Burung Tetangga

Sudah enam bulan lamanya, aku berjibaku dengan tradisi yang berbeda dan kini menjadi warga Bali. Bertepatan dengan seminggu Rabu Kliwon Wuku Dungulan perayaan 210 hari kemenangan Dharma (kebenaran) melawan Adharma (kejahatan). Perayaan Hari Raya Galungan, menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang menjadi makna filosofis yang dijadikan benang merah pada perayaan upacara keagamaan oleh umat Hindu. Hari ini bertepatan pula dengan seminggu lamanya aku dan burung tetangga tak pernah saling menyapa.

Selama beberapa bulan terakhir aku tak pernah bercerita pada seorang pria. Satu-satunya yang berjenis kelamin jantan yang selalu menyapaku adalah burung milik tetangga. Berasal dari kingdom animalia, dia selalu bahagia memenuhi kebutuhan proteinnya dengan serangga. Dengan bangga kuperkenalkan, salah satu dari kelas aves bergenus gracula ini adalah sahabat terbaikku. Entah aku yang gila, atau mungkin kami berdualah yang tak bisa dipahami oleh orang lain. “Ah…Apapun opini mereka itu bukanlah hal yang penting, yang terpenting adalah kami berdua saling memahami satu sama lain.”

Dia yang tampak gagah dan tampan ini, tidak lain adalah penghuni hutan yang tinggal pada tajuk pohon yang tinggi. Kini dia tak lagi berada di habitatnya, di bukit-bukit dataran rendah dengan daerah ketinggian 1000–2000 m di atas permukaan laut. Buah-buahan yang berdaging tebal dan tidak keras adalah kesukaannya, kepiawaiannya dalam berbicara, menjadikannya banyak dipelihara. Itulah yang membuatnya harus terasingkan jauh dari hutan-hutan basah yang selalu dikunjunginya.

Si Beo kini terpenjara, berada dalam sangkar berwarna coklat, dia terlihat memamerkan tubuhnya yang tampak lebih kekar, sedang hatinya terus merasakan gundah yang berkepanjangan. Entah sejak kapan burung Beo cerdas yang berasal dari Nias ini menjadi dukun ampuh yang selalu berceloteh padaku. Beo dengan jumlah empat jari kaki dan paru yang berwarna kuning, gelambir yang menyatu pada posisi kepala belakang, sedikit warna putih pada bagian sayap dengan keseluruhan warna bulu yang cerah mengilap, kerap kali menjadi pembaca pikiran yang selalu tepat menebak apa yang tak pernah kukatakan padanya.

Hubungan kami cukup erat, Ada makna mendalam sejak percakapanku yang terakhir bersamanya. Akhir-akhir ini wajahnya memang selalu murung dan sinis tiap kali menatapku. Aku memberanikan diri bertanya padanya namun sepertinya dia enggan menjawab.

“Beo…Katakan padaku, apa yang salah dengan inginku?

“Sudah empat hari berselang, sekali pun kamu tak pernah menyapa. Terakhir kali percakapan kita kau akhiri dengan tatapan sinis, kali ini apa lagi?

“Cukup !!! Aku tak ingin bertengkar lagi denganmu.

“Hari-hari yang kulewati sudah cukup merepotkan. Tak bisakah kita berdamai saja?

“Aku rindu dengan kicauanmu yang mengajakku berdebat tentang hujan yang berbohong pada tanah, bahwa dia tak pernah lelah terjatuh berkali-kali. Aku rindu saat kamu menyuguhiku lelucon aneh padahal kamu berusaha menghiburku yang sedang terluka. Aku juga rindu saat terakhir kali kamu terus menyalahkan dia yang pergi dan tak mungkin bisa kembali di pelukku,” protesku dengan wajah yang sedikit geram.

***

Burung milik tetangga memberi isyarat, memintaku duduk sejajar bersamanya. Kandangnya yang bau amis tak membuatku ingin beranjak pergi meninggalkannya. Si Burung mungkin berpikir perbincangan hari ini lebih rahasia dibandingkan kasus kriminal yang harus dipecahkan oleh segerombolan Agen CIA.

Letakku kini sejajar dengannya. Bukannya menjawab rentetan pertanyaan yang ku ajukan, bukan pula bercerita tentang pawisik dari Dewi Durga (Dewi Durgha), yang menjelaskan kepada raja alasan mengapa leluhurnya selalu berumur pendek. Melainkan memberiku petuah dari makna upacara Galungan yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif ( Buta Kala) dari diri manusia dan lingkungannya.

Setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi, seluruh umat Hindu kerap memasang penjor. Aku masih melihat puluhan jejak penjor ditancapkan pada lebuh yang pernah terpajang pada hari Penampahan Galungan. Penjor yang menjadi lambang pertiwi bhuwana agung, dipercaya memberikan kehidupan dan keselamatan. Sebagai simbol gunung, penjor diyakini memberikan keselamatan. Hiasan-hiasan berupa daun seperti daun cemara, andong, paku pipid dan pajis ali berdampingan dengan buah-buahan seperti jagung, kelapa, ketela, pisang termasuk pala bungkah, pala wija dan pala gantung. Pelengkap lain yang banyak berserakan tebu dan pis bolong, yang terletak di depan sebelah kanan pintu masuk pekarangan. Sanggah dan lengkungan ujung penjor menghadap ke tengah jalan yang terbuat dari sebatang bambu yang ujungnya melengkung, dihiasi dengan janur/daun enau yang muda serta daun-daunan lainnya (plawa).

Si Beo memintaku memetik pelajaran pada hari Jumat Kliwon Wuku Sungsang, menyucikan diri sendiri yang berarti menyucikan pula kekuatan yang ada di dalam diri. Dalam lontar Bali disebutkan nirmalakena (orang yang pikirannya selalu suci) tidak akan dimasuki oleh Butha Galungan. Pada Redite (minggu) Paing Wuku Dungulan diceritakan Sang Kala Tiga Wisesa turun mengganggu manusia. Karena itulah pada hari tersebut dianjurkan mendiamkan pikiran agar tak terus menerus dirasuki oleh perihal buruk sejenis benci dan dendam yang kian bersarang dalam hati.

“Kau sibuk berbagi kata untuk hal yang selalu berjalan di luar logika. Meniru yang rapuh, mengutuk yang maruk, memaki yang sibuk memprediksi. Kepandainmu mengalahkan DIA yang hakiki. Kau terlalu sibuk bercanda pada kecoa yang tak paham apa-apa. Kadang pula hanya membunuh satu per satu semut merah, yang berada di pinggir kardus yang kau sulap menjadi tempat sampah. Tersenyum di balik masa lalu yang kelam, berusaha mengganti hati yang telah patah dan sebagian lagi justru telah menyatu dengan hatimu yang semakin tebal dengan rasa benci. Kau bisa membohongi mereka, tapi tak bisa membohongiku. Kau pandai menyembunyikan luka tapi kenapa tak berdaya di hadapanku. Aku benci dirimu yang menjadi munafik di hadapan mereka, begitu kuat dan tak terkalahkan. “Apa kau tahu betapa tertariknya Drosophilla melanogaster ketika melihatmu memelas di hadapanku, tak ubahnya seperti seonggok nasi bungkus yang sudah tiga hari tak disentuh?”

Beo tak memintaku melakukan Tapa Brata, seperti yang pernah dilakukan Raja Sri Jayakasunu yang belakang terkenal dengan istilah Dewa Sraya — artinya mendekatkan diri pada Para Dewa. Sebab dia tahu benar, baginya bisikan religius tak akan pernah datang padaku selama aku masih pandai berbohong pada diriku sendiri.

“Kamu tahu mengapa kamu masih diselimuti perasaan bersalah atau mungkin ingin membunuh mereka yang kini membuatmu menjadi singa yang siap menerkam? Rasa benci yang terus menggerogoti tubuhmu, menjadikanmu bersikap tanpa berpikir, seperti binatang saja. Itu karena kamu tak pernah menyucikan diri. Jika berat bagimu mendirikan salat, apa berat pula bagimu untuk berwudu? Setidaknya dampak fisiologis dan psikologinya dapat menyucikan dirimu. Makna sesungguhnya yang ingin Beo sampaikan padaku perihal minggu Paing Wuku Dungulan, mengalahkan Butha Galungan yang berarti hendaknya membunuh sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri seseorang.

“Kita memang tak selamanya bisa memenangkan permainan dalam hidup, namun selama kamu masih berusaha, kamu akan selalu punya kesempatan dan harapan untuk mengubah semuanya menjadi lebih baik. Indra Loka, hanya itu pencapaian yang aku inginkan darimu?”

“Bisakah kau berjanji padaku untuk memenuhinya?” ucap si Beo yang kini memalingkan wajahnya.

“Aku bukannya marah padamu, hanya saja aku kecewa melihatmu berusaha membahagiakan orang lain sekalipun kamu harus terluka. Aku ingin kau berdamai dengan dirimu, itu saja…!!!” Soal celetohanku hari ini, aku rasa kau harus memikirkannya.

Makassar, 16 Januari 2017

Ilustrasi: https://id.pinterest.com/sheshina_katy/parrot/

One thought on “Burung Tetangga”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *