Beberapa hari lalu, tepatnya tanggal 26 Februari 2017, Sabtu pagi saya dan suami bersiap melakukan perjalanan weekend ke Bantaeng, sebuah kota kabupaten yang berjarak + 120 kilometer dari pusat kota Makassar. Meskipun jaraknya terbilang dekat, namun bagi saya yang memiliki sederet tugas rumahan dan mengajar setiap hari tetap sulit untuk meluangkan waktu untuk sering-sering berkunjung ke sana. Berbeda dengan suami yang hampir setiap pekan meluangkan waktu ke sana dalam rangka menggalakkan semangat baca warga Butta Toa.
Mengapa akhirnya saya sanggup menyisihkan waktu berkunjung ke sana karena sejak jauh hari sebelumnya saya sudah dimintai kesediaan untuk mengisi materi parenting bagi warga desa Labbo, sebuah daerah yang sangat sejuk dalam tahun-tahun ingatan saya. Bagi saya undangan ini adalah sebuah langkah maju untuk ukuran lingkup desa yang jauh dari pusat kota kabupaten.
Hari pertama
Sabtu pagi pukul sepuluh, kami berangkat menuju kota Bantaeng. Hawa sejuk sepanjang perjalanan serta pemandangan kiri-kanan yang menghijau, termasuk kota Jeneponto yang saya tahunya sedikit gersang dibandingkan kota-kota kabupaten yang mengapitnya turut menghijau. Wajah alamnya sangat cantik, hamparan sawah hijau terlihat di mana-mana. Rupanya hawa yang semula sejuk mesti berakhir hujan yang cukup serius. Sehingga saat memasuki kota Bantaeng, ada beberapa cabang dari jalan utama yang digenangi air. Waktu tempuh yang normalnya hanya berkisar tiga jam saja mesti dilalui selama lebih dari empat jam. Kami tiba pukul setengah tiga sore.
Karena hujan masih turun meskipun tidak deras hingga jelang magrib, maka rencana untuk jalan-jalan ke pantai Seruni pun batal kami lakukan. Akhirnya saya menghabiskan sore itu dengan membaca-baca ulang buku “Mendidik Anak Era Digital” yang sedianya akan menjadi salah satu pelengkap bahan diskusi pada acara esok hari.
Selepas Isya kami jalan kaki berdua menyusuri jalan raya depan rumah hingga membelok ke lokasi rumah salah satu sahabat, Dion Syaif Saen yang memiliki taman baca Teras Baca Lembang-lembang. Rencananya akan meminjam motor teman yang dititip di sana. Namun ternyata ia tak ada di tempat, karena sedang menghadiri sebuah acara IPPNU di salah satu SMU di Bantaeng. Maka untuk mengisi kekosongan kami menyempatkan diri berfoto di depan jam kayu raksasa yang menjadi objek perhatian saya.
Selesai berfoto sebagai kenang-kenangan bahwa saya pernah jalan-jalan ke tempat tersebut, kami kembali berjalan kaki menuju rumah untuk meminjam salah satu motor saudara yang lagi nganggur. Setelahnya dengan berboncengan kami menuju pantai Seruni, melihat keramaian malam Minggu di sana. Hanya kali ini suasana tidak seramai biasanya. Mungkin karena seharian kota ini diguyur hujan sehingga warga pun banyak yang lebih memilih menghabiskan waktu di rumah saja.
Selesai mengitari pantai kami bergerak menuju warung sarabba Dg Sido yang legendaris itu. Rasa sarabbanya yang khas membuatnya sanggup bertahan sejak tahun berdirinya, 1972 hingga kini. Warungnya sederhana namun membuat pengunjung betah dan nyaman. Pemiliknya pun sederhana, hanya bersarung dan berkaos meski nampak sudah sepuh, ia tetap menyambut siapa pun yang datang dengan senyum lebar. Saat selesai menghidangkan gelas sarabba beserta kue mangkok khasnya di atas meja, beliau melanjutkan keasyikannya menonton film Mandarin sembari tersenyum-senyum dan manggut-manggut.
Tak terasa waktu sudah semakin malam. Sekitar pukul sepuluh kami sudah berada kembali di rumah. Saya menyempatkan untuk mengecek berita di media sosial. Membantu menyebar info kelas literasi Paradigma Institute yang akan berlangsung esok harinya di danau Unhas, serta memposting foto kami saat sedang berada di Teras Baca Lembang-lembang magrib tadi.
Hari kedua
Hari Ahad subuh kami bangun dengan perasaan segar meski menjelang tidur semalam, suara balapan motor cukup mengganggu pendengaran. Saya sempat membatin, bahkan di daerah pun anak-anak balapan sudah mulai menjamur. Laptop dan segala perlengkapan saya masukkan ke dalam tas dan memastikan tak ada benda penting yang terlupa.
Pukul delapan kurang sedikit kami berboncengan motor menuju lokasi desa Labbo, kecamatan Tompobulu yang berjarak kurang lebih satu jam perjalanan. Meskipun cuaca agak mendung namun hal itu tidak menyurutkan semangat kami untuk segera bertemu dengan warga desa yang sudah menanti di lokasi.
Perjalanan lagi-lagi sangat menyenangkan, selain hawanya yang sejuk, pemandangan sawah dan pantai kiri-kanan cukup menghibur mata di sepanjang jalan. Bantaeng di mata saya termasuk kota yang bersih. Petugas kebersihan nampak rajin menjalankan tugasnya meskipun itu hari libur. Sebelum tiba di desa Labbo kami melewati beberapa tempat seperti Banyorang, Ereng-ereng, dan lain-lain. Di Ereng-ereng kami mampir sebentar di Sudut Baca Al-Syifa asuhan suami isteri yang masih belia, Ahmad Rusaidi dan Elma Malewa. Namun berhubung waktu yang tidak memungkinkan untuk berlama-lama, kami pun segera melanjutkan perjalanan menuju kantor desa Labbo.
Kepala Desa menyambut dengan semringah. Beberapa warga sudah mulai berdatangan menduduki kursi-kursi yang telah disediakan. Oh iya, penggagas dan penyelenggara kegiatan ini adalah mahasiswa dan mahasiswi KKN dari Institut Agama Islam Muhammadiyah Sinjai. Dengan kesederhanaannya mereka mampu menggelar acara seminar yang bertema “Mendidik dengan Cinta” dan menghimpun warga khususnya ibu-ibu untuk hadir di Minggu pagi di aula kantor desa.
Kendati cuaca agak mendung, warga yang datang kurang lebih berjumlah hampir 50 orang. Sebuah angka hadir untuk ukuran wilayah desa yang terhitung lumayan banyak. Mereka berasal dari beragam profesi. Ada ibu rumah tangga, ada guru, ada bidan, dan ada yang masih mahasiswa.
Acara dibuka oleh kepada desa yang selanjutnya diambil alih oleh adik-adik mahasiswa KKN. Berhubung di tempat yang sama sementara berlangsung pula kegiatan literasi untuk para pemuda warga di dusun yang berbeda, maka beliau tidak bisa berlama-lama berada di tengah kami saat itu dan memlih bergabung dengan warganya yang lain untuk mendengarkan pemaparan soal literasi yang saat itu dibawakan oleh kanda Sulhan Yusuf.
Seminar yang dimulai pada pukul sepuluh dengan penyajian materi yang dilanjutkan dengan diskusi masing-masing selama satu jam, berakhir pada pukul setengah satu siang. Beberapa pertanyaan yang terlontar saat sesi diskusi menunjukkan bahwa persoalan mendidik anak dengan baik tidak pernah ada habisnya. Masalah demi masalah muncul seiring tuntutan zaman yang berbeda pada setiap masanya. Namun satu hal yang pasti dan tak bisa ditawar-tawar adalah peran keluarga dan orangtua sangatlah penting di era sekarang. Orangtua tidak boleh berlepas tangan menyerahkan urusan pendidikan anak-anaknya pada sekolah atau lembaga pendidikan di luar sana. Karena orangtua dan keluarga adalah elemen penting dan merupakan peletak pondasi paling pertama yang akan terus mengawal perjalanan anak-anaknya hingga usia dewasa kelak.
Besar harapan saya pertemuan berikutnya masih akan tetap diadakan, agar pelajaran-pelajaran yang mereka dapatkan bisa terus tertanam dalam ingatan dan dipraktikkan dalam laku sehari-hari. Kita harus berjuang dan mengambil peran penting dalam mengawal generasi masa depan. Jika tidak, lingkungan di sekitarnya yang notabene banyak yang buruk akan memengaruhinya dengan cara yang tak terbayangkan.
Sepulang dari desa Labbo, kami mampir sekali lagi untuk berbincang lebih lama di Sudut Baca Al-Syifa, lanjut ziarah kubur di makam kedua orangtua kami di Ereng-ereng. Sorenya selepas istirahat beberapa saat di rumah, kami bertandang ke rumah sahabat yang lain, dinda Atte Shernylia untuk mengantar buku pesanannya. Beliau juga mengasuh taman baca di kediamannya, sepetak surga yang bernama Kolong Baca Lantebung. Rencana hanya mampir sebentar rupanya berujung pada obrolan seru yang panjang.
Menjelang magrib kami menuju pantai Lamalaka, dua gelas es kelapa muda menjadi sebab obrolan kami yang berseri sejak hari pertama. Malam itu ditutup dengan kunjungan ke rumah om dan tante di Tompong yang sudah pensiun. Cerita nostalgia mampu membuat mereka lupa waktu untuk mengakhiri obrolan malam itu. Masa-masa mereka masih muda, saat menjadi guru dan pengurus organisasi kepemudaan semakin menyalakan semangat hidupnya. Rasanya jika tidak kami akhiri di jarum penunjuk angka sembilan, maka nampaknya kisah nostalgia itu akan semakin menemukan jalannya.
Pulang ke kediaman akhirnya menjadi pilihan tepat malam itu. Beristirahat memulihkan tenaga untuk siap kembali ke Makassar keesokan paginya. Bantaeng, desa Labbo, Ereng-ereng, dan desa-desa lainnya, tunggu kahadiran kami kembali.
Pegiat literasi dan parenting di Paradigma Institute. Telah menulis buku “Dari Rumah untuk Dunia” (2013) dan “Metamorfosis Ibu” (2018).