Jumat malam, ronde kedua debat kandidat calon pimpinan ibu kota digelar. Baik media daring atau televisi ramai menggunjing berita ini. Pasalnya, pada pertarungan pertama pendekar-pendekar ini berlangsung alot dan panas. Ronde kedua sudah dapat dipastikan, akan berlangsung tak kalah seru. Para pendekar akan saling menyerang dengan argumentasi yang rasional dan berdasar. Lalu mereka akan saling melumpuhkan dengan tanya yang sengaja di buat serumit mungkin.
Saya pandangi lekat televisi yang sedari tadi belum menyala, karena memang enggan menyaksikan acara debat yang disiarkan langsung tersebut. Saya lebih memilih bertamasya di dunia imajinasi dan membayangkan pertarungan ketiga pendekar beda aliran dan partai tersebut. Pendekar yang identik dengan kacamata dengan busana rapi berasal dari golongan biasa. Ia mantan punggawa negeri yang mengurusi tentang pendidikan anak bangsa. Beberapa bulan sejak namanya hilang dari dunia persilatan politik, kini muncul kembali. Namanya dikenal di seluruh pelosok Nusantara, jadi sudah dapat dipastikan dia adalah pendekar yang cerdas dan patut diperhitungkan. Ia saya juluki pendekar Aksara.
Di sudut lain, seorang pendekar muda berjubah kebesaran nama ayahnya. Ia pendekar dari kalangan elit militer. Pendekar yang melepas seragam, pangkat, dan jabatan, untuk kemudian memasuki dunia persilatan politik, pastilah memiliki keberanian yang besar. Seorang militer tentunya juga dibekali dengan wawasan yang luas, pandai olah strategi, dan militan. Apatah lagi nama-nama sepuh dibelakangnya, yang sudah malang-melintang dan sudah banyak makan garam di gelanggang politik. Maka jadilah ia pendekar yang tangguh dan tidak bisa dipandang sebelah mata. Ia adalah pendekar muda dengan julukan sang Yudhayana.
Petarung terakhir, ia adalah pendekar keturunan Tionghoa yang identik dengan kacamata dan kemeja kotak-kotak. Ia yang saat ini berkuasa di ibu kota. Pendekar yang terkenal tegas dan blak-blakan ini, bahkan pernah menggemparkan Nusantara. Tidak tanggung-tanggung, ribuan orang datang mencarinya. Bahkan, gerakan kedua dari orang-orang tersebut menggunakan nama beken seorang pendekar yang terkenal sakti mandra guna, sang pendekar kapak Naga Geni 212 Wiro Sableng, murid pendekar Sinto Gendeng. Pendekar dari Tionghoa ini bergelar pendekar Naga Selatan. Maka bertarunglah mereka untuk mengesahkan diri sebagai yang terkuat, dengan kata dan tanya sebagai senjata.
Banyak hal yang harus menjadi pertimbangan setiap pendekar dalam pertarungan. Termasuk bagaimana mereka bisa menahan amarah dan selalu bersikap tenang selama pertarungan berlangsung. Sehingga rakyat akan merasa kagum dan menghantarkannya menuju singgasana ibu kota. Pendekar Tanpa Nama dalam buku Nagabumi, Seno Gumira Ajidarma, mengatakan pendekar yang tidak bisa bersikap tenang selama pertarungan akan mudah untuk dilumpuhkan, karena dengan begitu dia akan membuka kelemahannya sendiri.
Hal ini senada dengan yang diyakini guru besar Ip Man, praktisi ilmu bela diri China yang mengajarkan wing chun. Pendekar wing chun tersebut mengatakan bahwa “kita semua memiliki setan dalam batin kita, yaitu ketakutan, kebencian, dan kemarahan. Jika Anda tidak menaklukkannya, hidup 100 tahun sama saja dengan sebuah tragedi. Jika anda menaklukkannya maka kehidupan satu hari adalah kemenangan.”
Sesaat saya kembali ke alam nyata, membuka Facebook dan membaca status. Maka berjumpalah saya dengan ulasan Arif Rh, katanya orang-orang menenonton debat pilgub DKI memiliki pola yang jelas. Mereka hanya akan melihat kebaikan-kebaikan dari orang yang didukungnya, dan mereka hanya akan melihat kejelekan-kejelekan dari orang yang tidak didukungya. Jika memang demikian, pendekar Naga Selatan berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Karena memang sedari awal pendekar Naga Selatan diserang dengan isu keagamaan. Karena gegabah dan tidak tenang dalam mengambil keputusan, pendekar Naga Selatan kalah dalam pertarungan urat syaraf tempo hari. Sehingga meluncur deras kata yang menggegerkan seluruh negeri kala itu. Kata yang menjadi senjata lawan untuk membunuh geraknya dan mengambil simpati rakyat. Maklumlah, karena pendekar Naga Selatan memiliki agama yang berbeda dari mayoritas masyarakat negeri ini.
Tetiba pendekar Tanpa Nama muncul entah dari mana, ia melontarkan tanya “benarkah karena perbedaan agama? Aku selalu berpendapat perbedaan agama bukan alasan timbulnya perpecahaan. Adalah persaingan kekuasaan, yang memanfaatkan segala perbedaan, termasuk agama, yang justru menghendaki perpecahan tersebut. Dengan terdapatnya perpecahan, suatu bangsa akan menjadi rapuh, dan mereka yang berkepentingan dengan keadaan ini akan mudah merebut kekuasaan.” Kemudian ia mempertegas kembali tuturnya, “mereka yang berkepentingan untuk mengambil bagian dalam perebutan kekuasaan, tidak akan melupakan keberadaan agama untuk dimanfaatkan.”
Pendekar kemanusiaan – julukan saya untuk Gus Dur, rupanya tidak ingin ketinggalan dalam perbincangan saya dengan pendekar Tanpa Nama. Melesatlah kata sejenis nasihat darinya bahwa “peran agama sesungguhnya membuat orang sadar akan fakta bahwa dirinya merupakan bagian dari anggota umat manusia, dan bagian dari alam semesta.”
Sebelum beranjak dari alam imaji di mana saya bertemu dengan pendekar-pendekar tersebut, Jet Li – pendekar kungfu di film laga China – menghampiri saya. Sambil memberi hormat ala China dan berucap Gong Xi fa Chai, Jet Li berujar “saya telah menggunakan waktu lebih dari 25 tahun untuk belajar kungfu. Baru saya menyadari bahwa senjata paling ampuh adalah senyuman. Dan kekuatan paling besar adalah cinta.” Maka kembalilah saya ke dunia nyata dengan bekal nasihat dari para pendekar. Dan saya yakin, pertarungan di dunia nyata pastilah jauh lebih berat. Karena yang menjadi lawan kita manusia-manusia dengan keakuannya, keangkuhannya, dan kepongahannya akan kuasa. Sehingga perpecahan sewaktu-waktu dapat terjadi kapan saja. Tapi, lawan yang terkuat dari semua itu adalah diri kita sendiri.
Ilustrasi: http://www.jakartaasoy.com/