampang pada dinding kamarnya. Ada satu poster perempuan yang kerap ia elu-elukan: Rosa Luxemburg. Bisa panjang lebar ia menjelaskan bagaimana perempuan revolusioner Jerman itu berjuang. Tapi itulah yang membuat aku mengaguminya. Selain bahasanya yang lugas, ia akan terlihat semakin anggun saat gerakan tangannya ikut menghiasi argumen-argumennya.

“Ayah ku sakit, Vi. Aku diminta cepat menyelesaikan kuliahku dan kembali ke kampung halaman”. Aku memecah keheningan saat Viya baru saja menarik nafas untuk melanjutkan penjelasannya. “Lantas bagaimana dengan gerakan kita selama ini?” tanyanya dengan nada sendu.

“Aku telah memikirkannya. Dan akan melanjutkannya setelah masalahku selesai. Namun, selama ini kita sepertinya kerap melupakan masa depan kita. Sudah berapa lama kita tidak menjenguk orang tua kita?”

“Hak masyarakat lebih penting diperjuangkan dibanding hak kita, Gi”

“Tapi bagaimana kita bisa memperjuangkan hak orang lain kalau hak kita sendiri tidak terpenuhi? Aku ingin menyelesaikan masalahku lalu pergi ke kampungmu untuk meminangmu. Aku mencintaimu, Vi”

“Kau gila. Kau telah teperdaya hegemoni kapitalis, Gi. Tak ku sangka kau akan berkhianat. Dan jangan sekali-kali kau sebut-sebut soal pernikahan. Bagiku pernikahan adalah legitimasi perbudakan.

***

Aku tiba. Tepat seperempat jam lagi waktu sidang perceraianku. Di Pengadilan Agama ini begitu banyak masalah serupa yang menimpaku. Dan hingga kini, aku masih seperti bermimpi. Usia pernikahanku hanya bertahan selama tiga tahun. Kesibukan mengurusi urusan kantor ternyata meninggalkan celah untuk istriku. Saat tugas keluar kotaku mengalami penundaan, tak sengaja aku berpapasan dengannya berboncengan masuk ke sebuah penginapan. Dan setelah mengintainya, aku menangkap basah ia sedang asyik bersama laki-laki lain. Bangsat. Istri tak tahu diuntung, susah payah aku banting tulang hanya untuk memenuhi segala keinginannya. Aku tiba-tiba muak saat terbayang kejadian sialan itu.

Tapi aku lega. Sebab semua akan berakhir. Setelah putusan hakim, aku akan mendapatkan lagi kemerdekaanku. Tak ada lagi rengekan ilusi yang meminta pemenuhan materi. Sial. Tiba-tiba aku merindukannya sosok perempuan berkacamata yang telah kutinggal begitu saja di sebuah kamar kos. Dan tak pernah aku temui lagi hingga aku hijrah ke Ibu Kota.

Ketukan palu telah terdengar tiga kali menyentuh bantalannya. Hakim telah memutuskan. Kini aku sah sebagai seorang duda. Sebuah label yang tidak pernah aku sangka-sangka akan menyandangnya. Ternyata ada benarnya petuah Viya, bahwa perjuangan membina rumahtangga tak semudah melakukan aksi tutup jalan. Di jalan yang mulai lengang, aku kembali menyulut sebatang rokok. Mobilku pun mampu dipacu lebih cepat, meski tak secepat memoriku memutar masa lalu. Di jalan yang mulai gelap, sekilas aku menatap seorang wanita berkacamata yang sedang menggendong anak. Apakah itu dia?

 

Sumber gambar: damardaengmanakku.wordpress.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *