Mayoritas yang kompak adalah bahaya bagi kebebasan [H. Bergson]
Dalam dunia yang semakin terbuka, postulatnya adalah tidak ada manusia yang dapat memenuhi kebutuhannnya sendiri, demikian pula negara. Setiap kita saling bergantung antara yang satu dengan yang lainnya, baik secara individu maupun konteks negara. Untuk memenuhi kebutuhan, ada dua jalan yang dapat ditempuh bekerjasama dan/atau berkompetisi.
Bekerjasama dalam perdagangan atau berkompetisi dalam wujud ‘perang’ memperebutkan sumber daya yang tersedia. Organisasi-organisasi regional antar benua sebagai perwujudan bentuk kerjasama, Uni Eropa, ASEAN, kerjasama bilateral, kerjasama antar benua. Dalam setiap kubu kerjasama tersebut, tidak dapat dimungkiri terjadinya persaingan. Baik di antara sesama anggota perserikatan maupun dengan perserikatan yang lain. Sebagai contoh, perebutan kuasa antara TPP (Trans Pasific Partnership) yang dikomandoi oleh Amerika Serikat, dan The Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang didominasi oleh China. Kedua perserikatan ekonomi tersebut, saling berkompetisi menguasai pasar Asia Tenggara.
Hasrat politik dan ekonomi yang tak terbatas, dan sumber daya yang terbatas seringkali menyeret kita pada ‘menghalalkan segala cara’ untuk memenuhi hasrat tersebut. Kebijakan dan strategi dilakukan oleh negara adikuasa (pemberi utang/investor) untuk menciptakan hegemoni dan kepatuhan pada negara subordinat (pengutang). Menurut Dimitri Mahayana, ada empat serangkaian yang menciptakan hegemoni, yang sepadan dalam terminologi Islam yaitu Qarun, Firaun, Haman, dan Bal’am.
Bagaimana watak keempat tokoh tersbut? Qarun di simbolkan kekinian dengan korporasi-korporasi global yang serakah, dalam istilah David C. Korten “when Corporations Rule the World”, pun korporasi-korporasi lokal yang serakah adalah sewujud dengan Qarun. Kedua, Firaun, para penguasa dunia, negara-negara adikuasa, Amerika dan negara-negara sekutunya di Eropa, yang terkait dalam berbagai kejahatan kemanusian, termasuk perang yang mereka ciptakan dan biaya.
Tokoh ketiga adalah Haman sang teknokrat. Para teknokrat yang merancang sistem globalisme untuk dan demi kepentingan negara-negara serakah. Para teknokrat yang ada di PBB dengan dewan keamanannya, yang sering bertindak sangat tidak adil. World Bank, IMF, dan jaringan bank-bank besar di Barat, termasuk bank Swsis. Sistem kelembagaan global yang seolah-olah dibuat untuk membantu negara dunia ketiga, namun kenyataannya untuk menciptakan ketergantungan dan kepatuhan-kepatuhan lainnya. Termasuk kepatuhan untuk memberikan hak pengelolaan sumber daya alam yang ada di negara berkembang.
Selain bidang keuangan, pengaturan Hak Kreatifitas Intelektual, suatu hukum global baru yang sampai diperjuangkan mati-matian oleh Bill Clinton dalam konferensi APEC di Bogor 1994, telah berubah menjadi alat teknokrat globalisme yang kurang masuk akal. Tempe telah dipatenkan di Amerika , sehingga bila kita akan mengekspor tempe ke Amerika kita mesti ijin kepada yang memiliki patennya dan membayar hak ciptanya. Demikian pula batik Pekalongan dan karya-karya seni yang demikian hebat dari Bali, – si Pulau Dewata yang memiliki kekayaan antropologis tak terhingga. Sangat boleh jadi Pinisi akan dipatenkan oleh negara lain.
Akibat tata global di atas yang mulai dirasakan tidak adil, kini muncul protes global dari negara-negara berkembang menuntut kembali pada ‘Deglobalization’. Deglobalisasi hendak mengembalikan peran negara sebagai ‘the protector’ warganya atas dampak arus modal yang liar. Namun, apakah keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit), dan terpilihnya Donald Trump yang konservatif, telah membaca fenomena ini, dan mengambil langkah sedari dini untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian dan kebijakan-kebijakan untuk tata dunia yang baru, entahlah. Namun, duet dua negara adidaya ini mengingatkan kita pada Ronald Reagen dan Margareth Thatcher ketika mereka mempelopori pasar bebas.
Kelengkapan dari empat serangkai yang menegakkan hegemoni keserakahan global adalah para intelektual. Dalam simbolisme agama ini adalah Bal’am, yang merupakan figur ulama yang memihak para penindas. Dikembangkan secara besar-besaran wacana-wacana yang memandang dunia dan masyarakat yang penuh kebhinekaan ini dengan kacamata tunggal. Para pemikir dan intelektual mengeluarkan serangkaian teori-teori dan pandangan yang seolah-olah tidak memiliki alternatif lain.
Globalisme dianggap satu-satunya jalan. Globalisasi, dalam arti lenyapnya batas-batas antar negara, dianggap sebagai keniscayaan alamiah yang tidak mungkin dapat ditolak lagi. Sebagaimana air jatuh ke bumi karena ditarik gravitasi bumi. Cara berpikir seperti ini kerap ditemui di kampus-kampus, di sekolah, dan institusi-intitusi pendidikan lainnya. Menggunakan kacamata tunggal untuk menilai selain dirinya dan teorinya. Teori diposisikan layaknya sebagai kitab suci yang tidak bisa dipertanyakan dan dikritik. Para intelektual yang menghamba pada kuasa dan uang. Dalam simbolisme agama disebut Bal’am.
Persekongkolan keempat tokoh di atas menyatu dalam wadah globalisme. Sebuah tata kehidupan global yang mengarahkan setiap kita untuk sibuk menumpuk-numpuk harta, hasrat berkuasa sebagaimana Firaun, teknokrat dan intelektual penyokong harta dan kuasa. Empat serangkai di atas adalah watak dominan yang ada pada individu dan Negara yang serakah. Individu atau negara yang senang menumpuk-numpuk harta dengan berbagai cara.
Watak yang menjadikan semua hal adalah komoditas, yang dapat diperjualbelikan dan meraup untung darinya. Pertemanan dan silaturrahmi dikomersilkan, di bawah bayang-bayang investasi MLM yang hirarkis dan menindas. Dalam kontek global, kerjasama antar negara dilakukan untuk menghegemoni negara-negara subordinat (berkembang). Akhirnya, dalam sistem ekonomi yang serakah, individu dan negara bukan untuk saling memberdayakan, tapi saling memperdaya. Salam berdaya{}
Ilustrasi: http://www.theeventchronicle.com/news/north-america/conspiracy-vs-government-elite-propaganda-justifying-violent-repression/