Jokowi, Buku dan Literasi

Entahlah, mengapa saya begitu terpesona, pada persona yang memesona saya, tatkala menatap suntuk halaman depan harian Kompas, jelang akhir pekan, Kamis, 9 Februari 2017. Foto yang tersajikan, menguritakan Jokowi, sang presiden, membeli buku di Gramedia, saat kunjungannya ke Kota Ambon. Tak tanggung pula, buku yang dibelinya, salah satunya adalah anggitan Dewi Lestari, yang lebih populer dengan nama Dee, yang berjudul Intelegensi Embun Pagi. Setiap orang, bebas menafsirkan tindakan Jokowi di sela kunjungannya itu, tentu ada yang bilang , ini sejenis pencitraan. Namun, bagi saya, ini serupa jawaban atas pertanyaan, dan sekaligus seronah pesan penting, yang menandai dimensi arkaistik dari peradaban, buku dan literasi.

Sesarinya, urita kunjungan Jokowi ke toko buku dan membeli beberapa buku, telah beredar di media daring  beberapa hari sebelumnya. Bahkan, Dee sendiri telah meresponnya dengan ciutan yang menggairahkan, “Paaaaaak… pingsan saya, Paaaaak.” Waima saya tidak terburu-buru menyimpan pesan itu, sebagai kesan yang layak dipahatkan pada pikiran. Soalnya, sederhana saja, saya ingin mendidik diri untuk tetap waspada pada hoax, yang asalnya tak berpangkal, dan tujuannya tidak berujung. Apatah lagi, beberapa waktu sebelumnya, ada postingan gambar, di mana Jokowi membaca buku karangan SBY, dengan dahi berkerut. Kalau ini, sudah pasti hoax.

Adalah Muhiidin M. Dahlan, seorang penulis produktif, yang pernah menulis esai yang bertajuk, “Buku dan Citra Jokowi”, yang dimuat oleh koran Jawa Pos, 10 Januari 2017.Tulisan Muhiddin itu begitu menohok Jokowi. Betapa tidak, Muhiddin bilang begini, “Saya sampai ndredeg menunggu teladan macam apa yang diberikan Presiden yang Terhormat Joko Widodo untuk dunia buku dan literasi. Sejak 2014 saya menunggunya; mulai dengan penantian yang membuncah hingga perlahan tingkat kepercayaan meredup yang bahkan saya justru menunjuk diri sendiri: atau saya yang keliru.”

Saya ingin lebih memperdalam lagi sodokan Muhiddin atas Jokowi, “ Dan, dalam segala pencitraan yang melahirkan efek-bagi (viral) yang luar biasa di ranah maya itu, nyaris tak ada yang terhubung oleh buku. Sebagai seorang master citrawi, bahkan foto Joko Widodo dengan buku mustahil kita temukan: apalagi kemudian berharap menjadi viral…Di tengah menanti si Godot pegang buku atau ngapainlah-lah, yang datang malah berita jahanam, menangkap penulis di akhir tahun… Alih-alih mendengarkan Jokowi berbicara soal buku dengan segala intimasinya ketika kekuasaannya sudah berjalan 790 hari lebih, malah yang terjadi adalah aparatusnya yang bernama polisi bersuara.”

Pernyataan ataupun pertanyaan, disengaja atau tidak, Jokwi telah menjawabnya. Karena yang diminta oleh Muhiddin walau sekadar simbol, maka atraksi Jokowi itu pun, sudah memenuhi hasrat Muhiddin. Setidaknya, begitu asumsi saya. Pertanyaannya kemudian adalah, apakah memang benar-benar kunjungan ke toko buku, dan membeli pula bukunya Dee, serupa dengan upaya Jokowi untuk mengkampanyekan pentingnya buku bagi sekaum bangsa? Sesungguhnya, meski sekadar ciutan, Jokowi sudah menyatakannya, tatkala memposting gambarnya, bahwa “Mampir ke Maluku City Mall beli buku biar minat baca anak-anak kita meningkat. Buku jendela ilmu –Jkw.”

Pentingnya menggaris bawahi tohokan dan sodokan Muhiddin, dan langkah Jokowi belanja buku, karena memang soal buku di Indonesia, hingga kini masih menjadi masalah yang tak kunjung selesai. Padahal, keberadaan buku bagi suatu bangsa amat vital kedudukannya. Setidaknya, Nirwan Ahmad Arsuka dalam tulisannya di Kompas, Kamis, 16 Februari 2017, telah menabalkan judul yang cukup provokatif, “Buku adalah Senjata.”

Amat menarik, bila saya kutipkan ujaran ilustratif dari Nirwan, tentang urgensi buku bagi bangsa kita. “Jika bangsa adalah sebuah tubuh, maka pengetahuan – dalam pengertiannya yang paling luas – adalah oksigen yang menentukan kesehatan dan keutuhan bangsa tersebut… Buku-buku yang beredar, mungkin bisa dilihat sebagai hemoglobin yang mengikat oksigen pengetahuan itu.”  Sajian argumen ilustratif demikian, memancing saya untuk mengajukan sepenggal tanya, apa jadinya bila sebuah tubuh tidak punya hemoglobin? Adakah kehidupan bagi tubuh, bila tak punya protein sel darah merah yang memungkinkan darah mengangkut oksigen? Jelasnya, adakah kelayakan hidup bagi jiwa bangsa, tatkala buku terabaikan begitu rupa?

Muhiddin sudah menginterupsi Jokowi, dan Jokowi telah menjawabanya. Akankah buku bisa bernasib seperti, jaket, sarung, sepatu, baju, diburu sebagai lelaku hidup trendi, menjadi viral, gegara Jokowi mengenakannya? Entahlah.

One thought on “Jokowi, Buku dan Literasi”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *