Sudah beberapa hari sejak pengumuman itu tersebar lewat jejaring sosial, ada juga yang menyiarkannya dari mulut ke mulut. Pengurusan berkas KKN – singkatan kuliah kerja nyata bukan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang kini marak di bangsa kita – terbuka hingga jumat mendatang. Sebenarnya pendaftaran di tingkat universitas belumlah terbuka, tapi pihak fakultas hijau kampus peradaban ingin maju selangkah dari fakultas lain. Mungkin saja pihak birokrasi mengadopsi motto wakil presiden Jusuf Kalla, ketika mencalonkan sebagai presiden pada pemilu tahun 2009, “lebih cepat lebih baik”. Maka begitulah loket-loket akademik fakultas hijau yang biasanya sunyi, kini ramai dikunjungi mahasiswa.
Jurusan pendidikan matematika tidak mau kalah, lalu dibuatlah kebijakan yang berlainan dengan jurusan-jurusan lain di fakultas hijau. Mahasiswa tidak bisa melanjutkan pengurusan berkas KKN, jika belum menghafal 28 surah dalam Al-Quran. Maka pemandangan agak berbeda terjadi di lorong barat fakultas. Sepanjang lorong, mahasiswa berjejer dengan berbagai macam gaya. Selaku mahasiswa, saya melihat gaya tersebut bukan sembarang gaya, melainkan gaya belajar yang beraneka ragam dari individu yang berbeda. Teringatlah sahaya pada apa dituturkan Bobby de Porter tentang gaya belajar. Bobby – begitulah saya menyebutnya – dalam Quantum Learning, mengatakan gaya belajar merupakan kombinasi dari bagaimana manusia menyerap informasi, lalu mengatur dan mengolah informasi tersebut. Maka tak heran jika ada yang menghafal sambil membaca lantang Al-Quran, ada juga yang hanya membaca dalam hati. Ada yang diam sembari mendengarkan ayat suci via android, dan ada juga yang berjalan mondar mandir, berkomat kamit menenteng Al-Quran.
Beragam laku belajar demikian muncul karena manusia memiliki tipe kecerdasan yang berbeda-beda. Dalam dunia pendidikan dikenal sebagai kecerdasan majemuk (multiple intellegences). Kecerdasan tersebut meliputi kecerdasan logika/matematika, personal, interpersonal, verbal/bahasa, spasial/visual, auditorial, kinestetik, dan kecerdasan ritmik.musik. Sebuah teori yang dikembangkan oleh Dr. Howard Gardner. Ia mengatakan bahwa kecerdasan manusia itu dapat kita kenali dari kebiasaannya. Sedang Munif Chatib dalam buku Sekolahnya Manusia, menamai kecerdasan tersebut sebagai sebuah modalitas. Modalitas adalah cara termudah dalam menyerap informasi, yang terdiri atas 3 saluran atau pipa. Yaitu pipa auditorial, visual, dan kinestetis.
***
Sebagaimana biasa, setiap kebijakan pastilah menuai pro dan kontra dalam pelaksanaannya. Begitu pula dengan kebijakan menghafal tersebut. Yang kontra akan kebijakan ini, datang dari kelompok mahasiswa yang tidak ingin repot dan tidak memiliki kesiapan menghafal dengan bermacam alasan sebagai pembenar argumentasinya. Sedang yang pro dari mahasiswa yang memiliki kesiapan dan juga enggan mencari masalah dengan birokrasi. Tapi kelompok yang pro jauh lebih dominan. Suara kontra hanya merupakan suara-suara sumbang yang keluar jika hafalan dilupa. Keseragaman pendapat ini adalah hal yang lumrah, karena setiap orang menilai sesuatu dari sisi yang berbeda. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan Bila Arya, bahwa keragaman merupakan keniscayaan. Tapi persatuan dan kesatuan adalah hal yang harus diperjuangkan.
Kebijakan ini sejatinya langkah positif yang diambil oleh jurusan, untuk menanamkan cinta Al-Quran. Karena Al-Quran diturunkan sebagai petunjuk agar manusia bertaqwa, hudan lilmuttaqin. Tetapi kemajuan di bidang IPTEK yang tidak mampu disikapi secara bijak dan bajik, menjadikan keberadaan Al-Quran sebagai warisan Nabi Muhammad SAW, lambatlaun mulai tersisihkan. Walhasil, membaca Al-Quran hanya menjadi kegemaran tahunan – hanya pada bulan ramadhan saja. Rendahnya minat baca Al-Quran juga bisa menjadi salah satu tolok ukur, betapa rendahnya minat baca bangsa kita. Sebab Al-Quran yang sejatinya merupakan wahyu Ilahi, pedoman umat Islam – selaku agama mayoritas bangsa Indonesia – jarang dibaca, apatah lagi buku yang hanya merupakan buah pikir manusia biasa.
Kenyataan yang demikian, menjadi keresahan Ahmad Baedowi dalam Calak Edu 1. Melalui tokoh fiktif bernama Edu, ia mengatakan bahwa “penghargaan terhadap keutamaan membaca ini seharusnya dibaca umat Islam sebagai sebuah kewajiban. Tetapi jika membaca sudah menjadi kewajiban, mengapa kita tak merasa berdosa ketika mengetahui minimnya minat baca di kalangan guru dan siswa? Mungkinkah karena kewajiban membaca tidak termasuk dalam kategori teologis dan hukum Islam sehingga kita enggan menghukum orang yang tidak dan malas membaca?”
Ilustrasi: https://life.idntimes.com/inspiration/maira/6-tips-khatam-al-quran-di-ramadan
Lahir di Bantaeng, 24 oktober 1994. Pelajar di Jurusan Pendidikan Matematika, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Alauddin Makassar. Aktivis MEC RAKUS Makassar, dan Peserta Kelas Literasi Paradigma yang mencintai kopi dan buku terutama novel sejarah.