Ketika Wallace di Makassar

Sudah sebulan Wallace tinggal di Makassar. Ya, Alfred Russell Wallace. Penjelajah dan peneliti asal Inggris. Dia populer di mata para  penduduk. Anak-anak orang Belanda menghadiahinya beratus-ratus kupu-kupu, bertangkai-tangkai bunga bahkan daun-daun tumbuhan. Sementara kaum pemuda Bugis sering membawanya ke hutan untuk berburu hewan. Wallace juga sering diundang ke pesta yang diadakan orang-orang Eropa. Biasanya dia datang dengan membawa beberapa kupu-kupu awetan untuk dijelaskan ke sesama tamu.

Kami berkenalan saat gubernur mengadakan pesta untuk menyambut Wallace yang baru saja tiba dari Lombok di kediaman pribadinya. Saat dia mengeluh uang yang dibawa tidak cukup untuk menyewa penginapan dalam jangka waktu lama, tanpa pikir panjang kutawarkan sebuah rumah panggung kosong milikku di daerah Mamajang. Wallace langsung setuju. Sejak itu kami menjadi teman akrab.

Matahari agak terik, dan ini hari Jumat. Kantor tidak terlalu ramai. Satu-satunya kesibukan adalah memeriksa keadaan muatan berkarung-karung kopi yang akan berlayar menuju Amsterdam pagi tadi. Sesudahnya aku hanya membaca surat kabar dan berkas-berkas dari pihak bea cukai Batavia. Membosankan. Kuraih pakaian dan keluar kantor. Tak lama kemudian telah kupacu kudaku melalui jalan setapak pelabuhan untuk menemui Wallace. Mungkin ada satu dua cerita bisa kudengar. Kubawakan juga kue-kue kering dan teh buatan istriku.

“Apa ada orang di dalam?” Aku berteriak di depan pintu rumah.

“Masuk saja, meneer Mesman!” Balas Wallace, juga berteriak dari dalam.

Kubuka pintu, dan terlihat jelas ratusan helai kertas bertebaran tak karuan di lantai. Banyak macam hal yang tertera di atas permukaan kertas-kertas. Mulai dari catatan bertulis tangan, sketsa binatang, sketsa kasar jalanan kota Gowa yang dia kunjungi kemarin.

Kuletakkan bawaanku di atas meja penuh bekas percik tinta. Aku penasaran dengan apa yang sedang dikerjakan Wallace di ruang sebelah. Begitu masuk, sontak aku terperangah. Ratusan bingkai berisi kupu-kupu dan kumbang tertata rapi di dinding bambu, memanjang ke semua arah, seolah ini museum khusus binatang tropis dalam ukuran paling kecil. Sinar matahari yang menembus sela-sela atap daun rumbia membuat semua terlihat magis. Aku kembali menjadi anak-anak melihat hasil pekerjaan Wallace itu.

“Ah, silahkan duduk meneer Mesman,” Wallace menghentikan aktivitasnya mencatat untuk mengambil cemilan di ruang sebelah. Kutarik sebuah kursi kayu untuk diduduki.

“Terus terang aku terkejut dengan apa yang kulihat, Wallace,” kataku sembari tidak melepas pandangan dari figura-figura itu.

“Itu juga yang dirasakan Ali dan Badrun, dua pegawaimu saat pertama kali melihat ini semua,” Wallace tergelak sembari menuang teh panas.

“Hanya sebulan, dan kau sanggup menghasilkan figura-figura ini. Menakjubkan,” aku jarang memuji hasil kerja seseorang, kecuali yang kuanggap luar biasa.

“Terima kasih, meneer,” Wallace mengangkat gelas tehnya, gestur salut ala orang Eropa.

“Aku datang kesini tidak untuk basa-basi bisnis kopi, itu menjemukan. Bisa kau ceritakan saja pengalamanmu?” Kutuang teh hangat untuk menemani pembicaraan.

“Tampaknya meneer hari ini bosan di kantor, ya? Baiklah. Ada satu yang menarik. Dua minggu yang lalu, aku berkuda ke daerah perbatasan Maros bersama Ali dengan niat berburu kupu-kupu. Berangkat siang, tiba agak petang. Begitu sampai, kami mencari hewan untuk makan malam dulu. Entah ayam hutan atau yang lain, tergantung keberuntungan.

“Kami sepakat mengambil jalur berburu yang berbeda. Aku berbekal tombak dan sinar purnama menelusuri hutan mencari hewan untuk disantap. Sekitar dua puluh menit berburu, aku kemudian melihat sesuatu yang aneh. Sesosok kupu-kupu yang sayapnya mengeluarkan pendar kekuningan melintas di hadapanku. Terang saja aku langsung penasaran, kuikuti saja kupu-kupu ajaib itu, barangkali bisa kujadikan spesimen koleksi.

“Lumayan jauh kuikuti kupu-kupu tersebut, sampai memasuki daerah hutan yang lebat dan gelap. Aku terhipnotis, cahayanya begitu terang, seolah merayu untuk mengikuti kepak lemahnya. Tak lama kemudian, kupu-kupu itu berubah menjadi sosok perempuan bersayap. Demi Tuhan. Aku melihatnya.

“Berdiri dengan sayap keemasan, bentangnya bahkan lebih lebar dari pondok ini. Aku seketika gemetar, sampai-sampai lunglai dan tak sengaja menjatuhkan tombak,” Wallace terdiam sejenak.

“Lalu apa yang terjadi?” Aku bertanya, penasaran juga.

“Dia berbicara dalam bahasa daerah, yang anehnya aku mengerti. Kalau tidak salah ingat dia mengatakan ‘Temanmu dalam bahaya, lekas selamatkan dia’. Begitu saja, singkat. Dia menghilang, begitu cepat, lalu gelap seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

“Aku butuh waktu lama untuk menyadari apa yang baru saja kualami dan memulihkan kewarasan. Kemudian kudengar teriakan Ali, memantul-mantul di sela pepohonan. Suaranya tak jauh dari tempatku berdiri. Segera saja aku berlari menuju sumber suara. Rupanya Ali jatuh di lubang perangkap babi hutan milik penduduk. Untung tangannya masih berpegang pada pinggiran lubang. Segera kuraih tangannya lalu menariknya keluar. Tak ada hewan yang berhasil didapat malam itu. Kami yang kelaparan terpaksa memutuskan berkuda menuju rumah kakakmu dan baru tiba sekitar jam dua dinihari.”

“Pengalaman mistis… Jadi apa kau ingin menulisnya di laporanmu?” Aku bertanya dengan bulu roma merinding. Pengalaman seperti itu jarang dialami oleh orang Eropa sebab mereka memilih untuk tinggal di rumah atau bepergian saat terang. Wallace tergolong berani.

“Tidak, aku kesini bukan mencari hal supranatural,” ujar Wallace sambil menggaruk keningnya yang berkerut memancarkan kebingungan.

Aku yang semenjak lahir telah berdiam di Makassar sering mendengar cerita serupa. Tapi belum pernah mengalaminya, sejauh ini.

“Aku pernah membaca buku bahwa ada dua alam di semesta ini. Alam nyata dan alam gaib di mana hal-hal tidak kasat mata dan di luar nalar terjadi,” kuredakan ketegangan yang merayapi kulit leherku dengan cara kembali menuang teh ke gelas.

“Betul, meneer. Aku juga pernah mendengarnya,” dia mengunyah biskuit dengan pancar kebingungan yang belum juga reda.

“Mungkin ini semacam pertanda, Wallace. Pembawa kabar,”

Wallace berubah raut mukanya, bingung menjadi terkejut.

“Ka… Kabar macam apa itu, meneer Mesman?” Dia bertanya sedikit tergagap.

“Entahlah, hanya Tuhan yang tahu apa itu. Semoga pertanda baik,”

Selanjutnya kami hanya menghabiskan teh dan biskuit dalam diam tanpa narasi.

***

Hari Senin. Bisa dipastikan sibuk lagi. Rutinitas memeriksa muatan kopi yang akan berangkat, dan memeriksa laporan keuntungan. Aku baru tiba di kantor pagi ini saat salah satu pegawaiku datang membawa surat dari Wallace. Ada apa? Wallace bertolak menuju Ambon seminggu yang lalu lengkap dengan muatan ratusan bingkai kupu-kupu dan jasad binatang yang diawetkan.

Kubaca surat tersebut. Rupanya kabar kalau atasan Wallace di London sangat puas dengan laporan-laporan pejelajahan hingga mereka bersedia menambah biaya perjalanannya dan akan langsung kembali ke Makassar jika penjelajahannya di Kepulauan Aru telah selesai. Berita bagus. Berarti rumah panggung sederhana milikku harus dipugar dan diperluas untuk kenyamanan Wallace nanti. Namun surat itu ditutup dengan kalimat :

PS : Aku bermimpi didatangi wanita bersayap kekuningan itu sebelum menerima kabar baik dari London itu.”

 

(Makassar, 5 Desember 2016)

Catatan : Cerita pendek ini hanya imajinasi penulis perihal kehidupan Alfred Russell Wallace saat tinggal di Makassar dalam rangka melakukan penelitian flora dan fauna medio Juli-November 1857. Dalam periode pertamanya tinggal di Makassar, Wallace menjalin persahabatan dengan Willem Leendert Mesman, seorang pengusaha sukses di Makassar waktu itu. Sementara kakaknya bernama Jacob Mesman, seorang petualang yang tinggal di Maros. Jika ingin membaca catatan perjalanannya secara lengkap dan menyeluruh tanpa sentuhan fiksi silakan membaca buku “The Malay Archipelago”.

sumber gambar: bumipoetra.blogspot.co.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *