Cermin

Pertama sekali dia memiliki cermin saat menginjak kelas lima sekolah dasar. Ibunya yang membelikan kala itu, sebab dia mesti membawa sebingkai cermin kecil ke tempat mengajinya. Oleh guru mengajinya, cermin tersebut akan digunakan anak- anak belajar makhorijul huruf. Maka itu, setiap anak ditugaskan membawa sebuah cermin. Dan inilah hal yang paling menyenangkan bagi Sengka selama hampir sebulan mengikuti kelas mengaji setiap sore di masjid dekat rumahnya.

Alasannya, sederhana. Dia senang dengan cermin. Sejak kecil orang-orang malah menggelarinya dengan nama La gaya, disebabkan kesenangannya bercermin. Kadang-kadang pula cermin baginya selaku televisi, tempat dia melihat sendiri cerminan dirinya dengan bibir monyong, ataukah bernyanyi sambil berjoget-joget. Malahan pernah, dia dianggap aneh oleh para tetangganya, kala ulang tahun kelimanya dan dia dihadiahi mobil-mobilan oleh seorang temannya. Tetapi mobil mainan tersebut dibuang, lalu dia berlari menangis sejadi-jadinya di depan cermin, dan setelahnya tertawa-tawa sendiri. Sayangnya, cermin tersebut bukan miliknya, melainkan milik ibunya dan karenanya waktu menggunakan sungguhlah terbatas. Sengka tak mengecap merdeka jika demikian.

Lantaran merasa telah memiliki sebuah cermin sendiri, sore itu Sengka sungguhlah bahagia. Sebelum berangkat ke masjid, dia telah mencoba beberapa adegan di depan cermin. Semisal meniru gaya ceramah guru mengajinya, pun mengembang kempiskan hidung serupa kucing mengendus bau ikan asin. Dan sesampai di masjid, dialah yang paling bersemangat unjuk jari belajar penyebutan huruf-huruf hijaiyah. Semua teman-temannya kaget melihat Sengka hari itu. Bahkan guru mengajinya pun terperangah. Ini rekor terbaru Sengka, setelah beberapa kali menjadi tulang punggung keonaran di kelas mengajinya. Tetapi, tak satu pun di antara mereka yang mampu menebak, semua itu karena cermin yang telah dimilikinya.

Semenjak itu, kesukaannya terhadap cermin memuncak lagi. Menginjak remaja, koleksi cermin Sengka semakin banyak. Uang jajan yang diberikan ibunya setiap hari dia kumpulkan untuk ditukar sebingkai cermin. Walhasil, di kamarnya cermin tergantung di semua dinding. Bahkan sebagian telah disangkutkan pada tembok di ruang tamu rumahnya. Jika ditanya, untuk apa? “Untuk bercermin!” Inilah jawaban satu-satunya.

Ada sebuah cermin besar yang tergantung di tengah-tengah dinding kamarnya. Disitulah akhir-akhir ini dia memaku diri. Apalagi sejak dia dipercayakan oleh guru mengajinya mendampingi beberapa orang anak belajar mengaji. Maka, sebelum ke masjid, dia akan berdiri berlama-lama di depan cermin, dan membisikkan entah apa padanya. Sepulang dari masjid pun dia akan seperti itu lagi. Berdiri, mematung, dan membisikkan entah apa.

Memerhatikan ini, ibunya Sengka mulai khawatir. Ditambah lagi omongan orang-orang di sekitar, bahwa kebiasaan Sengka itu tidaklah wajar. Menanggapi semua itu, Sengka pantanglah surut semangatnya. Koleksi cerminnya tambahlah banyak, dan kebiasaannya berlama-lama di depan cermin juga semakin menukik. Belakangan, malahan dia mengikuti kebiasaan guru mengajinya dahulu menyuruh anak-anak menyebutkan huruf-huruf hijaiyah di depan cermin. Anak-anak riang tertawa, memerhatikan gerak bibir mereka saat melafadzkan beberapa huruf. Bahkan ada yang tak sempat lagi melanjutkan pelajarannya karena tak bisa menahan tawa setiap kali menaruh cermin sejengkal dari wajahnya. Tetapi Sengka tidak pernah marah menyikapi anak-anak tersebut. Dia selalu ingat pesan guru mengajinya kala itu, bahwa Islam itu agama kelembutan, dia harus diajarkan dengan ramah. Bukan dengan amarah. Karena inilah, Sengka bercita-cita juga menjadi guru mengaji.

Cermin-cermin anak-anak yang sudah lulus pelajaran makhorijul huruf akan diminta oleh Sengka, sebagai kenang-kenangan, atau lebih tepatnya untuk menambah koleksi cerminnya. Itulah sebabnya, cermin-cermin Sengka sudah meruah ke dapur dan ruang tamu. Bahkan sebagian lagi telah dipotong kecil-kecil sebagai gantungan anak kunci di setiap pintu rumahnya. Jika ada yang bertamu ke rumah Sengka, dan ada yang menanyainya perihal cermin-cermin tersebut, jawabannya pasti sama, “Untuk bercermin!”

***

Kini, sepenuhnya Sengka telah menjadi guru mengaji bagi anak-anak di masjid dekat rumahnya. Guru yang mengajar Sengka, pamit ke kota karena sebuah urusan penting, alasannya. Demi memakmurkan masjid dengan kalimat-kalimat Ilahi sebagaimana pesan gurunya, Sengka takzim pada serah terima jabatan tersebut. Meski senantiasa dianggap aneh karena cermin-cermin di rumahnya, orang-orang juga tidak meragukan kefasihan Sengka merunut kalimat-kalimat Tuhan. Anak-anak setiap hari akan berdatangan dengan cermin-cermin di tangan, dan selang beberapa minggu, mereka dengan riang telah menguasai pelajaran yang menggunakan cermin sejengkal dari wajah. Pelan-pelan, orang-orang tak lagi mempersoalkan kebiasaan Sengka pada cermin-cermin.

Cita-cita Sengka menjadi guru mengaji telah terkabul, dan hari ini, dia menurunkan cermin besar yang tersampir di dinding kamarnya. Ini adalah keanehan lain bagi ibunya. Sebab di cermin itulah sering kali, Sengka menandaskan waktunya sebelum ke masjid. Sengka menatap cermin itu lekat-lekat, kemudian membersihkan bingkai dan kacanya sampai bening. Lalu satu persatu cermin di kamarnya dipunguti, pun yang tergantung di dapur beserta ruang tamu. Semua disatukan dengan cermin besar. Gantungan anak-anak kunci yang masih bergoyang menggelayut di lubang kunci, dicabutinya satu-satu, dimasukkan dalam plastik kecil, lantas di satukan juga dengan cermin besar.

Mengamati pola laku Sengka, ibunya diam dan gantian mematung di depan cermin besar yang sudah dikepung cermin-cermin kecil. Sengka masih terus menjelajahi setiap sudut-sudut rumahnya, kalau-kalau masih ada cermin yang tersisa. Meski disibukkan mencari cermin-cermin, ujung mata Sengka sempat menangkap sorot mata penuh tanya ibunya dalam pantulan cermin besar. Di sana ibunya masih tarus membatu dengan mulut terkatup.

“Untuk bercermin!!!” Demikianlah Sengka menangkupkan sorot mata penuh tanya ibunya.

“Siapa yang akan bercermin?” Ibunya menimpali

“Entahlah, tetapi seseorang sedang berulang tahun hari ini, dan saya rasa dia butuh cermin!”

Selanjutnya senyap, Sengka pun ibunya sama-sama bungkam.

 ***

Sengka menumpangi sebuah bus menuju ke kota. Sambil memangku bungkusan besar berisi cermin-cermin, matanya tertuju pada sebuah LCD 14 inci yang menggantung di bus tersebut. Berita utamanya hari ini sebagaimana yang kemarin-kemarin, perang politik di ibukota yang tak kunjung surut. Telah terpilih seseorang dengan persentase terbanyak, dan itu menyulut pertempuran semakin apik. Sebenarnya dia telah bosan dengan hal-hal yang seperti itu. Sebagai guru mengaji, dia merasa tertekan lantaran beberapa oknum telah mengikut-ikutkan huruf-huruf yang dipelajarinya dengan cara mendekatkan mulut sejengkal dari cermin dalam pertikaian politik. Ini tak sehat menurutnya. Tetapi apalah daya Sengka, selain bergeming di depan cermin besar, membisikkan entah apa.

Bus tersebut serasa sesak, dan Sengka sungguh segera ingin sampai. Cermin-cermin di pangkuannya seakan-akan semakin berat menindih pahanya. Suara dan gambar-gambar di kotak datar tersebut menumpuki gendang telinga dan batok kepalanya. Beruntunglah, tak berapa lama, bus yang ditumpanginya singgah di sebuah masjid karena seorang penumpang ingin buang air kecil. Sengka memanfaatkan kesempatan tersebut berangin-angin sejenak. Dia hendak menuju kran air tempat jamaah masjid mengambil air wudhu untuk cuci muka ketika telinganya menangkap suara yang tak asing lagi. Sengka membelokkan kakinya memasuki masjid, dan suara itu semakin dekat terdengar, di pintu masjid, jelas dia melihat guru mengajinya.

Sang guru sedang duduk dilingkari banyak orang. Dia dengan berapi-api memaki-maki seseorang dalam arena politik ibukota sebagaimana yang dilihat Sengka di atas bus tadi. Sengka dengan tergesa-gesa, kembali ke dalam bus, mengambil bungkusan berisi cermin-cermin, lalu berlari dengan cepat memasuki masjid. Di hadapan banyak orang yang duduk melingkar, dia memberikan cermin-cermin tersebut pada guru mengajinya, “Inilah sekadarnya yang bisa saya berikan di hari lahirmu!” Tukasnya, kemudian berlalu meninggalkan guru dan jamaahnya yang duduk melingkar, bisu.

Berkelindan di benaknya, tentang seorang guru yang senantiasa mengajarnya dengan tekun. Dan selalu berkata tentang agama yang lembut dan nabinya yang penuh kasih sayang. Kemudian bertukar dengan adegan seorang guru mengaji yang izin ke kota karena suatu hal, lalu mengomandoi sebuah gerakan kebencian, sungguh jauh dari cinta dan kasih sayang.

 

Makassar, 24 Februari 2017

Ilustrasi: http://barrin84.deviantart.com/art/Cracked-Mirror-bad-luck-23908956

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *