Hujan baru saja reda, malam pun masih terlalu perawan untuk seorang perjaka di Kota Makassar. Di salah satu sudut kota—tepatnya di antara hutan beton yang tinggi menjulang, seorang pria sedang asyik bergumul dengan pena dan secarik kertas, tak lupa pula secangkir kopi menemani menembus malam. Sejenak keasyikannya terganggu dengan riuh suara motor yang terdengar beradu mesra dengan hembusan angin malam yang dingin, merambat menusuki pendengaran.
Pria itu sejenak menghirup aroma hujan yang baru reda, yang dalam penciumannya aroma itu seperti aroma biji kopi yang belum disangrai. Puas memenuhi rongga paru-parunya, ia kemudian mengedarkan pandangan sejenak, menatap pepohonan yang tumbuh tinggi menjulang. Dedaunannya begitu rimbun, pandangannya tidak berhenti pada pepohonan itu, matanya kemudian menuding ke arah kanan, pada sebuah buku yang bersampul jingga—bersemayam pada rak-rak yang tergeletak di bagian ujung café.
Pena dan secarik kertas yang digenggam pria itu kemudian ditaruh pada meja bertaplak biru. Lantas, dilangkahkan kakinya, menghampiri buku itu, meraba sampulnya yang bewarna jingga, jemari tangannya bercumbu dengan sampul itu. Ia kemudian meniup-niupnya, sehingga debu-debu yang bersemayam pada sampul jingga itu beterbangan.
Kemudian matanya menjejali sebuah dawat hitam—yang begitu kontras dengan sampul buku itu—yang bertuliskan, JANROPI. pria itu kemudian membuka lembaran pertama dan seksama membaca isi buku bersampul jingga itu.
***
Janropi, bukanlah sebuah hikayat Tanah Melayu atau tarikh attoriolong dari Tanah Makassar, tetapi hanyalah sebuah kisah sederhana tentang seorang petani kopi yang bermukim di satu daerah pegunungan dekat pertambangan.
Janropi, pria yang telah berusia tiga windu, sehari-harinya menyusuri lembah dan mendaki gunung, mengawasi berhektare-hektare kebun kopi warisan kakeknya. Ayahnya telah lama meninggal, ibunya pun juga telah lama menghadap ilahi. Maka tinggallah Janropi bersama kakeknya, hingga usianya telah mantap di bantaran dua dasawarsa, kakeknya memutuskan menyusul ayah dan ibu Janropi di tempat yang dinamakan nirwana. Setelah kepergian kakeknya, maka jadilah Janropi pewaris tunggal atas kebun kopi yang berhektare-hektare itu.
Janropi akan selalu ditemui di bale-bale dekat kebun kopi, ketika senja bersembunyi di balik gunung dan perbukitan yang membentang, berdiri kokoh, menancap ke akar bumi dengan kuat. Seperti pasak yang tak goyah.
Dan, pada setiap sore, seorang pria yang bernama Om Fajri selalu menyambanginya, bermaksud membujuk Janropi untuk menjual kebun kopinya.
“Ayolah, Janropi, jual kebunmu padaku, aku akan membayar lima kali lipat dari harga pasar, kamu tak rugi. Uang ber m-m akan kamu kantongi, hidupmu akan terjamin di desa ini sampai rambutmu memutih, kamu tak usah lagi berjalan menyusuri lembah hanya untuk merawat kebun kopimu, tinggal nyantai di rumah atau ke kota berleha-leha.”
Dan setiap kali mendengar pernyataan itu, Janropi selalu tak menggubrisnya, ia hanya memberikan secangkir kopi dan sigaret yang dapat menghangatkan tubuh dari terpaan angin senja pegunungan.
“Om Fajri, sudah berapa kali kukatakan padamu, kebun ini tak kujual, saya merasa berkecukupan dari hasil penjualan biji kopi yang dipetik langsung dari pepohonan itu,” Janropi menghentikan kalimatnya lalu menunjuki jejeran pepohonan kopi yang telah berbuah. “Walaupun hasilnya tidak seberapa, yang penting saya bisa makan tiga kali sehari dan bayaran listrik, air terpenuhi serta gaji petani kopi yang bekerja padaku bisa dibayar. Itu saja Om Fajri, saya tak butuh leha-leha atau kemewahan.”
Untuk kesekian kalinya Om Fajri gagal membujuk Janropi untuk menjual kebunnya. Ia kemudian menenggak kopi pemberan Janropi, hingga menyisahkan seperduanya lalu berlalu meninggalkan Janropi.
Terkadang Janropi heran, mengapa Om Fajri berkukuh untuk membeli kebunnya yang terang-terangan tidak dijual, pun lokasi kebunnya terbilang terpencil dan tak cocok dibuat pesanggrahan atau vila tempat nginap. Ketika Janropi menanyakan alasan mengenai niatan Om Fajri mempersunting kebunnya dengan mahar ber-m-m itu, Om Fajri hanya mengatakan, “Yah, karena saya merasa punya feel bagus dengan kebun kopimu.”
Janropi menghela nafas panjang, memerhatikan Om Fajri dari kejahuan. Om Fajri berjalan menyusuri kebun kopi itu. Di ujung perkebunan dekat lembah, Om Fajri begitu seksama memerhatikan tanah tempat berpijaknya pohon-pohon kopi yang telah berbuah, ia kemudian mengambil ponselnya, lalu mengirimkan mesej pada seseorang yang bermukim di Makassar.
Senja telah berganti malam, lalu malam menutup kisahnya dengan terbitnya mentari pagi, Janropi kembali berjalan menuju kebun kopinya. Sedangkan Om Fajri memutuskan menemui kepada desa, mengutarakan maksud dan meminta bantuan.
“Selamat pagi Om Fajri,” sahut kepala desa, walaupun usianya lebih tua dari lawan bicaranya, kepala desa masih tetap memanggil nama pria di depannya dengan sematan Om Fajri.
Kepala desa kemudian menggiring Om Fajri memasuki ruang tamu kediamannya yang beraksitektur kolonial. Ruangan tengah yang dipenuhi ornamen-ornamen klasik, seperti gramaphone yang terletak di ujung dekat pintu dan sebuah radio transistor peninggalan asisten residen Afdeling Makassar.
Udara pagi hari itu sangat sejuk nan dingin menusuki tulang. Sejenak Om Fajri menahan gigil, apatah lagi pagi itu hujan turun dengan derasnya. Di saat ia menggigil, hidung mancungnya menangkap aroma kopi yang begitu nikmat, ada sedikit kehangatan menjalar di tubuhnya, mungkin karena pengaruh aroma kopi tersebut.
“Silakan diminum Om Fajri, hujan-hujan begini nikmatnya menyeruput kopi,”
“Terima kasih pak kepala desa,” tukas Om Fajri seraya mengambil cangkir kopi tersebut.
Om Fajri merasa tak perlu berlama-lama atau berbasa-basi. Ia kemudian mengutarakan maksud, meminta bantuan kepala desa untuk membujuk Janropi agar menjual kebun kopinya. Namun, jauh panggang dari api. Apa yang diharapkan Om Fajri tak sesuai kenyataan. Kepala desa bergeming, ia tak bisa memenuhi permintaan Om Fajri, walaupun diiming-imingi sejumlah rupiah.
Om Fajri lantas tak berkehabisan akal, ia mencari cara agar Janropi menjual kebunnya padanya, apapun caranya! Namun, sebagai orang yang terpelajar, ia tak mau menggunakan otot atau mengotori tangannya secara langsung, ia harus memanfaatkan otaknya yang terbilang encer itu.
Setelah hujan reda, Om Fajri pamit pada kepala desa, ia kemudian menyambangi kebun kopi Janropi. Sesampainya di sana, Om Fajri kembali mengutarakan maksud, membeli kebun kopi milik Janropi, dan tetap saja, Janropi bergeming. Pria sebatang kara itu tetap mempertahankan haknya dan tak menjualnya.
“Om Fajri, sudah berapa kali kukatakan, kebun kopi ini tak dijual. Kantongku masih sehat-sehat saja, tak perlu suntikan dana dengan menjual kebun kopi ini.”
Om Fajri hanya menyeringai, lantas ia berlalu meninggalkan Janropi.
“Baiklah, Janropi. Nikmati hidupmu saat ini, mungkin esok kamu sudah tak bisa lagi melihat kebun kopimu.”
***
Hujan semakin deras, Om Fajri menghirup aroma tanah yang basah. Ia telah mengatur siasat, sebagai konsultan tambang yang disewa koorporasi, Om Fajri harus menyingkirkan Janropi yang menjadi penghalang. Kekerasan kepala Janropi yang berkukuh tak menjual kebun kopinya menjadi alasan utama. Bagi Janropi, kebun kopi itu bukan sekadar penghasil pundi-pundi rupiah, lebih dari itu, kebun kopi itu telah menjadi jembatan kenangan antara ia dan keluarganya di nirwana. Namun, berbeda bagi Om Fajri, kebun kopi itu bukanlah kebun kopi biasa, di dalam perutnya tersimpan harta yang membuat korporasi dan ia sendiri akan kaya delapan turunan. Bukan lagi tujuh turunan!
Kini, pada malam ketika hujan, Om Fajri melalui tangan-tangan jahiliyahnya memberikan racikan kopi yang siap diseduh, Janropi tanpa curiga menerima pemberian tersebut—dari salah seorang petani kopi yang bekerja padanya. Tatkala hujan semakin riuh dan mulut Janropi telah bersenda gurau dengan seduhan kopi, tetiba saja matanya terasa berat, dadanya sesak ia kemudian rebah ke tanah dan tak bangun lagi.
Di tempat yang lain, Om Fajri menatap buliran hujan dengan sepasang bola mata bersanding dengan senyuman penuh kepicikan. Lantas, jemarinya menari pada sebuah almanak bersampul jingga.
***
Buku bersampul jingga itu kini telah usai dibaca, pria itu tersenyum. Sebuah kisah yang terbilang unik. Lantas, ditaruh lagi buku itu pada rak-rak buku. Pria itu kemudian melangkahkan kakinya kembali ke meja, duduk lalu menenggak habis kopi yang telah dingin. Lantas jemarinya bersama pena menari pada secarik kertas, sejurus kemudian ia berjalan mendekati kasir dan memberikan secarik kertas itu. Pria di meja kasir membacanya sembari tersenyum, mengingatkan pada senyuman Om Fajri.