Mau Tellu Pabisena
Nabongngo Pallopinna Ala Natea Nalureng
Tulisan sederhana ini dibuka dengan menyematkan petuah leluhur Bugis-Makassar yang dipersembahkan kepada anak cucunya. Sebuah petuah yang sarat makna. Pun pesan leluhur ini masih bisa tersampaikan melalui kecerdikan Abdullah Alamudi, yang memasukkan petuah ini dalam penggalan—lirik lagu – Bulu’ Alauna Tempe. Sebuah kidung yang pernah dinyanyikan Dian Ekawati, Iwan Tompo hingga Macica Mochtar.
Dalam masyarkat Bugis-Makassaar, pesan leluhur ini disebut pappangaja’ atau pappaseng, yang secara harfiah berarti pesan atau amanah. Begitu banyak amanah atau pesan leluhur yang sarat akan makna tersebar dalam lontara. Manifestasi kebudayaan dalam bentuk tulisan.
Tiap-tiap paseng mengandung makna dan fungsinya sendiri. Seperti amanah dalam rumah tangga yang termaktub dalam ungkapan, “iapa nakulle tauE MabbainE na rekko naulleni maggulilingi wi dapureng wekka pitu”,[1] yang dalam bahasa Indonesianya berarti, “Apabila seseorang ingin beristeri maka ia harus sanggup mengelilingi dapur tujuh kali”. Pesan leluhur ini ditujukan secara khusus buat mereka yang ingin membangun mahligai rumah tangga, terutama untuk seorang suami. Dapur dalam pesan ini bermakna rumah tangga sedangkan tujuh menandakan banyaknya hari dalam satu pekan, yang secara harfiah merujuk pada kemampuan mencari rejeki.
Pappangngaja’ atau pappaseng tak terlepas juga pada persoalan keseharian, ia juga menyentuh ranah-ranah politik, seperti memilih pemimpin. Dalam pandangan kebudayaan Bugis maupun Makassar, memilih pemimpin harus mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk di dalamnya unsur kecerdasan dan kecakapan. Sebagaimana arti dari ungkapan pembuka dalam tulisan ini.
“Walaupun tiga pendayungnya, namun nahkodanya tidak cakap (bodoh), maka tak sudi diriku menjadi penumpangnya.”
Tidak berhenti pada unsur kecerdasan, dalam bukunya H.A. Rahman Rahim yang berjudul Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis, disebutkan secara eksplisit bahwa pemimpin itu setidaknya harus memenuhi enam sifat utama yakni; lempu yang diartikan sebagai kejujuran, acca yang berarti kecerdasan, assitinajang yang bermakna kepatutan, getteng yang bermakna keteguhan / ketegasan, reso yang berarti kerja keras, dan siri’ yang berarti menjaga rasa malu.[2]
Jikalau ditelisik, kata lempu dijadikan syarat pertama untuk menjadi seorang pemimpin. Mengapa nilai lempu atau kejujuran yang paling diutamakan? Karena dasar dari kebaikan manusia berasal dari kejujuran. Jujur terhadap orang lain maupun jujur terhadap diri sendiri.
Pentingnya nilai kejujuran dapat dilihat dari pesan Karaeng Matoaya kepada putranya Pattingngalloang, “takutilah orang yang jujur.” Sebagaimana juga pesan Karaengta ri Ujungtana yang menyatakan, “kejujuran ibarat sebatang bambu yang mengambang di sungai, jikalau di injak pokoknya, maka timbul ujungnya sebagian, sebaliknya, jika diinjak ujungnya maka timbul pokoknya.” Baik pesan Karaeng Matoaya dan Karaengta ri Ujungtana mengindikasikan bahwa kejujuran itu tak akan tenggelam.[3]
Sebagaimana kejujuran, kecerdasan juga diperlukan bagi seorang pemimpin. Kecerdasan atau acca juga harus bersanding dengan sifat getteng atau ketegasan. Salah satu inspirasi ketegasan yang terekam dalam benak masyarakat Bugis, terutama yang bermukin di daerah Sidenreng-Rappang adalah kisah ketegasan seorang hakim bernama La Pagala Nene Mallomo.
Tersebutlah kisah di tanah Sidenreng-Rappang yang terkena paceklik, tatkala padi tidak merunduk dan hamparan sawah tidak menguning. Maka bermusyawarahlah Adattuang Sidenreng dan Arung Rappang. Menyelidiki sebab-musabab mengapa bencana paceklik melanda dua kerajaan kembar itu. Singkat cerita, diketahuilah bahwa seorang anak hakim telah mencuri alat bajak sawah milik orang lain. Sebagaimana hukum yang berlaku saat itu, maka anak hakim itu harus dijatuhi hukuman mati. Lalu siapakah yang menjatuhi hukuman mati itu? Tak lain dan tak bukan adalah ayahnya sendiri, yaitu Nene Mallomo.
Ketika sang anak dijatuhi hukuman mati, para warga mencoba menghadang niatan sang hakim. Sebagaimana yang disebutkan dalam lontara dan kisah yang diturunkan secara turun-temurun, Nene Mallomo mengambil sikap untuk tetap melaksanakan keputusan dengan memberikan satu petuah, “iaseng ade’ temmakeana temmakkeppo” yang secara harfiah berarti, “yang namanya hukum tak mengenal anak dan cucu.”
Sesungguhnya dijatuhinya hukuman mati putra sang hakim (Nene Mallomo) bukanlah terletak pada perkara alat bajak yang dicuri, melainkan substansi atas ketidakjujuran terhadap diri sendiri. Tepatnya terhadap nurani dan hati yang suci. Apa yang dilakukan Nene Mallomo berabad-abad silam memberikan pelajaran bahwa hukum dan peradilan harus tajam ke atas dan tajam pula ke bawah. Bukan hukum yang tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas.
Sebagaimana yang telah diutarakan secara singkat (walaupun tidak menyeluruh) bahwa seorang pemimpin dalam pandangan kebudayaan Bugis maupun Makassar, harus memenuhi kriteria-kriteria yang disebutkan sebelumnya. Pemimpin harus memiliki sifat jujur, cerdas, tegas, patut, pekerja keras, bertanggung jawab dan memiliki Integritas.
Sesungguhnya, apa yang tercermin dalam nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Bugis maupun Makassar memiliki satu kesamaan terhadap nilai-nilai islami. Dalam pandangan Islam juga dituntut memilih seorang pemimpin yang memiliki kecakapan, kecerdasan, dan tanggung jawab. Sebagaimana dalam diri Rasulullah SAW yang memiliki sifat siddiq, tabligh, amanah dan fathanah.
Akhirul kata, semoga tulisan singkat ini membawa satu faedah yang baik.
—
[1]M. Arif Mattalitti, Pappaseng to Riolota Wasiat Orang Dahulu (Jakarta : Balai Pustaka Bekerjasama dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1986)
[2] Rahman Hamid, Nilai-Nilai Utama Kebudayan Bugis, (Ujung Pandang : Hasanuddin University Press, 1992) Hlm. 144-168,
[3] Ibid. Hlm. 151
—
Sumber gambar: integralist.blogspot.co.id