Burung gereja bersenandung kidung alam. Semua penghuni hutan di ketinggian Gunung Gede—di puncak selatan Bogor—terkesima akan cuitan merdu burung gereja itu. ada kelinci, yang melompat-lompat di tanah, ada kupu-kupu yang beterbangan, serta ada rusa yang asyik berlari-lari kecil. Mereka begitu khidmat menikmati kidung-kidung hutan yang disenandungkan burung gereja.
Seolah alam menaruh takzim pada suara yang begitu merdu, angin pun berhenti berembus sejenak dan hutan pun serasa sunyi, penuh kedamaian.
“Sungguh kedamaian yang begitu khidmat, andai hutan tempat kita tinggal selalu seperti ini,” sahut si kupu-kupu yang terbang rendah mendekati Konijn, seekor kelinci penghuni hutan.
Konijn hanya tersenyum, kumisnya ikut mengembang, ia lantas mengangguk sebagai tanda setuju atas pernyataan Vlinder yang terbang semakin rendah.
“Yah, hutan semakin rusak oleh tangan-tangan jahiliyah manusia, lihatlah sampah berserakan, beberapa batang pohon ditebang,” sahut Hert seekor rusa yang menghuni hutan. Ia mendengus kesal, ikut nimbrung dalam percakapan antara Vlinder dan Konijn.
“Mari sejenak kita nikmati suasana sendu ini, sembari mendengarkan kidung-kidung hutan yang disenandungkan burung gereja,” sahut Konijn, kelinci hutan berbulu abu-abu.
Mereka bertiga kemudian tenggelam bersama kidung-kidung hutan, yang membawa mereka atas kenangan masa lalu.
***
“Aummmm!” suara auman hutan harimau kembang terdengar membangunkan penghuni hutan di malam hari yang dingin itu.
Pada malam itu Hert, Vlinder, dan Konijn yang sedang hangat tidur di bawah dedaunan langsung terjada. Mereka ketakutan mendengar auman seekor harimau kembang—penghuni hutan memanggilnya Spot. Pikiran mereka kalut, terlintas di benak mereka rasa berburuk sangka, karena auman Spot itu sebuah pertanda bahwa mereka akan mati diterkam hewan buas malam itu.
“Bagaimana ini? aku takut menjadi santapan malam Spot…, si harimau yang lapar itu,” ucap Konijn yang sangat ketakutan, peluh pun mengalir deras membasahi bulunya yang abu-abu itu.
“Tenang dulu Konijn! Kamu jangan gelisah seperti itu. Hey Vlinder kepakkan sayapmu, kamu intip dulu sana, di mana si Spot itu dan kenapa ia mengaum kencang di malam hari.”
Hert menyuruh Vlinder untuk mencari informasi, gerangan apa yang membuat Spot si harimau kembang membangunkan penghuni hutan. Dipilihnya Vlinder bukan tanpa alasan, tubuhnya kecil pun ia bisa terbang dan tentunya bisa bersembunyi di antara dahan-dahan maupun ranting-ranting pohon. Di sisi lain, hanya Vlinder yang tak mengundang hasrat untuk diterkam si Spot.
“Oke siap! Kalian tenang dulu yah di sini,” sahut Vlinder dan bersegera mengepakkan kedua sayapnya–yang bewarna hitam dengan corak kuningnya itu—ke arah timur hutan, menyusuri gema auman Spot.
***
Malam silih berganti, Fajar mulai terbit dari ufuk timur bersama lelehan embun yang dingin. Perlahan-lahan cahaya matahari mulai menyibak dedaunan dan ranting-ranting pohon yang menaungi hutan. Pagi pun menyapa dengan sinaran hangat dari sang mentari. Namun, kehangatan itu belum mendekap Hert dan Konijn. Mereka risau, menunggu sedari malam hingga pagi.
“Di manakah gerangan si Vlinder itu yah? tanya Hert dengan perasaan berkecamuk dalam kekhawatiran yang teramat sangat.
“Jangan-jangan Vlinder mati diterkam Spot, si harimau kembang itu?!” tandas si Konijn dengan mata melotot, seolah-olah mengekspresikan keyakinannya tentang kebenaran yang akan terjadi pada Vlinder.
“Gak mungkin, kamu jangan sembarang ucap. Mana mungkin Spot si harimau belang itu ingin menerkam Vlinder, kamu tahu sendirikan Spot hanya makan daging, tepatnya daging kelinci dan rusa.”
Konijn menelan ludah, ia bergidik mendengar penuturan Hert. Lantas Konijn berjalan beberapa langkah ke depan—walaupun sebenarnya Konijn melompat. Ia sejenak memandangi pepohonan yang menaungi hutan. “Yah sudah, sekarang kita cari Vlinder bersama-sama.”
***
Matahari mulai meninggi, pertanda hari sudah mulai siang. Hert dan Konijn terus berjalan mengitari hutan, melihat ke kanan dan ke kiri. Ke depan dan ke belakang. Tak ada tanda-tanda keberadaan Vlinder. Mereka berdua berseru serempak memanggil nama Vlinder. “Vlinder…! Vlinder..! Vlinder…!” mereka tak jemu-jemu memanggil nama Vlinder, bahkan di antara ruas-ruas pepohonan yang tumbuh berundak-rundak di bukit mereka terus berteriak.
“Vlinder…! Kau di mana?!”
Tiba-tiba, dalam pencarian Vlinder. Hert dan Konijn mendapati segerombolan manusia berjalan, memasuki hutan dengan membawa tas yang terlihat sangat berat.
“Siapa mereka? Dan mau apa mereka ke sini? tanya Konijn pada Hert
“Mereka manusia yang mau mendaki gunung dan sampai puncak yang tertinggi,” jawab Hert.
“Oh…, jadi mereka yang dinamakan manusia? apakah mereka jahat? Kembali Konijn memberondong tanya pada Hert. Ada binaran ketakutan yang nampak jelas di kedua bola mata hitam Konijn
“Manusia itu tidak jahat, tetapi kadang juga ia bisa menjadi jahat,” jawab Hert yang membuat Konijn kebingungan.
“Bagaimana maksudnya?” tanya Konijn yang masih bingung atas jawaban dari Hert.
“Maksud kedatangan mereka ke sini itu baik, mentadaburi alam tetapi di antara mereka ada pula yang dengan perasaan tak berdosa membuang sampah sembarangan,” tukas Hert memberikan jawaban.
Mereka memerhatikan seksama tindak-tanduk manusia yang menyusuri hutan, beberapa di antara mereka ada yang membuang bungkusan—seperti bungkusan keripik.
“Jadi, merekalah yang diceritakan dalam kidung-kidung hutan itu? Tentang manusia jahiliyah yang merusak hutan?” tanya Konijn untuk kesekian kalinya, sembari melantunkan beberapa bait kidung-kidung hutan yang sering diperdengarkan burung gereja.
“Tidak semua, sudah mari kita lanjutkan pencarian. Semoga Vlinder tidak apa-apa.” Hert mengalihkan pembicaraan itu. bagi Hert membicarakan manusia-manusia jahiliyah tidak akan ada ujungnya, ia masih mengingat kejadian itu, ketika manusia menebang pepohonan yang menaungi tempatnya bermukim. Sehingga ia harus menyingkir membiarkan rumahnya diberangus oleh tangan-tangan jahiliyah manusia.
***
Matahari yang mulai menguning di ufuk barat itu kembali datang. Melenyapkan cahaya terang menjadi keremangan yang sendu, tak berselang lama mega-mega merah mulai menampakkan dirinya. Perlahan namun pasti hari telah berganti menjadi gelap.
Hanya desiran jangkrik yang terdengar malam itu, tetapi pencarian atas Vlinder belum membuahkan hasil. Tampak roman wajah Konijn yang mulai meringis dan menangis. Ada kesedihan mendalam yang mendera jiwanya. Pikirannya selalu berkecamuk bahwa Vlinder sudah mati.
“Apa yang harus kita lakukan Hert? Hari sudah gelap, saya takut Vlinder kenapa-kenapa”
“Sudahlah, kamu jangan berpikiran negatif begitu, ia pasti baik-baik saja. Semoga malam ini kita menemukan Vlinder.”
Lelah terasa dalam perjalanan seharian mencari Vlinder, akhirnya Konijn dan Hert tertidur lelap di bawah rerimbunan pohon.
Tidak cukup lama untuk mereka terlelap, karena tetiba saja suara auman harimau kembang terdengar jelas, membangunkan para penghuni hutan.
Hert dan Konijn terbangun, mata mereka menyiratkan kekalutan yang teramat dalam. Betapa tidak di hadapan mereka nampak Spot si harimau kembang.
“Kenapa kamu membangunkan penjuru hutan di malam-malam begini Spot?” Hert mengumbarkan tanya, ia mengambil jarak pada Spot. Di saat yang bersamaan Konijn melompat bersembunyi di belakang Hert.
“Hert…! Konijn…! Jangan takut!” sebuah suara menyeru dari balik tubuh gagahnya si Spot. Mata Hert dan Konijn terbelalak, rupanya itu Vlinder. Sahabat yang mereka cari selama ini.
“Apa yang kau lakukan di situ Vlinder?” tanya Konijn dengan penuh perasaan penasaran dan keheranan. Di sisi lain ia masih meringkuk ketakutan di belakang Hert.
“Tenang dulu Hert dan Konijn. Spot ini tidak jahat kok, ia harimau yang baik.” Vlinder kemudian menjelaskan kejadian yang dialaminya, pertemuannya dengan Spot termasuk alasan mengapa si harimau kembang itu mengaum, sehingga membuat penghuni hutan ketakutan.
***
Kidung-kidung hutan menggema dari ciutan burung gereja. Vlinder, Hert, dan Konijn hanyut dalam elegi itu. Tidak hanya mereka bertiga, Spot si harimau belang memutuskan ikut bergabung dalam suasana sendu itu.
“Maafkan kami yang pernah menaruh curiga terhadapmu, Spot,” sahtu Konijn dengan nada menyesal. Spot hanya tersenyum, menampakkan giginya yang bertaring.
“Yah, dahulu aku mengaum karena manusia-manusia yang mengotori alam. Sampah-sampah dibuang semberangan oleh para pendaki itu, pepohonan ditebang oleh manusia-manusia yang tamak itu. Vlinder, Hert, dan Konijn. Aku hanya ingin menegaskan kepada manusia-manusia itu melalui aumanku, bahwa alam ini harus dijaga, jikalau alam ini tidak dijaga maka semua akan rusak. Dan kita sebagai penghuni hutan merasa tidak nyaman. Jika manusia seperti itu, alam pun akan marah dan kita juga akan marah.”
Vlinder, Hert, dan Konijn mengangguk pertanda setuju akan ucapan Spot. Mereka kemudian menikmati kidung-kidung hutan yang disenandungkan burung gereja.
—
Catatan : Konijn (Bahasa Belanda) berarti Kelinci, Vlinder (Bahasa Belanda) berarti Kupu-Kupu, Hert (Bahasa Belanda) berarti Rusa.
Sumber gambar: www.deviantart.com
Siswi kelas XI Jurusan ilmu-ilmu sosial MAN 1 Kota Tanggerang Selatan. Penulis mulai menyukai Hobi menulis sejak duduk di kelas X. Sekarang sedang terus belajar dalam mengayomi hobi menulis sebagai salah satu potensi. Ingin tulisan-tulisannya memberikan manfaat untuk sesama.