KAU DICIPTAKAN
daun-daun telinga
tak mendengar batang kata
ia tumbuh, bagai bibir pujangga
mengalirkan usia
menggugurkan sebatang aksara, lalu
melisani tubuhmu
hujan jatuh dari air mata
seorang ibu, mengaliri denyut
nadi di pergelangan tanganmu
yang bertunas dari kemesraan hujan, dan
jari-jemari seorang ayah
begitu kau diciptakan
tak pernah layu
tak pernah sayu
(2017)
ANAK-ANAK HILIR
aku ingin membenci hujan
di atas sungai yang airnya kuning
ia mengalirkan celana dalam cecunguk
dari hulu peradaban
lalu mengutip pesan Ayah,
“Jangan tenggelam di riak takdir, Nak.”
anak-anak hilir menjawab,
“Tak ada riak atau
sampah yang kami benci,
hanya sumpah sebelum langit
serapah dengan kerlap-kerlip.”
(2017)
ANAK-ANAK HILIR (II)
apa yang ingin kita lalui
sementara kita diapit oleh kata-kata
jalan-jalan ini adalah mata air
terus mengalir, dari hulu hingga hilir
lalu menemukan bibir
langit sebentar lagi akan berpesta
dengan baju biru memar
luka-luka melilit tubuh, dan
tabuh doa-doa kita, di kota
gelap mencuri umur
penyandang tuna netra
cahaya bertamu, sekadar
berbasa-basi dengan bisa-bisa ular
yang kelak ia santap di atas meja
: menelan kenyataan
kau juga, kaca mata hitam
yang mengapit hidung, terpental
di antara hidup, atau tenggelam
dengan bencana yang kekal
(2017)
Ilustrasi: http://www.artloversnewyork.com/zine/the-bomb../page/49/
Suka makan, nulis, ngopi, dan penyuka jendela. Belajar dan berhalaman rumah di Tanahindie. Nongkrong di Yayasan Sabtu Malam (Yassalam).