Anak dan Gawai, Suara Lirih Keprihatinan

Di zaman kini, agaknya akan sulit menemukan anak-anak yang tidak memegang handphone. Bahkan ada seorang ibu bertanya kepada saya, amankah jika anak-anak yang masih di bawah usia tiga tahun sudah diperkenalkan dengan gadget?  Saya bisa membaca keresahan ibu tersebut. Mungkin yang ia harapkan adalah jawaban ‘aman’ atau ‘boleh’. Mengingat demikian sulitnya menghindarkan anak-anak kecil dari benda ajaib ini.

Saking sulitnya bersikap terhadap persoalan ini, bahkan seorang pendidik, guru, atau pemerhati parenting pun masih banyak yang kecolongan dengan bersikap permissive terhadapnya. Sering dalam keluarga saya berkalakar mengatakan, jika kita tidak mampu memasang benteng yang kuat terhadap godaan sesuatu, maka bersyukurlah pada kondisi ketidakmampuan. Tidak mampu memiliki benda penggoda yang dimaksud, sehingga pengendalian diri pun diambil alih oleh situasi ‘yang tidak menguntungkan’ tersebut.

Sebagai contoh, seorang anak dari keluarga kurang mampu, tidak seberuntung teman-temannya, fasilitas belajar pun seadanya. Jangankan untuk membeli telepon genggam, bahkan untuk melengkapi buku-buku pelajarannya saja ia kewalahan. Akhirnya dengan kondisi serba minim seperti ini ia memiliki lebih banyak waktu untuk membaca buku di perpustakaan sekolahnya ketimbang tergoda untuk mengutak-atik gawai.  Mungkin saja ada kecenderungan dalam dirinya untuk juga berselancar di dunia maya lewat benda ajaib tersebut, namun apa daya kondisi ekonomi keluarga mengharuskannya untuk mengerem keinginannya itu.

Di sisi lain, sebuah contoh yang berkebalikan dengan situasi di atas, seorang anak usia SD dari keluarga berada dan terdidik. Orangtuanya menerapkan aturan yang sangat baik dalam memanfaatkan gawai. Benda tersebut hanya boleh digunakan untuk berkomunikasi. Ada pun untuk menjelajah internet, ia diarahkan untuk menggunakan laptop atau PC (komputer) yang diletakkan di ruang keluarga. Di sekolahnya murid-murid tidak diperbolehkan membawa handphone. Dalam kondisi seperti ini, anak dan orangtua mampu membentengi diri mereka sendiri, meskipun godaan fasilitas menari-nari di depan mata.

Jika pada tahun-tahun sebelumnya orangtua demikian khawatir dengan tayangan televisi yang bebas-bebas saja menayangkan berbagai acara kekerasan dan muatan seksualitas, maka kini layar televisi mungkin tak lagi semenarik layar gawai. Gawai canggih saat ini bahkan bisa menampilkan berbagai gambar bergerak yang jauh lebih menggoda dan menantang, tanpa sensor pula, yang tak bisa disaksikan lewat layar media yang sebelumnya mereka kenal.

Di rumah-rumah, sekolah-sekolah, ruang-ruang pertemuan, pemandangan yang sangat umum biasa kita jumpai adalah orang-orang yang  asyik masyuk dengan benda  berlayar di tangan masing-masing. Tak banyak lagi kita  lihat orang-orang yang lebih memilih menenteng dan membaca buku. Pemandangan itu sekarang berganti dengan menggenggam dan membaca di layar gawai. Buku-buku mulai tergeser oleh kehadiran benda mungil ini.

Bila orangtua dan orang dewasa umumnya mempertontonkan perilaku seperti ini, bagaimana anak-anak tidak akan menirunya? Orang bijak bilang, jika pemimpin—dalam hal ini orangtua—mencontohkan kebaikan maka anak-anak hanya akan meniru separuhnya saja. Akan tetapi sebaliknya, jika pemimpin (orangtua) melakukan perbuatan yang menyimpang, maka anak-anak meniru dua kali lipatnya. Menilik hubungan sebab-akibat ini, sebagai orangtua  serasa mendapat tamparan keras. Akankah situasi  kita biarkan berjalan seperti ini selamanya?

Mengakhiri  tulisan ini, ingin saya kutip sebuah pengamatan dan peringatan seorang direktur penerimaan siswa di Sekolah Francis W. Parker di Chicago dalam buku High Tech High Touch, Mizan, 2001,  John Naisbitt. Dewasa ini, kebiasaan membaca kian berkurang, pengasuhan langsung oleh orangtua semakin berkurang, dan kesempatan untuk menggunakan imajinasi pun berkurang. Anak-anak kurang memiliki waktu bersama orangtua dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan kegiatan pasif sendirian (dengan layar). Juga terdapat sikap kurang peduli mengenai apa yang seharusnya kita berikan kepada anak-anak. Antara lain, anak-anak harus belajar untuk bisa menyaring. Kita mendidik orang untuk membaca. Namun, di masa depan, seiring dengan semakin berkurangnya waktu baca seseorang, kita harus mendidik mereka untuk “membaca” media.

Belasan tahun telah berlalu, namun tulisan di atas  justru semakin relevan dengan situasi dan kondisi masyarakat kita dewasa ini. Anak-anak tak boleh dilepas mengembara dalam dunia imajinasinya sendiri. Tanpa pengawalan dan bimbingan kita sebagai orangtuanya. Pihak pertama yang seharusnya paling bertanggung jawab dan memegang kendali atas apa yang terjadi dalam kehidupan anak-anaknya. Bukan produsen atau pemasar di luar sana yang jelas-jelas menarik keuntungan yang sangat besar dari aplikasi-aplikasi teknologi yang mereka pasarkan.

Pertanyaan terbesar saat ini, masihkah kita ingin menjadi orangtua yang memiliki pengaruh dan kendali terbesar dalam kehidupan anak-anak kita. Mari peduli dan terus belajar.

 

 

 

  • (Suatu Tinjauan Sosiologi Kekerasan) Kawasan Timur Tengah kembali memanas pasca kelompok Hamas Palestina menggencarkan serangan mendadak ke Israel tidak jauh di perbatasan Gaza, Sabtu (7/10/23) dini hari waktu setempat. Akhir pekan yang berubah mencekam, karena serangan ribuan nuklir itu tepat ditujukan ke Tel Aviv dan Yerusalem, menembus sistem pertahanan Iron Dome menghancurkan banyak bangunan. Frank…

  • Aktivitas manusia di era sosial media adalah produksi dan distribusi konten. Konten quote-quote adalah konten yang paling banyak berseliweran. Quotation adalah sebuah kalimat atau syair pendek yang disampaikan dalam rangka memberi makna ataupun mengobati perasaan derita dalam hidup. Penderitaan divisualisasikan dan didistribusikan melalui quote pada jejaring sosial media dalam upaya agar setiap orang diharapkan dapat…

  • “Saya tidak memikirkan representasi kecantikan yang lebih baik daripada seseorang yang tidak takut menjadi dirinya sendiri.” Pernyataan Emma Stone ini memberi sugesti pada saya betapa cantiknya seorang perempuan yang dikisahkan oleh dosen-dosen filsafat, dan yang digambarkan dalam film Agora yang pernah saya tonton. Sekitar 8 Maret 415 Masehi, kota Alexandria (Mesir) telah menjadi saksi bisu…

  • “Cita-cita kamu apa?” Ini adalah sepenggal pertanyaan yang begitu membosankan bagiku. Aku masih, dan selalu ingat. Betapa orang-orang sering mengajukannya kala aku masih di Taman Kanak-Kanak. Mulai bapak dan ibu. Tante dan om. Nenek dan kakek. Juga sepupu yang usianya terlampau jauh di atasku. Di sekolah pun demikian. Para guru kerap melontarkan deretan kalimat ini.…

  • —mengenang 3 tahun kepergian Sapardi Djoko Damono SEJAK baheula manusia dikepung puisi. Sekira tahun 1.700 Sebelum Masehi di India, puisi sudah tengger di naskah kuno Veda dan Gathas. Puisi adalah ekspresi artistik mengenai pesona diri dan hidup. Ibarat bakul puisi mewadahi “benak” penyair, yang diperah dari peng-alam-an: imajinatif, emosional, dan intelektual—peng-alam-an ini dipahat penyair pada…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221