Carlos Brauer semakin terguncang. Ia tidak membayangkan hal buruk datang begitu cepat menimpa kekasihnya, Bluma Lennon. Brauer, tetap bersikukuh menolak rupa-rupa gagasan atas kematian Bluma. Namun, sebuah pengakuan yang sangat mengejutkan dari seorang profesor, sahabat Bluma di Universitas Cambridge.
* * *
Di pemakaman Bluma Lennon, pagi itu begitu ramai. Orang-orang bergerombol datang menyatakan berbelasungkawa atas kepergian Bluma. Para dosen, mahasiswa, seniman, penyair, dan pegiat sastra, pun nimbrung mendengungkan nyanyian elegi. Di bawah bayang-bayang pohon kamboja, Brauer seraya menekur, tatkala profesor Robert Laurel, menyetir sebuah pidato, “Sungguh, kita benar-benar kehilangan seorang perempuan ulet yang semasa hidupnya membaktikan dirinya untuk sastra.”
Brauer, dirinya diapit kerumunan itu. Ia tak lagi menyembunyikan kesedihannya atas kepergian sang kekasih. Brauer nekat datang jauh-jauh dari Rocha, sebuah daerah terpencil di Uruguay, semata-mata untuk melihat kekasih yang terakhir kalinya. Ia tampak menyesal, telah meninggalkan Bluma seorang diri, demi mengejar impiannya. “Aku egois, mencintai buku lebih dari kau atau hidupku sendiri,” pikir Brauer. Kenangan masa silam begitu perawan,Brauer membayangkan hari terakhir meninggalkan Bluma seorang diri di hotel Twnty-Fifth bersama La Linea de Sombra, sebuah novel yang ditulis Joseph Canrad, novel ini selalu menemani dirinya ke mana saja ia pergi. Ataupun, cerita dari Delgado, sahabatnya di Montevideo, tentang perjuangan Bluma datang ke Uruguay mencari dirinya.
* * *
Selepas memberi perkuliahan, Bluma Lennon menerima sebuah undangan dari Monterrey. Dirinya masih menimbang-nimbang undangan itu, antara pergi atau tidak? Bagaimana tidak? Ia memiliki kesibukan yang sangat membengkak di kampus. Namun, tetiba saja ia tertawan sebuah harapan. “Mungkin si bibliofil yang gila itu, ada juga di sana?” pikirnya.
Selain sebagai tempat persamuhan Konferensi Kesusastraan Dunia,kota Monterrey merupakan salah satu kota metropolitan di negara bagian Nueva Leon, Meksiko. Kota ini sangat merengkuh perhatian para wisatawan. Maka tak heran, Monterrey begitu sumpek dengan rupa dan warna kulit. Bahkan pada malam yang tak begitu berdamai dengan kulit, jalan-jalan kota Monterrey begitu menyeruak dengan pejalan kaki. Ataupun, mereka yang duduk bermalas-malas, menyeruput kopi di kedai-kedai. Begitu juga di bar-bar.
Begitu hari persamuhan Konferensi tiba. Para penyair, seniman, penulis, dan bibliofil dari belahan dunia turut nimbrung. Pagi itu, yang menarik perhatian para tamu undangan adalah seorang perempuan bule totok. Senyumnya sangat manis, dengan lembut ia menyapa tiap orang yang berpapasan dengannya. Bluma Lennon, profesor Sastra Amerika Latin dari Universitas Cambredge, Inggris, begitulah tertera di Dokumentasi Monterrey.
“Good morning!Tentulah bukan pertamakali profesor berkunjung ke Monterrey?” sembari menjatuhkan senyum, sang petugas terlihat sangat karib dengan tamu di hadapannya.
“Ya! Kota ini tampak menggoda dicumbu, laksana Rosario Castellanos, meskipun usianya sudah senja, bergeming meninggalkan kota ini. Ataupun, The Book of Lamentations-nya, mirip Tequila,diriku karuan dibuatnya.” Bibirnya yang tipis, menyerupai irisan jeruk nipis, tak begitu rekat saat ia menggubris tawanya. Sembari mengayun kaki, ia pun meninggalkan para petugas itu, di sana-sini, para tamu undangan menggubris sapa berseliweran.
“Keong Emas nun anggun, di sinilah tempatmu!” dengan bahasa Inggrisnya yang fasih dan terkesan menggoda, ia sembari berdiri memberikan penghormatannya.
“Hello!Brauer, kupikir kau bibliofil yang nakal, kau telah mencuri lisan Pablo Neruda,” tawa tersungging di ujung bibirnya yang tipis.
“Kau tampak cerewet bak Emily Dickinson.” Brauer menggubris tawanya.“Kau bibliofil yang payah! Atau, mungkin Espinola, Bonedetti, Felisberto Hernandes, Sarmiento, telah menjarah batok kepalamu, sehingga kau tak punya gagasan sedikitpun menyuratiku?” pertanyaan bule totok itu begitu bergeliat.“Ya! Mereka penggoda yang baik, sama seperti dirimu,” Brauer menimpal serupa.
Sejurus kemudian ruang Konferensi berkamuflase menjadi dapur gagasan, saran, timbang, pun menyelip-nyelip bak kilat yang menghardik guntur, lalu hujan solusi yang inovatif jatuh menimpali batok kepala yang kerap basah dengan kepentingan. Saatnya dunia sastra meski diberi selimut penghangat tubuh, sebab sastra begitu menggigil di tengah hujan politisasi pers, plagiarisme, sinisme sang penyair, dan persekongkolan publisistik.
Selain sastra, begitu juga romantisme yang sudah senja di antara kedua makhluk bibliofil ini, pun butuh selimut. “Mungkin jarak antara London dan Uruguay, telah bersekongkol menghapus bayangan kita,” pikir Brauer.
Malam itu, dapatilah kedua makhluk bibliofil itu dalam sebuah bar. Di bawah temaram cahaya lilin. Bluma, bertekad membuktikan bahwa sekalipun ia bule totok, tetapi ia toh bukan penari yang payah. Serius tapi tidak tolol, ayu dan juga sensual. “Mungkin Brauer meragukanku menari vallenatos—dansa Kolombia,” pikir Bluma, ia sembari menggubris senyum pada kekasihnya, bahkan paling manis malam itu.
Brauer, dirinya hanya dibatasi sebuah meja kayu, yang di atasnya tergeletak tequila, tersaji bersama irisan jeruk nipis, yang ia pesan. Bluma dan Brauer, dibuat karuan setelah meneguk bebarapa gelas tequila, minuman beralkahol nomor empat di dunia, setelah volkat dan orange, rum-coke,ataupun beer.“Tequila telah menenggelamkan diriku di lautan Gundalajara. Sungguh, aku tak lagi melihat kejernihan sampul buku yang kusimpan di tepian pantai Rocha,” bisik Brauer setengah menggigil. “Ya! Mungkin tequila lahir dari racikan Dumas, seorang penulis yang membunuh para perempuan dengan buku resep masakan dan minuman yang ia tulis? Dan, aku adalah bagian kecil dari perempuan yang selamat dari tangan pembunuh seperti Dumas ataupun kau,” sindir Bluma.
Tetiba saja, Bluma mengajak Brauer menari vallenatos.“Kita laksana Fred dan Ginger, pasangan penari terbaik itu,” pikir Bluma. Namun di luar gagasan Bluma, tarian vallenatos yang dilakon Brauer menyerupai tanaman agave, bahan dasar tequila, yang diterpah badai. Sejurus kemudian, Bluma dan Brauner berduyung-duyung di trotoar, mereka bergandengan tangan, menuju hotel Twnty-Fifth di sembir bar.
Sepulang dari konferensi di Monterrey, ataupun pada malam ketika mereka menari vallenatos bersama, meneguk tequila, hingga bermalam di hotel Twnty-Fifth. Brauer tidak menggubris kabar untuk kekasihnya di London. Bluma, bertenaga datang mengumpulkan informasi dari Delgado, sahabat Brauer di Montevideo. Dari Delgado, Bluma mengetahui bahwa Brauersepulang dari Meksiko, ia telah pinda ke Rocha, wilayah Uruguay yang menghadap ke samudera Atlantik.“Bisa nona membayangkan?bagaimanaBrauer seorangdiri mengangkut dua puluh ribuh buah buku ke daerah terpencil di Uruguay, yang hanya bisa dijangkau bagi mereka yang telah putus harapannya untuk hidup,” timpal Delgado, sembari menyeruput kopi yang terhidang di hadapannya.
Di sebuah kedai, tak jauh dari tempat yang mereka duduk, seorang penyair, entah siapa namanya, membacakan puisi. “Dalam dirimu sungai-sungai bernyanyi dan jiwaku terbang di situ.” Kupikir itu puisi Pablo Neruda, Bluma menjatuhkan keyakinannya. Delgado hanya menahan tawanya. “Kecintaanmu pada puisi, itulah cerita manis sekembalinya Brauer dari Meksiko,” seketika itu pipi Bluma semakin merah merona.“Apa yang di ceritakan Brauer? Atau, aku ingin tahu kenapa ia pergi ke Rocha?” tanya Bluma.
“Kau mesti tahu! Brauer, seorang bibliofil yang gila. Semasa hidupnya ia habiskan untuk membelidan membaca buku. Brauer telah berhasil mengumpulkan dua puluh ribu jenis buku. Namun sebuah kejadian yang menghanguskan impian selama hidupnya, yaitu lemari indeks perpustakaannya terbakar.” tetiba saja Delgado menjeda pembicaraanya sembari menoleh Bluma, menatapnya dalam-dalam.“Kau bisa membayangkan, bagaimana mencari buku yang jumlahnya yang tak sedikit tanpa bantuan indeks? Tetapi hal penting dari indeksi itu adalah impiannya telah terbakar hangus,” mereka terdiam sejenak.“Aku sudah menemukan jawabannya, Buku dan indeks yang terbakar adalah alasan Brauer meninggalkan diriku,” Bluma membatin.
* * *
Carlos Brauer begitu membisu, tak terasa bulir-bulir airmata berjatuhan, semakin deras. Sembari menekur pusara kekasihnya, ingatannya terbang membawanya pada lisan terakhir Bluma Lennon, di hotel Twnty-Fifth.“Apa impianmu selama ini?” tanya Brauer, sembari menatap Bluma dalam-dalam. “Aku ingin mati ditabrak mobil, pada saat diriku sedang membaca buku Poems, karangan Emily Dicksion,” jawab Bluma seperti mendesir. Sungguh, Brauer sontak dibuat kaget dengan jawaban Bluma. Setelah malam itu, dan, benar! Pada hari ini, Bluma membuktikan pernyataannya, Bluma mati tertabrak mobil saat melintas di jalan soho, dan dirinya sedang membaca puisi Emily, seorang penyair Amerika Latin yang ia cintai.
Mungkin pernyataan Bluma tempo itu, profesor Robeth Laurel, tetap bersikukuh dalam pidatonya? Di hadapan Brauer dan kerabat yang lain, ia berkata,“ Bluma membaktikan hidupnya pada sastra, tanpa pernah membayangkan bahwa sastralah yang akan merenggutnya dari dunia ini,” pikir Brauer.“Aku masih tak percaya bahwa puisi yang kau cintai, ataupun buku-buku yang kulahap selama hidupku adalah para pembunuh? Ataukah pengubah hidup kita?”Brauer membatin, sembari meninggalkan pusaran Bluma, dan hanya Peoms dan La Linea de Sombra yang ia tinggalkan di pusara Bluma.
Catatan: Cerpen ini terinspirasi dari buku “Rumah Kertas,” karya Carlos Maria Deminguez.”
Ilustrasi: http://iblog.vn/truyen-ngan/noi-buon-duoi-mai-chang-chiu-di.html
Ishak R. Boufakar/Lelaki Laut lahir di Kian Darat, 23 Juli 1992. Puisi-puisinya termuat dalam Antologi Puisi 250 Cinta Terpendam (2016). Tinggal di Ambon dan bergiat di KLPI Makassar.