Kala itu, pada akhir pekan di pertengahan bulan, tepatnya, hari Ahad, tanggal 12 Februari 2017. Mentari baru semenjana teriknya, saya merapat ke tribun lapangan sepak bola Lompo Battang, Bantaeng. Hajatan yang digagas oleh Ikatan Remaja dan Mushollah (Irmus) SMA Neg.1 Bantaeng, bertajuk Pelatihan Literasi dan Teknik Resensi Buku, dengan mengambil tema, seputar hubung kait antara literasi dan peradaban.
Oleh penyelenggara, saya diundang untuk berbagi dua hal, gerakan literasi di sekolah, dan teknik meresensi buku, sebagai bekal kelantipan dalam membaca, sekaligus menuliskan hasil bacaan. Kehadiran saya atas undangan Irmus, bukanlah yang pertama. Entah sudah berapa kali saya didapuk sebagai pemantik gagasan, yang kesemuanya diselenggarakan di areal sekolah. Barulah kali ini di luar sekolah, yang menurut pembinanya, sekaligus guru agamanya, yang juga pegiat literasi di Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan, Kamaruddin, mencari suasana baru, sebagai bagian dari cara menyegarkan kegiatan-kegiatan literasi.
Di pelatihan itu, saya mendedahkan terlebih dahulu, pandangan seputar pentingnya merawat dan memberikan makanan bergizi pada jiwa, di tengah kegilaan berburu hasrat memenuhi tuntutan raga. Padahal, menurut amanat para pendiri bangsa, yang disabdakan dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya, meminta agar membangun jiwa terlebih dahulu, barulah bangun raganya. Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya, begitulah bait sakralnya. Dan, setelahnya, saya sajikan pula, bagaimana kebiasaan membaca, bakal menentukan kemampuan menulis. Proses membaca ibarat memasukkan asupan gizi, agar ada energi yang kuat buat berbicara dan menulis.
Dari sekian buah dari kemampuan menulis, yang dikelompokkan dalam karya fiksi dan non-fiksi, salah satunya adalah resensi buku. Karya non-fiksi, yang berupa resensi buku, biasa pula disebut dalam istilah lain, semisal, timbangan buku, bedah buku, ulasan buku, pustaka, dll, bergantung pada selera media, baik yang berbasis luring (cetak), maupun daring (online). Istilah yang dipakai boleh saja berbeda, namun yang pasti, tulisan itu berbicara tentang buku yang disorot, mulai dari yang paling kulit, penampakan fisik, hingga konten, atau isi gagasan yang dirahimi oleh sebuah buku.
Secara teknis, tulisan resensi buku, mempunyai tingkatan kualitas. Pertama, tulisan yang sekadar menggambarkan hal-hal yang bersifat umum dari buku itu. Biasanya, hanya mengutipkan apa yang terdapat pada halaman belakang, sinopsis sebuah buku. Kedua, memaparkan secara deskriptif dari buku itu, ketiga, melakukan perbandingan dengan buku lain, baik buku yang ditulis oleh pengarang yang sama, pun pengarang yang lain. Dalam perbandingan inilah, menuntut keluasan pandangan seorang peresensi buku.
Jelang siang, sekira pukul 11.30, tetiba saja cuaca berubah secara cepat. Langit menjadi mendung, awan gelap menyelimuti. Biji-biji air sebentuk biji jagung, mewujud jadi hujan, berlomba menghempaskan diri ke tanah. Pastilah ada kekacauan sedikit, tapi saya selaku pembicara langsung menenangkan para peserta, dengan sejumput kalimat-kalimat, yang rada bijak, “biarkanlah hujan itu turun, sebab dia juga punya hak untuk berpesta. Tiadalah kebahagiaan yang lebih khusyuk, tatkala titik-titik air itu, berhasil lolos dari terungku awan. Hujan, sesungguhnya adalah simbol pembebasan diri bagi titik-titik air. Tatkala titik-titik air itu, membulatkan diri menjadi biji-biji air, lalu menghempaskan diri, di situlah kemerdekan sang titik air, karena akan segera mencari tempat yang lebih rendah, menggenangkan diri, tenang dalam jeda, sebelum disedot kembali oleh terik matahari, kemudian awan menawannya.”
Setelah pesta penghempasan biji-biji air, hujan pun reda. Kumandang azan membahana, acara pun dinyatakan usai. Selanjutnya, kami pun menuju mesjid terdekat buat tunaikan salat bagi yang ingin melunaskannya. Habis ibadah zuhur, kami semua santap siang. Di sela-sela makan siang itulah, program selanjutnya dibincangkan, bahwa salah satu bentuk follow up dari persamuhan ini, adalah melakukan kunjungan ke komunitas literasi. Saya mengajukan istilah, tandang literasi, yakni menyambangi komunitas literasi, komunitas baca, yang menyediakan fasilatas buku bacaan. Tujuannya, agar anak-anak Irmus mengenal komunitas itu, sekaligus menjadikannya sebagai arena untuk mendapatkan bahan bacaan.
Dari sekian banyak komunitas literasi yang ada di Bantaeng, saya mengusulkan untuk bertandang ke Kolong Baca Lantebung, yang diasuh oleh Atte Shernylia Maladevi. Pertimbangannya sangat strategis, sebab pada pelatihan kali ini, saya tak lupa mengenalkan seorang penulis, dari alumni SMA 1 Bantaeng, yang telah mengarang dua novel, Titisan Cinta Leluhur, dan Djarina. Bagi saya, tandang literasi ini bermakna ganda, selain mengenalkan salah satu komunitas literasi, bertemu pula dengan seorang penulis, pun sekaligus sebagai ajang silaturrahim dengan alumninya. Apatah lagi, pada pelatihan itu, saya memberikan ganjaran hadiah buku, pada dua penanya, yang judul bukunya adalah anggitan Atte itu. Komplitlah sudah.
Ada lebih 20-an orang anak-anak Irmus dan pembinanya, berombongan ke Kolong Baca Lantebung. Jarak tempuhnya, kurang dari 7 menit, dengan kecepatan 20 km per jam. Setiba di lokasi, kami sudah disambut oleh pendiri komunitas literasi ini. Sambutan yang hangat, sehangat cuaca yang berpadu antara terik yang harus berbagi dengan hempasan biji-biji air, hujan. Jadilah sore itu mendung, menyelimuti kami semua. Dan, pada dinding depan Kolong Baca Lantebung, yang juga masih merupakan bagian dari rumahnya Atte, tertulis kalimat indah, “Selamat Datang di Surga Kami.” Wow… Sepetak surga yang bakal kami kunjungi.
Saya sendiri barulah pertama kali bertandang ke Kolong Baca Lantebung ini, sejak dipindahkan dari Kolong Balla Lompoa Lantebung. Sebelumnya, saat komunitas literasi ini didirikan jelang bulan Ramadan tahun 2016, bermarkas di kolong rumah adat Balla Lompoa. Tapi, karena situasinya kurang memadai, sebab buku-buku sering dikencani oleh debu-debu yang ingin melapisi sampul-sampul buku, maka Atte mengamankannya sementara waktu. Jadi, Kolong Baca Lantebung ini, pernah jeda, sembari menunggu selesainya pengerjaan rumah tinggal keluarga Atte. Nah, sekarang rumah itu sudah rampung, maka buku-buku itu menemukan mukimnya yang lebih adem, jauh dari usilan debu.
Salah satu keunikan dari Kolong Baca Lantebung ini, karena yang paling sering menungguinya adalah anak-anak dari pasangan keluarga Atte dan Nasir. Usianya baru duduk di SD, dan ada pula yang masih balita. Namun, yang paling garib lagi, sebab bagi para peminjam leluasa meminjam dan mengembalikan sendiri, tanpa ada proses adminitrasi. Kalau selama ini kita mengenal adanya kantin kejujuran, maka di Kolong Baca Lantebung ini, pun menerapkan mekanisme kejujuran. Jadi, semuanya amat bergantung pada para peminjam. Sebuah terobosan buat pendidikan karakter. Inilah senyatanya penanaman kejujuran.
Rombongan dari Irmus pun menikmati pojok surga itu. Namun, karena luasnya ruangan tidak mampu menampung kami, akhirnya kami diajak untuk ke Balla Lompoa Lantebung, yang jaraknya hanya sekira 30-an langkah. Kami kemudian menaiki Balla Lompoa, yang juga merupakan salah satu situs bersejarah dari Kerajaan Bantaeng di masa silam. Balla Lompoa Lantebung ini adalah rumah tinggal sang raja. Seintinya, ini serupa paket tambahan dari tandangan literasi. Mendapatkan kesempatan naik di Balla Lompoa, diladeni langsung oleh kerabat raja, merupakan kebahagiaan tersendiri. Oleh Atte, diberilah penjelasan mengenai keberadaan rumah adat ini, dan segala sesuatu yang ada di atas rumah ini.
Bagi rombongan Irmus, berlaku pepatah, “Sambil menyelam minum air,” sembari tandang literasi dapat pula wisata budaya. Sebab, banyak yang belum menganal situs ini, bahkan barulah pertama kali berkunjung ke rumah bersejarah ini. Dan, pada ruang yang semirip ruang tamu inilah , anak-anak bersilaturrahim dengan penulis, yang sejak pelatihan berlangsung, saya sudah mengenalkannya. Dari rona muka anak-anak Irmus, terpancar asa untuk menimba ilmu kepenulisan dari sang penulis novel.
Atte memulai perbincangannya dengan bercerita tentang novelnya. Khususnya novel yang kedua, berjudul Djarina. Bahwasanya, Djarina sebagaimana yang ada di novel adalah tokoh nyata dari keluarga Raja Bantaeng. Tempat mukim Djarina, di Balla Lompoa. Sewaktu novel Djarina diluncurkan, pun dilaksanakan di ruangan ini, sebagai bentuk dedikasi buat Djarina. Perbincangan pun melebar pada proses kreatif dalam kepenulisannya, hingga jauh pada putusannya mendirikan komunitas literasi, Kolong Baca Lantebung. Di pucuk persamuhan, Atte menawarkan kepada segenap anak-anak Irmus, agar datang meminjam buku, sesuka hati, lalu mengembalikannya dengan sepenuh hati.
Hingga tulisan ini saya bikin, anak-anak Irmus sudah silih berganti, datang meminjam dan mengembalikan buku. Pun makin merambah ke anak-anak sekolah lainnya. Terkadang, Atte sendiri tidak mengenal lagi siapa mereka, sebab pekerjaannya juga menuntut senantiasa meninggalkan rumah. Untunglah ada sepasukan anak-anaknya yang menggawangi Kolong Baca Lantebung ini. Bagi saya, komunitas literasi ini, hanya ingin selalu mengatualkan vision lamonde, pandangan hidup pemiliknya, mencicil sepetak surga di mukimnya, yang memang sedari awal, keluarga ini telah menabalkan janji, membuat surga di rumahnya, lahan subur menanam kebaikan.
Pegiat Literasi dan Owner Paradigma Group. CEO Boetta Ilmoe_Rumah Pengetahuan Bantaeng. Mengarang buku Sehimpunan Puisi AirMataDarah (2015), Tutur Jiwa (2017), Pesona Sari Diri (2019), Maksim Daeng Litere (2021), dan Gemuruh Literasi (2023). Kiwari, selaku anggota redaksi Kalaliterasi.com.