Sekira dua tiga hari yang lalu, saya membaca dengan khusyuk di laman-laman facebook beberapa kawan, yang bernada sentil-sentilan, tentang kedatangan Sang Raja Kerajaan Saudi Arabia, Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud, yang didapuk pula selaku penjaga dua kota suci, Mekah dan Medinah. Seorang kawan berkomentar, mengapa mesti Sang Raja harus berlibur ke Bali? Kenapa bukan ke Aceh, bukankah Aceh adalah Serambi Mekah? Saya pun membatin, sekalian saja ke Makassar, bukankah Makassar adalah Serambi Medinah. Walau ada tanya yang mengekor, apa yang bisa ditawarkan oleh Aceh dan Makassar?
Kawan lainnya menyentil pula, dengan cara mengirimkan gambar Raja Salman dan Perdana Menteri China, Li Keqiang, yang digambar tertulis pertanyaan, mana yang dipilih? Seolah ingin menyatakan dengan tegas, apakah anda seorang muslim, akan memilih Salman yang memimpin negeri Islam, atau Li Keqiang, yang menggawangi negeri komunis? Pertanyaan lewat gambar yang diajukan ini, saya coba menebaknya, karena dilatari oleh, adanya informasi yang penuh gempita, akan adanya dana yang bakal dikucurkan oleh Raja Salman buat Indonesia, setidaknya gelontoran investasi, buat menghalau para investor China. Bayangkan saja, menurut urita yang menguar, ada 1500 orang yang menyertai raja, di dalamnya ada 8 orang menteri dan 20 pangeran. Kesemua orang itu akan tumpah ruah di Bali selama 6 hari.
Ikut sentil menyentil di medsos, khususnya di facebook, saya sudah lama tinggalkan. Apatah lagi berdebat tidak berpangkal, pun tak berujung. Satu-satunya hasil yang dicapai adalah, saling melukai antara sesama kawan. Ada yang luka hatinya, namun tidak sedikit yang terbacok pikiranya. Luka-luka itu bisa infeksi, yang kemudian menyebabkan munculnya penyakit akut, sakit hati, saling benci dan memutuskan silaturrahim, paling tidak ada tindakan saling unfriend. Jadi, daripada saya ikut-ikutan saling melukai, lebih baik saya tuliskan esai serampangan ini, sebagai buah pikir, yang mungkin saja menimbulkan luka. Maka, saya sarankan, persiapkan dulu antibodi pikiran, barulah membaca pendapat konyol saya ini.
Menghubung-hubungkan kedatangan Raja Salman beserta dayang-dayangnya dengan misi ekonomi, politik dan agama kurang menarik buat saya. Pasalnya, ketiga domain kajian itu, saya rabun pikir terhadapnya. Nyaris tak punya pengetahuan yang memadai. Karenanya, saya mengajukan pandangan yang biasa saja, merupakan percikan-percikan permukaan ketiga dimensi kehidupan itu. Saya hanya ingin mengajukan pendapat awam saja, bahwa kedatangan Raja Salman, sesungguhnya hanyalah tindakan barter, tukar menukar kenikmatan. Kenikmatan yang selama ini ditawarkan oleh Sang Raja, sebagai representasi dari sebentuk kenikmatan spiritual, atas dua kota suci umat Islam. Mekah dan Medinah. Sebaliknya, pun Presiden Jokowi, selaku representasi dari negeri mayoritas muslim, menawarkan kenikmatan material, serupa kenikmatan surgawi di kekinian dan kedisinian, Bali.
Setiap muslim di tanah air, pastilah merindukan undangan tandang kepada dua kota suci itu. Sebab, pada dua kota ini akan menyajikan kenikmatan spiritual, bagi para pemburu spiritualitas agar nampak menjadi spiritualis. Sehingga, berkunjung ke Mekah dan Medinah, yang secara administratif di bawah kekuasaan Kerajaan Saudi Arabia, yang berarti pula ada pada Raja Salman, merupakan impian penyempurna rukun keislaman, baik dalam bentuk ritus haji maupun umrah. Ajang haji dan umrah, bagi orang tertentu sering dijadikan sebagai ajang pertobatan. Sebentuk pertobatan dari terungku tumpukan kehidupan material. Makanya, agak mengherankan bagi saya, jikalau ada yang bertamu ke tanah suci, namun sampai di sana, justru menebalkan teralis terungku materialnya, yang tercermin dalam belanja tak karuan. Seharusnya, tanah suci adalah tempat piknik yang paling absah untuk membebaskan diri dari terungku kenikmatan material. Dan, itulah yang ditawarkan oleh para penjaga tanah suci, sejak awal mula ritus haji dan umrah ditunaikan. Di era kiwari, tentulah Raja salman, secara simbolis yang menawarkannya.
Akan halnya Bali, bukanlah kota suci, terlebih dalam pandangan umat Islam. Tapi, dalam keberadaannya, dunia telah sepakat akan keindahan Bali sebagai tempat tujuan kunjungan wisata, melepas penat. Saya ingin menabalkannya, bahwa Bali adalah kepingan tanah surga yang terlempar, yang ditakdirkan menjadi bagian Indonesia kini. Sebagai surga duniawi, Bali menawarkan pesonanya. Seorang kawan saya bahkan berani mengatakan, bahwa rombongan Raja Salman bakal berdecak kagum, sebab apa yang digambarkan dalam kitab suci, perumpamaan-perumpamaan alam surgawi, bakal mereka temukan di Bali. Inilah isyarat-isyarat surgawi yang dimaksud dalam kitab suci. Kira-kira, begitulah kekaguman itu menjagat.
Tepatlah tindakan Presiden Jokowi menawarkan Bali sebagai arena persamuhan bagi rombongan Raja Salman. Barter kenikmatan yang sepadan. Raja Salman menyodorkan kenikmatan spiritual di tanah suci, bagi para pejalan di jalan spiritualitas, sebuah jalan pertobatan bagi orang-orang yang tenggelam dalam kubangan penjara materi. Sementara Presiden Jokowi menyilakan para pesohor dari tanah suci untuk mengetes setiap persona, atas pesona surgawi materialitas Bali. Bagi saya, persona-persona yang berhasil menaklukkan segala macam pesona duniawi Bali, adalah seorang pejalan sejati. Persis seperti para pejalan yang menyongsong tanah suci.
Singkatnya, jikalau seorang muslim Indonesia bertandang ke tanah suci, berharap diterungku oleh spiritualitas tanah suci, dan itu sebaik-baiknya tandangan. Sebaliknya, bagi para pelancong muslim dari tanah suci, mampukah mereka membebaskan diri dari tawanan surgawi material Bali? Dalam posisi demikian sama saja, bedanya cuma tempat, satu menyongsong kualitas spiritual, yang kedua mempertahankan spiritualitas. Waima saya tetap yakin, seyakin-yakinnya, pada dua posisi asal muasal seorang muslim, Indonesia dan Saudi Arabia, ada yang bakal abadi dalam terungku materialitas, demikian pula, sisi lainnya, ada yang larut dalam tawanan spiritualitas.
Pegiat Literasi dan Owner Paradigma Group. CEO Boetta Ilmoe_Rumah Pengetahuan Bantaeng. Mengarang buku Sehimpunan Puisi AirMataDarah (2015), Tutur Jiwa (2017), Pesona Sari Diri (2019), Maksim Daeng Litere (2021), dan Gemuruh Literasi (2023). Kiwari, selaku anggota redaksi Kalaliterasi.com.