Seorang kawan yang lumayan lama tidak ketemu, di satu obrolan bertanya pada saya, “Eh, tau ko itu tentang Pemuda Pancasila, Pemuda Karya, atau semacamnya?” Terang saya kaget. Tak biasanya ini, pikir saya. Tapi sebenarnya cukup terduga, sebab sebelumnya kami mengobrol panjang soal-soal organisasi paramiliter lainnya. Ternyata ia sempat ke Medan sekian waktu. Sebelumnya ia juga bercerita tentang Kepala Pemerintahan di sana yang setiap berakhir masa jabatan selalu ‘gol’. Gol adalah istilah di sana untuk masuk bui. Seperti biasa: perkara korupsi-kolusi-nepotisme. Ia juga bercerita tentang para ‘pengaman’ di sana yang diistilahi ‘Ketua’. Pengaman di situ bukanlah pengaman resmi alat negara, tapi yang di luar itu. Memang bukan, tapi berkaitanlah mereka itu. Kalau pernah baca beberapa teori sosial, cultural studies, atau sedikit tentang politik negara, pasti pahamlah bagaimana organisasi paramiliter baku rangkul dengan elite kekuasaan.
Organisasi paramiliter, Medan; tak ada lain yang melintas di ingatan saya mula-mula selain Jagal—The Act of Killing. Tapi judul itu saya tidak sodorkan langsung. Belakangan. Saya hanya sedikit memberi gambaran soal organisasi-organisasi yang memang dirangkul elite guna menciptakan semacam ilusi. Ilusi, bikin konflik terus horisontal (rakyat vs rakyat), yang semestinya vertikal (rakyat vs penguasa). Itu hanya satu dari beberapa fungsi lainnya. Secara gamblang bisalah dilihat dalam Jagal. Berselang sekian minggu, saya tak tahu, apa kawan saya itu sudah menontonnya apa belum.
Dan linimasa sosmed (sosial media) beberapa bulan terakhir memang berkaitan dengan itu. Linimasa diselipi lagi dengan kabar kebangkitan PKI. Ini respon dari boomingnya pembahasan Istirahatlah Kata-kata (dan peringatan sepuluh tahun Aksi Kamisan), atau cuma efek dari perkara rectoverso palu-arit di uang baru? Entahlah. Lagian, kabar-kabar macam ini sudah konsisten hadir selepas Gestok. Jadi tidak bisa dibilang ‘tiba-tiba’.
Yang menarik dari ini, tentu saja adalah kawan-kawan yang ikut percaya dan menyebarkan kabar tersebut. Beberapa dari mereka saya tahu memang tak pernah betul-betul membaca riset sejarah atau analisis kultural. Beberapa lainnya mungkin pernah membacanya, mungkin tak cukup banyak, jadi memilih untuk menyangkalnya. Seorang di antaranya bahkan—ini kalau saya tak salah ingat—pernah saya pinjami DVD film Jagal Joshua Oppenheimer itu. Bayangkan, orang yang sudah menonton Jagal masih bisa termakan kabar kebangkitan PKI?!
Saya jelas tak habis pikir. Di film itu jelas sekali dipampangkan bagaimana para jago yang memusuhi PKI itu memalaki lapak dagang orang-orang Cina—yang hari-hari ini banyak dikabarkan akan membahayakan negeri ini—; merendahkan perempuan; keterkaitan mereka dengan elite eksekutif maupun legislatif; kongkalikong mereka dengan salah satu bos media cetak; juga tentu yang jadi fokus kamera: si preman bioskop Anwar Congo—dan kawannya, Adi Zulkadry—itu bilang: ‘Kalau orang bilang PKI Gerwani kejam, kita jauh lebih kejam sebenarnya’. Yang kemudian di scene-scene lain mereka peragakan cara menginterogasi, menyiksa, bahkan membunuh. Cerita lain tentang darah dari mayat-mayat yang anyir dan repot dibersihkan yang akhirnya membuatnya memilih cara membunuh menjerat leher dengan kawat—lebih senyap dan nirdarah.
Kawan saya yang satu itu juga gemar protes soal kemandirian ekonomi, bagaimana modal asing menguasai negeri ini, juga mengamini ujaran Rocky Gerung yang itu: ‘Negara punya segenap alat untuk berbohong secara sempurna’. Kalau percaya Negara bisa berbohong atau menipu rakyat di soal-soal lapangan kerja dan medan ekonomi, kenapa tak bisa curiga bahwa kabar kebangkitan komunisme yang ditiup-tiupkan Menteri Pertahanan dkk-nya yang jelas-jelas bagian dari Negara itu juga adalah bohong dan tipu belaka?
Sepertinya memang benar. Karena Negara bisa berbohong dengan sempurna, maka kita warga negara sudahlah pasti tertipu secara sempurna pula. Menteri Pertahanan atau Panglima atau Purnawirawan TNI lainnya bilang komunisme dan separatisme bangkit, warga negara mestilah percaya saja. Oke, siap laksanakan, Jenderal!
Rasa-rasanya perlu nanti diinventarisir kontradiksi-kontradiksi dan keanehan-keanehan para pemamah hoax dan pengudap rutin fallacy ini.
Selain Jagal dan Senyap (The Look of Silence), video lain yang otomatis muncul di ingatan pas lihat kawan-kawan saya itu adalah dokumenter singkat Mubyarto Institute, Menuju Ekonomi Pancasila (nonton di sini). Kalau malas menontonnya dari ujung ke ujung, cobalah langsung lompat saja ke menit 14 detik 37. Meski mungkin akan kehilangan lebih dari separuh konteks dan substansi video itu, tapi tak apa.
Di bagian yang saya sarankan itu diisi testimoni Revrisond Baswir. Ia menjabarkan titik-titik waktu dan runut peristiwa yang mengiringi yang terjadi di kurun masa sekitaran proklamasi. Mulai dari kolonialisme pra 17 Agustus, proklamasi itu sendiri, agresi militer sesudahnya, Konferensi Meja Bundar, dll. Jalinan itu ia runut guna menunjukkan bagaimana kapitalisme global tak ikhlas lihat Indonesia merdeka.
Tuturannya akhirnya sampai di tahun 1965, tepatnya penandatanganan UU No. 16 (Agustus) tentang pemutusan segala rupa penanaman modal asing di Indonesia. UU ini adalah puncak kegeraman Soekarno akan seluruh intervensi asing di bumi Indonesia. Beberapa bulan sebelum itu, tepatnya di bulan April, ia sebenarnya sudah meneken semacam ‘ketetapan pengantar’ untuk ‘banting stir berdiri di atas kaki sendiri’ (TAP MPRS No. VI/1965).
UU No. 16/1965 itu adalah kulminasi juga akumulasi dari segenap kegerahan Soekarno setelah bertahun-tahun sejak proklamasi selalu saja diganggui bajingan kolonial-imperial yang tak rela Indonesia berdikari. Ya, akumulasi. Selain Ketetapan MPRS No. VI/1965, gelagat gerahnya Soekarno dapat kita lacak sekian tahun sebelum itu. Pada tahun 1959 ia mengusul pembubaran Konstituante yang lalu diikuti penegasan Manipol USDEK (UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia). Setahun setelahnya, 1960, ia membubarkan PSI dan Masyumi akibat tokoh-tokoh terasnya terlibat pemberontakan yang konon dimodali asing. Di tahun 1964, di peringatan kemerdekaan yang ke-19, Soekarno menyerukan Vivere Pericoloso, mari hidup menyerempet bahaya, sebuah seruan yang intinya: Revolusi jauh dari usai. Karena itu segenap kita mesti terus bergiat. Seruan inilah yang kemudian direspon LEKRA dengan gerilya yang lebih sedap lagi di medan kebudayaan.
Pidato itu semacam alarm. Alarm bagi segenap elemen revolusioner bangsa untuk bangun. Terus bergerak. Itu juga seperti peringatan, bahwa Nekolim (neokolonialisme-imperialisme) akan terus mencoba merangsek masuk, bahkan akan lebih parah. Dalam pidato itu berkali-kali Soekarno mengingatkan akan Romantik-Dinamik-Dialektik. Bangsa ini sudah melewati banyak dan tetap tegak. Agresi militer Belanda satu-dua, pengkhianatan PRRI-Permesta, sabotase, subversi, dan intervensi Nekolim. Ini sedikit kutipannya:
“Nah, apa jang saja tjeritakan di atas ini adalah pengalaman beberapa tahun jang lalu; hampir-hampir sadja kita keblinger samasekali, hampir-hampir sadja kita ‘op drift’ samasekali, hampir-hampir sadja kita mati-kutu samasekali, —kalau kita tidak lekas-lekas banting setir ke djalan-benar kembali—, dan dengan itu memberi kembali kepada Revolusi Indonesia ia punja Romantik, Dinamik, dan Dialektik.
Dengan koreksi banting setir ini, kita kembali beri kepada Revolusi Indonesia ia punja djurusan, ia punja arah, ia punja Direction.”
Pidato itu seperti penegasan kembali perasan konsep Trisakti yang sudah digaungkannya setahun sebelumnya. Istilah banting-setir dan perasan konsep Trisakti itulah yang kemudian jadi roh TAP MPRS No. VI/1965.
Dan seperti kata Revrisond, hanya berselang lima minggu sejak 23 Agustus, tanggal UU No. 16/1965 itu diteken, yang di dalamnya mencabut UU Penanaman Modal Asing (1958) juga menegaskan kembali Pasal 10 TAP MPRS No.VI/1965 yang berbunyi ‘Melaksanakan nasionalisasi dan bila perlu menyita semua perusahaan asing yang bermusuhan, hingga tercapai kebebasan penuh di bidang ekonomi dan distribusi’ (yang berarti kembali pada Pasal 33 UUD 1945), terjadilah itu Gestok—sebutan lainnya Gestapu atau G30S.
Bayangkan, hanya kurang lebih lima minggu, lebih kurang 38 hari.
Dan setelah-setelahnya, kita bisa runut. Maret 1966, Supersemar keluar (‘surat perintah pengamanan’ yang lebih suka disebut orang-orang sebagai ‘surat peralihan kuasa’). November 1966, diteken tiga UU berbau Nekolim: UU No. 7 (Indonesia mengangsur kembali utang-utang Pemerintah Kolonial Belanda), UU No.8 (menyetujui keanggotaan Indonesia dalam Asian Development Bank), dan UU No.9 (masuknya kembali Indonesia dalam IMF—International Monetary Fund). Januari 1967, UU Penanaman Modal Asing dibikin ulang. Maretnya, Soekarno resmi dicopot. Yang paling legendaris, Konferensi Investasi di Jenewa, Swiss, 2-4 November 1967. Di forum itulah segenap sektor strategis Indonesia (keuangan, pajak, tambang, pangan, industri) dipilah-bilah demi para investor.
Selepas itu, daftar investasi bisa ditambah jadi lebih panjang lagi ke bawah, lengkap dengan pembungkaman-pembungkaman (juga cap-cap ‘komunis’) terhadap para pemrotesnya oleh instrumen ‘pengaman’ dan ‘pengayom’ khas Orde Harto.
Demikianlah. Sepertinya kita sudah mesti masuk ke sesi penutup yang berisi saran dan kesimpulan.
Saran:
Sebelum masuk dan tenggelam lebih dalam di dunia per-sosmed-an yang isinya penuh bola liar kabar, propaganda, penggiringan, dan analisis sepotong-sepotong dari para—katanya—analis, ada baiknya Anda menepi, menghabiskan waktu lebih banyak atau menenggelamkan diri lebih lama dalam buku-buku riset sejarah dan cultural studies dari para peneliti yang namanya sudah diakui di medan akademik, yang tesis-tesisnya sudah diuji di ruang-ruang akademik. Atau sekalian berpusing-pusinglah membacai teks-teks teoritik-filosofis biar benteng nalar lebih kokoh.
Saya tahu itu mungkin jadi saran yang sia-sia. Sebab, seperti ditulis AS Laksana, “Orang-orang yang telanjur berumur 20 tahun saya pikir tidak perlu didorong-dorong untuk gemar membaca. Anda tahu, pada umur 20 tahun, orang yang tidak gemar membaca akan lebih senang disuruh push-up lima puluh kali sehari ketimbang dipaksa membaca satu buku sebulan. Orang-orang berumur 40 tahun akan lebih suka belajar agama. Kalaupun mereka mulai melirik bacaan, mereka akan memilih bacaan-bacaan menjelang ajal. Jadi, tidak usah dipaksa mereka membaca buku-buku apa pun selain kumpulan doa-doa mustajab.”
Jadi, saran itu mungkin lebih tepat diperuntukkan ke yang lebih muda. Atau bisa masuk jadi satu poin metode parenting bagi calon Bapak-Ibu menyiapkan buah hatinya kelak.
Tapi, tak ada salahnya juga dicoba. Toh pemuda-pemudi 20 tahun ke atas yang konon di tangannya tergenggam arah bangsa itu, sayang sekali kalau tak mengerti kemelut masa lalu yang efek terusannya kelihatan di masa yang dihidupinya sekarang.
Kesimpulan:
Ribut-ribut tolol soal PKI yang belum mati dan bersiap bangkit kembali itu ada baiknya tidak usah dibantah. Sebab, PKI memang tidak pernah mati. Ia akan ada terus di ingatan tiap-tiap yang belajar sejarah sebagai: tumbal yang mesti digerek demi melapangkan jalan masuk modal asing yang menggerogoti negeri ini sampai hari ini.
Jadi, kalau ada seorang yang mengaku pengamat intelijen bilang bahwa ada rapat-rapat PKI rutin di Istana, UU Desa adalah bentuk baru komunisme (neo-komunisme), atau kebangkitan gerakan petani menolak sawah mereka direbut pabrik dan bandara adalah hasutan komunis, tahulah kita itu demi apa, berkait ke mana, dan ‘keuntungan’nya dinikmati siapa.
Ilustrasi: https://www.teepublic.com/kids-t-shirt/1117861-digital-communist
Hanya ampas kopi di dasar gelas yang sebentar lagi luruh terbilas mengalir masuk lubang limbah tempat cuci piring.