Ada yang salah denganku sejak peristiwa naas itu terjadi, ketika berdiri sekujur tubuhku merasakan sakit, ototku seketika melemah. Dokter berkata pada Ayah, aku hanya mengalami gangguan keseimbangan, dan sepertinya tak ada jalan lain selain menggunakan tongkat sebagai Alat bantu. Kulihat Ayah mengulurkan tangannya, menyambut tangan sang dokter yang lebih dulu mengajaknya berjabat tangan. Entah sudah berapa lama aku terbaring di Rumah Sakit Abdul Wahab, namun satu yang pasti, tak ada Bunda di sampingku.
Ayah berbalik, menghampiriku yang masih terbaring lemah tak berdaya. Ayah terlihat baik-baik saja, namun aku tahu, di dalam batinnya terjadi pemberontakan yang teramat hebat. Aku tak ingin bertanya tentang Bunda, cukup waktu yang menjawab. Demikian pula terlihat jelas di wajah Ayah, dia tak ingin aku bertanya hal itu padanya. Usiaku masih sepuluh tahun, masih bocah tengik yang duduk di bangku sekolah dasar.
Tiga hari berlalu, dokter akhirnya memutuskan aku sudah bisa beristirahat di rumah. Terlihat Ayah bersemangat mengajari bagaimana menggunakan tongkat. Tinggi tongkat itu optimalnya sekitar dua hingga tiga jari di bawah ketiakku, sedangkan tinggi pegangan dari tongkat kurang lebih setinggi pinggangku. Memang terkesan tampak sederhana, namun tanpa dukungan Ayah, mungkin sulit untuk bisa dengan cepat beradaptasi. Dan lagi-lagi, aku tak melihat Bunda berada di ruang perawatan rumah sakit.
***
Waktu cukup cepat berlalu, aku sudah cukup dewasa tuk menikam Ayah dengan berbagai pertanyaan konyol. “Mengapa Ayah tak segera menikah?” ucapku sambil menyeruput kopi yang berada di atas meja belajar. Namun Ayah justru tertawa menimpali pertanyaanku, mungkin bagi Ayah ini hanyalah lelucon. Tapi tidak denganku, usia Ayah masih terbilang muda, belum genap tiga puluh lima tahun. Hal wajar bila Ayah memiliki hasrat untuk menikah lagi. Tapi sekali lagi, Ayah terkekeh sambil mencubit pipiku. “Nak…Kamu saja yang menikah, beri Ayah cucu yang cantik,” ucap Ayah dengan kerutan jelas pada dahinya.
Tiap kali bertanya pada Ayah tentang Bunda, tak pernah ada sedikitpun kalimat yang terlontar dari mulut sang Ayah. Selain senyuman pahit yang berusaha di tahannya, terlihat pula kantong matanya memerah. Dipandanginya lukisan sepasang ikan yang berada di dinding ruang tamu. Yah… Sejatinya hanya lukisan itu yang mampu membuat Ayah sedikit terhibur. Sepasang French Angelfish tergambar di sana, dengan sirip perut dan sirip punggung berwarna biru membentang lebar ke arah ekor. Terdapat pula dua buah sirip di bagian dada yang menjuntai sampai bagian ekor.
“Kau tahu ikan itu Nak?” ucap Ayah padaku yang kini berusia hampir seperempat abad
“Tidak,” ucapku mengangguk pasti
Lukisan itu sudah hampir dua tahun bertengger di sana, entah apa yang memikat pada gambar ikan yang habitatnya berasal dari perairan Amazon. Yang aku tahu, ikan yang tergolong dalam famili Cichlidae ini, memang menarik dari segi warna dan jenis yang bervariasi. “Selain itu apalagi Ayah?” ucapku seolah menunjukkan kecerdasan kognitifku pada Ayah. Maklum saja, aku mengambil jurusan ilmu Biologi pada salah satu perguruan tinggi dan untuk klasifikasi mahluk hidup sudah menjadi santapanku sehari-hari.
“Banyak hal tak hanya bisa kau dapatkan dari bangku kuliah Nak, termasuk tentang lukisan French Angelfish yang menguatkan Ayah hingga kini,” ucapan ayah seakan menghunjam jantungku.
“Maksud Ayah?” aku kali ini menggaruk kepala yang tak gatal. Bingung sekaligus ingin Ayah menjelaskan maksud ucapannya. Namun Ayah memilih meninggalkanku dalam keheningan, dan kini hanya bersama lukisan yang diletakkannya di atas meja belajarku.
“Apalagi Yah…?” ucapku merengek pada Ayah ditemani keringat dingin, yang kini menyambangi perlahan menyambangi tubuhku.
“Esok ulang tahun bunda Nak, jangan lupa kita harus kesana,” ucap Ayah berlalu pergi
Rasanya baru saja aku ingin membanggakan diri pada Ayah, betapa hebatnya dia memiliki anak dengan indeks prestasi 3,92 di awal tahun pertama kuliah. Namun ternyata, ucapan Ayah tadi justru membuatku terlihat bodoh dan tak bisa mendeskripsikan apa-apa tentang ikan.
Terlahir dengan bentuk tubuhnya yang pipih seperti anak panah, memiliki kepala kecil dan pada bagian mata terdapat warna merah muda. Demikian pula, sisik yang kasar dan hidup di perairan air tawar. Sepertinya memang tak ada yang istimewa dari ikan yang ukuran tubuhnya bisa mencapai panjang 7,5 cm hingga 25 cm. “Entahlah apa yang dipikirkan oleh Ayah tentang lukisan ini, apapun itu, Aku akan mencari alasannya…!!!” sambil menutup buku Anatomi dan Morfologi pada hewan.
***
Baju hitam yang dia kenakan, terlihat serasi dengan pecinya yang berwarna senada. Dia seolah tahu, inilah pakaian terbaik yang diinginkan sang istri. Dan baginya, tak ada lagi pakaian terbaik, selain apa yang dikenakannya saat ini. Bukannya tak ada, selain cinta yang menggerogoti seluruh hati dan pikirannya, baju itu adalah satu-satunya baju terakhir yang dijahit sang istri untuknya. Yah, itu adalah baju terakhir pemberian Bunda untuk Ayah, sebelum akhirnya si jago merah terlihat puas melahap seisi rumah dan merenggut nyawa Bunda.
Hari ini ulang tahun Bunda, Ayah dengan tegap melangkahkan kakinya yang seakan mengakar pada bumi. Langkahnya perlahan, sama pelannya dengan hembusan angin yang begitu lembut mengusap rambutnya. Kesedihan tergambar jelas pada wajah Ayah, dan aku tak berani menatapnya lebih dari tiga detik. Demikian pula bambu yang tumbuh sejajar, menyebarkan perakaran dan Rhizomanya di bawah tanah pemakaman. Seakan pelepah, tangkai dan helai daunnya, tunduk dan berbisik satu sama lain tuk menguatkan langkah Ayah.
Aku tahu ayah sangat mencintai Bunda, itulah mengapa hingga detik ini, dia tak pernah ingin menggantikannya dengan wanita lain. Berada di depan pusara Bunda, adalah hal yang menyakitkan baginya, namun hanya ini satu-satunya cara tuk menyambangi Bunda yang tulangnya kini menyatu dengan tanah. Aku hanya bisa terdiam di kejauhan, membiarkan Ayah melepaskan rindu untuk kekasihnya.
Cukup lama Ayah merefleksikan emosinya, sesekali terdengar suara ketika kondisi emosi dihayatinya dengan intens. Di akhir percakapan dengan pusara sang bunda, Ayah mengangguk pasti dan memintaku duduk di sampingnya. Sepucuk surat berwarna merah muda dia selipakan di nisan Bunda, tertancap pula mawar putih yang melambangkan rasa cinta yang sejati, kemurnian hati, kesucian, juga keanggunan.
Ayah kini hendak beranjak pergi, Aku memberanikan diri menatap Ayah, sembari menyeka air mata yang kini membasahi wajah tirusnya. Aku baru tahu makna lukisan dinding yang membuat Ayah selalu tersenyum. Selayaknya cinta sejati, kisah Ayah dan Bunda tak ada bedanya dengan kebersamaan sepasang French Angelfish yang berburu, berkelana dan berkomitmen tuk tinggal bersama. Hingga waktu pada akhirnya tak lagi berpihak, dan salah satu di antaranya meninggal, sang kekasih yang ditinggalkan memilih mengikrarkan dirinya untuk hidup dalam kesendirian.
Aku tak tahu apa isi dalam surat Ayah untuk Bunda. Tapi aku kini tahu, alasan mengapa Ayah tak pernah ingin menikah lagi. Bukan karena dia tak memiliki hasrat tuk memadu kasih pada wanita lain. Hanya saja, Ayah telah melewati banyak hal bersama kekasihnya, dan kini cintanya di hatinya telah dihabiskan tuk mengasihi dan menyayangi satu wanita, dan yang kutahu pasti wanita itu hanyalah Bunda.
Ilustrasi: http://agnes-cecile.deviantart.com/art/just-one-hour-memory-III-252761513
RA Yahya, Lahir di Makassar seperempat abad yang lalu, tepatnya 18 Agustus. Menulis bukanlah prioritas utama, namun soal berkicau sepertinya sudah bakat lahiriah. Admin Purchase di bidang IT ini, menyukai dunia traveling dan musik. Muai Thay adalah olah raga favoritnya, dan masa lalu adalah hal sepele yang ingin dilupakan. Menghabiskan waktu terbanyak di depan layar berukuran 14 inch adalah hobinya. Entah untuk menulis, mendengarkan musik atau hanya menonton. Kenali lewat karya, bukan lewat nama. Ikuti kicauannya di akun FB : lollypop15love atau dapat melalui e-mail : lollypop15love@gmail.com