Belajar dari Rektor UII

Tepat sebulan yang lalu, dunia pendidikan tinggi kembali berduka, tiga calon anggota Mahasiswa Pecinta Alam (MAPALA) Universitas Islam Indonesia (UII), meningga dunia usai menjalani Great Camping atau Pendidikan Dasar (Diksar) lembaga kemahasiswaan tersebut. Kekerasan fisik, diduga menjadi sebab dari hilangnya nyawa tiga mahasiswa itu.

Apa yang menimpa ketiga mahasiswa tersebut, menambah daftar hitam kasus kekerasan berujung maut di dunia kampus, tentu hal ini adalah pukulan telak bagi institusi pendidikan tinggi, khususnya pihak UII. Sebelumnya, Amirulloh Adityas Putra, taruna tingkat satu Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STP) Jakarta Utara, juga meregang nyawa setelah dianiaya empat seniornya di dalam asrama beberapa waktu sebelumnya.

Kekerasan

Kekerasan dalam dunia pendidikan, khususnya perguruan tinggi, adalah sebuah ironi bagi institusi yang merupakan ruang penyemaian generasi terdidik-terpelajar, laboratorium kebangsaan. Ia menjadi pertanda degradasi dan bergersernya sejumlah pemilik gelar kehormatan terdidik dan terpelajar, dari cita luhur pendidikan untuk humanisasi, menuju dehumanisasi, kekerasan!

Kekerasan di dunia kampus hadir dalam dua bentuk, pertama kekerasan yang terjadi pada mahasiswa oleh sesama mahasiswa, seperti dua kasus fatal di atas, kedua, kekerasan yang dilakukan oleh aparatus kampus pada mahasiswa.  Semisal tindakan represif yang dilakukan oleh satuan pengamanan kampus kepada mahasiswa Universitas Hasanuddin (UNHAS) yang melakukan demonstrasi beberapa waktu lalu, itu adalah salah satu contoh mata rantai kekerasan yang kerap dipraktikkan secara sadar di kampus, memprihatinkannya karena para pemangku kebijakan kampus kerap kali alpa dan seolah tidak tahu apa-apa, barangkali baginya ini persoalan remeh-temeh dan akan berlalu begitu saja. Kasus kekerasan serupa tidak hanya terjadi di UNHAS, ia telah menjadi wajah yang mencerminkan relasi konfrontatif antara mahasiswa dengan aparat keamanan di kampus-kampus.

Kekerasan umumnya dilakukan oleh pihak yang memiliki kuasa, ia dibutuhkan untuk memapankan struktur kuasa si tuan, kekerasan fisik maupun psikis dipilih sebagi cara mengamputasi mereka yang protes, karena padanya terdapat kelemahan mendasar, yaitu ketidakjujuran dan rasa takut mendalam pada kebenaran.

Kekerasan adalah simbol kekuasaan yang pongah, ia menundukkan pihak lain dengan tangan besi, dengan merepresi hingga mengeksklusi. Kampus yang di era lalu menjadi penyokong terbesar demokratisasi melalui gerakan mahasiswa, kini justru terjebak dalam hasrat kontra kritisisme yang merupakan salah satu pilar demokrasi, dan justru giat mengejar status quo karena imajinasi world class university.

Kekerasan yang nampak direstui oleh pemangku kebijakan kampus, menunjukkan betapa nilai-nilai berdemokrasi di kampus, seolah-olah hanya hadir, jika mahasiswa patuh dan taat terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemegang wewenang, mereka yang punya kuasa. Pada kenyataan ini, demokrasi tengah dipasung di tempat di mana ia sendiri dibicarkan, didiskusikan, diperdebatkan dan diperjuangkan.

Apapun alasannya, kekerasan adalah sesuatu yang tidak boleh dipraktikkan di dunia pendidikan, kekerasan ibarat kutukan yang akan terus bereproduksi, jika tidak ada yang berani memutus mata rantainya. Pemaafan terhadap pelaku kekerasan mungkin adalah satu cara paling arif yang dapat dilakukan apabila tindak kekerasan telah terjadi, namun tentu kita semua mafhum, bahwa perkara maaf-memafkan dalam konteks kekerasan bukanlah hal yang mudah. Sehingga harus ada upaya sungguh-sungguh dari berbagai pihak, khususnya pemangku wewenang untuk melakukan langkah-langkah preventif. Membangun kultur akademik yang terbuka, dialogis, dialektis dan tidak anti ktitik adalah langkah-langkah yang harus diupayakan sungguh-sungguh. Hal itu tentu harus selalu dimulai dari atas dan digerakkan secara bersama oleh segenap civitas kampus.

Nilai

Penulis terenyuh, ketika membaca pernyataan rektor UII sebagaimana yang dilansir kompas.com (27/1) “Saya mengundurkan diri dari Rektor UII. Ini sebagai pertanggungjawaban moral. Tanggung jawab penuh di rektor sebagai pimpinan, bukan wakil rektor, pembantu rektor, atau mahasiswa”. Membaca ini, penulis seolah melihat satu cahaya kecil dibalik gelapnya selubung kasus kekerasan yang terjadi.

Hal berbeda justru dengan mudah kita jumpai dalam dunia birokrasi publik kita, untuk menutupi boroknya, mereka kerap memilih melempar tanggung jawab, menyalahkan bawahan, bahkan tidak jarang mengorbankan orang lain. Siri’ (malu) sebagai satu nilai moral yang tinggi, telah digeser oleh gengsi. Hasrat mempertahankan jabatan lebih dipentingkan dari pada nilai.

Dalam kasus ini, rektor UII adalah satu pengecualian. Ia menunjukkan sikap kepemimpinan penuh tanggungjawab, siap menanggung segala konsekuensi yang menimpa mahasiswanya, dan bersedia menjawab keresahan publik, dengan “menghukum” dirinya sendiri, bagi penulis, hal ini hanya bisa dilakukan oleh mereka yang dalam dirinya tertanam nilai keksatriaan. Penulis seperti melihat seorang samurai, sedang melakoni harakiri, untuk membayar rasa malu karena kegagalan atas tanggungjawab yang diembannya, walau sebenarnya kegagalan itu bukan diakibatkan secara langsung olehnya. Bedanya, di Indonesia sikap kesatria semacam ini, begitu nampak luar biasa, sedang di negeri Jepang ia adalah hal biasa yang dilakukan oleh pejabat publik jika merasa telah gagal menjalankan amanah.

Keputusan rektor UII Dr. Harsoyo, patutlah diapresiasi, hal itu adalah bentuk kepatuhan terhadap nilai, malu. Nilai adalah soal suara hati. Harsoyo malu karena merasa bersalah, merasa bersalah karena di atas tanggungjawab yang diembannya terjadi kasus yang mengorbankan nyawa mahasiswanya, ia merasa gagal. Sikap rektor UII tersebut, sekaligus menjadi isyarat bahwa beliau adalah orang yang anti kekerasan.

Ilustrasi: http://www.psychoshare.com/

  • “Betapa megah hidupmu kau bilang, dalam tidur semua akan hilang.” (Koes Plus) Tepat pada hari raya Idul Adha, bersetuju tanggal 12 September 2016, sekira pukul 21.15 wita, saya pulang kampung ke Bantaeng. Dari terminal Mallengkeri Makassar, dengan mobil langganan, menerobos malam, hingga tiba di mukim keluarga, seputar pukul 24.30. Sedianya, tidak selarut itu saya tiba,…

  • Sebenarnya masih banyak yang tak tahu, Agustus adalah bulan pertama Kelas Literasi Paradigma Institute Makassar (KLPI Makassar). Kala itu, saat Bangsa Indonesia merayakan hari kemerdekaannya, di waktu itu pula kelas pertama KLPI dimulai. 17 Agustus 2015 adalah hari yang istimewa. Hari untuk kali pertama, kelas menulis Paradigma Institute digelar. Siapa yang menyangka, siapa pula yang…

  • Puisi, sebagai genre sastra, merupakan karangan yang tidak bisa sendirinya merujuk suatu makna dengan terang. Seperti yang diungkapkan Ignas Kleden dalam Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan, mengungkapkan bahwa bahasa sastra adalah bahasa yang berpotensi mengungkap dan menyembunyikan suatu makna. Bahkan, tulis  Ignas Kleden, kedua sifat itu bisa berlaku sekaligus. Misalkan saja kata “mawar” dalam sebait…

  • Malam baru saja merintis jalan abdinya, menuju kesuntukan, sekira pukul 21.30. Seorang kawan seprofesi, menelpon dan meminta waktu bicara sejenak. Saya pun menyilakannya, karena memang sudah ingin berkemas pula untuk balik ke mukim, dari tempat mengais nafkah. Sang kawan mulai bertutur, agak terbata-bata suaranya, berucap bahwa; “baru saja saya disambangi oleh seorang pengacara, yang menuntut…

  • Kali ini KLPI didominasi oleh mukamuka baru. Sebagian di antaranya sudah saling mengenal. Sebagiannya lagi malah baru pertama kali bertatap muka. Itu sebab, di dalam forum sebagian yang belum saling mengenal, agak canggung terlibat dalam obrolan yang menjadi percakapan. Percakapan, seperti biasanya, sering kali malah dimulai dari karya kawankawan yang dipresentasekan. Dari situ, kadang obrolan…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221