Orang Pintar dan Mereka yang Menelan Tanpa Mengunyah

Andaikan saja kau kenal seorang yang cerdas. Cerdasnya di sini bisa mungkin persepsimu saja, atau memang ia cerdas betulan. Lebih mudahnya, misalkan saja ia sudah tembus magister atau doktor, itu. Dari cerita-cerita juga hal-hal yang kau lihat langsung, ia dikenal paham sengkarut kuasa, punya pengaruh, banyak kenal dengan orang penting, pernah masuk ruang-ruang yang tak biasa, punya karya-karya monumental meski tak banyak, berintegritas dan teguh profesionalisme, serta pengalaman-pengalaman lainnya yang bisa bikin sesiapapun berdecak senyaring cicak.

Ia juga kau kenal cerewet, banyak omong, dan gemar menggunjing. Yang karena pengalamannya, tentu, omongan dan gunjingannya bukan hal-hal remeh. Tapi di satu ruang tertentu, yang publik tapi bukan fana bukan pula nyata, ia agak lain. Omongannya diirit-irit. Idealismenya tetap teguh, tapi tendensinya sedikit janggal.

Tendensinya yang janggal, menurutmu, pasti lahir dari pemahaman yang ditarik dari kekayaan pengalamannya yang tak biasa. Ia tahu banyak hal, kau tahu itu. Perspektifnya pasti lebih banyak. Sudut yang bisa digamitnya pasti lebih luas. Kau tak punya masalah di situ. Masalahmu ada di yang satu: omongannya yang diirit.

Lagi-lagi kau mafhum, orang yang sudah punya banyak pengalaman akan punya lebih banyak referensi. Tempaan itu bikin otaknya lebih cepat mengolah informasi, menjalin pola, menghubungkan yang satu dengan yang lain, hingga akhirnya intuisinya menunjuk satu titik dan lahirlah kesimpulan. Di ruang yang publik tapi bukan fana bukan pula nyata itu, ia, si cerdas ini, kau lihat lebih sering langsung ke kesimpulan. Jarang sekali ia kau lihat berpayah-payah menjelaskan bagaimana pola dijalin, bagaimana yang ini bisa berefek ke situ, mengapa ini mengapa itu, dan runut-runut penalaran penting lainnya.

Dengan sosoknya yang seakan melegenda, ia tentu punya banyak pengikut di ruang maya itu. Dengan satu dua kalimat simpulan, yang runut penalarannya sering tak disertakan dan karenanya terkesan jadi semacam simplifikasi saja, jadilah itu semacam dogma yang dipercaya pengikutnya. Serupa rapalan mantra. Tersuntik masuk langsung tanpa disaring di nalar. Tak lupa dijempoli disertai emosi tertentu, bahkan kalau perlu disebarkan. Jadilah kalimat itu semacam kredo.

*

Ulasan soal penarikan kesimpulan macam itu, ditulis bagus oleh Malcolm Gladwell lewat bukunya, Blink. Gladwell menyertakan contoh kasus bagus semisal lirikan mata telanjang sedetik-dua detik dari seorang pengamat seni senior bisa lebih akurat memastikan sebuah patung yang didaku asli ternyata palsu, ketimbang penyelidikan seorang geolog yang memakai mikroskop elektron.

Saya jadi ingat pengalaman saya (spontan bergabung dengan massa aksi, seperti kebetulan lewat saja) memagari aksi para supir pete-pete terkait protes mereka terhadap niatan kampus membatasi moda itu beroperasi masuk areal kampus Universitas Hasanuddin beberapa tahun lalu. Mengawal massa yang tidak sempat lama diedukasi dan diorganisir, tentu punya risiko tersendiri. Aksi yang dihelat di depan Rektorat itu bisa saja pecah ricuh jika kawan-kawan tak selalu sigap mengingatkan massa bahwa ada provokasi di antara mereka. Ya, dengan aba-aba yang biasa itu—sambil bertepuk tangan: “Hati-hati… hati-hati… hati-hati provokasi.” Kami mudah saja mengenali biang ricuh itu dari gelagat dan tampakannya. Setelah upaya provokasinya gagal, ia saya lihat segera keluar dari kerumunan massa dan pergi berkumpul duduk bersama kawanan Satpam sambil pura-pura meminjam korek dan menggaruki betisnya yang tak gatal.

Bagi yang biasa terlibat dalam aksi-aksi lapangan semacam itu tentu punya kepekaan tersendiri. Bisa mengenali provokator hanya dari pakaiannya, tahu kapan massa perlu didinginkan, tahu di mana sudut-sudut intel ditempatkan juga gerak-geriknya, dan tentu bagi yang provokator, mereka tahu bagaimana bikin ricuh hanya dengan satu gerakan atau seruan sepele.

Hal-hal yang berada di ranah ‘lapangan’ ini, seolah tak punya penjelasan pasti. Meminta penjelasan ke pelaku-pelakunya pun sama saja, tak memperjelasnya pula. Sebagian mungkin menjawab: “Ya hanya insting saja.” Tapi ia bukan barang yang tak mensyaratkan sesuatu pun, ia punya penjelasan, dan itu pasti. Itulah: pengalaman.

Untuk kesimpulan hal-hal ‘lapangan’ mungkin begitu—seakan tak bisa dinalar, lebih soal insting, buah latihan atau praktik tak sebentar. Tapi untuk kasus teks, tulisan, ia bersyarat lain. Berefek lain.

*

“Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: LAWAN!” [Wiji Thukul]

“Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa.” [Milan Kundera]

“Didiklah rakyat dengan organisasi, dan didiklah penguasa dengan perlawanan.” [Pramoedya Ananta Toer]

Militansi dan heroisme tumbuh dari jargon dan slogan. Dangkal? Kekanak-kanakan? Tidak juga. “Hito no gendouryokutte taigai youchi nandenai no?”, ‘Bukankah hal kekanak-kanakanlah yang umumnya menggerakkan orang-orang?’, kata seorang middle-blocker tim bola voli SMA, Tendou Satori (Haruichi Furudate, Haikyuu!!). Tiga nama di atas beserta seruannya tak berhenti diulang-ulang sebagai bahan bakar aktivisme. Setelah militansi dan heroisme tersemai, kemudian apa? Jargon dan slogan itu harus tak sekadar berhenti di ‘didengar, dibaca, lalu terbakar’, tapi mesti dipikir-pikir.

Apa itu laku subversif? Mengapa dituduh subversif? Kenapa mesti dilawan? Lupa yang bagaimana yang dimaksud di situ? Apa hubungannya kekuasaan dengan lupa? Bagaimana kekuasaan membuat kita lupa? Bagaimana cara mengorganisir? Sikap etis macam apa yang perlu dibawa dalam laku berorganisasi? Bagaimana perlawanan mendidik penguasa? Dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang lebih sukar menunggu rumusan jawab.

Misalkan sudah terjawab, terus sudah? Belum. Pemahaman itu lalu dibawa ke kerumitan lain yang lebih, ialah realitas medan. Yang ide diboyong ke yang materi. Dari abstrak ke konkret. Di sinilah terjadi itu: apa yang kau pikirkan belum tentu menjadi, mesti diusahakan, dicari dibikin jalannya.

Bila satu hal belum selesai dibayangkan di kepala, bagaimana bisa ia luwes dalam gerak? Melangkah ke ‘keruwetan 3.0’ tanpa tuntas di 1.0 dan 2.0? Jangan bercanda!

Di situlah berbahayanya ‘kata-kata yang diirit-irit’ tadi. Ia bisa begitu saja diterima tanpa dipikir. Diamini bahkan sebelum dibayangkan. Didiktekan, macam imla, jadilah kedangkalan.

*

Edukasi, adalah upaya menarik keluar apa yang ada di dalam, kemudian mengembangkannya, membebaskannya. Bukan sekadar memasukkan apa yang dari luar ke dalam. Itu penetrasi—fase paska ereksi pra ejakulasi—, eh, indoktrinasi. Satu hal diberitahukan hanya untuk diamini. Penalaran berlebih tidak dikehendaki.

Banyak faktor yang bisa menyebab ini. Selain karena memang ada pengujar yang sengaja mengirit ujarannya, lebih penting dari itu, adalah kita, si penerima informasi. Membiasakan diri bergelut mematuhi hal-hal yang tekstual saja, hanya tentang dan seperti apa yang tertera tertulis saja, tanpa menyertakan penalaran kontekstual dan situasional, bikin Anda lebih berisiko diindoktrinasi. Efek itu bisa juga kena pada kita jika kita hanya mau membiasakan diri bergulat dengan hal-hal ideasional dan abstrak, serta menjauhkan diri dari yang konkret dan materiil.

Begitulah. Ia yang cerdas itu, yang sadar tak sadar punya banyak pengikut yang rela menunggui tiap katanya, dengan mengirit ujarannya—sengaja mengesampingkan eksplanasi yang perlu, sesungguhnya sedang menciptakan domba-domba penurut, yang rela membebek mengangguk menurut saja. Mereka yang hanya terus disuap tanpa ma(mp)u berpikir mandiri. Berhadapan dengan mereka tak seperti berhadapan dengan subjek berkesadaran, melainkan hanyameminjam Dietrich Bonhoeffer, seorang penentang Hitler—slogan dan semboyan-semboyan.

Outputnya, lahirlah—yang pernah saya temui misalnya—pemuda-pemuda yang tiap kali melihat ribut-ribut dalam kampus akan berseru: “Ini pasti settingan! Konspirasi!” Tapi begitu diminta jelaskan mengapa-bagaimananya settingan itu, tak mampu dia. Atau juga kawan-kawannya yang lain yang sering mengumpati kekejian birokrat kampus, rutin berseru ‘lawan’ dan ‘revolusi’, tapi diam tak berkutik begitu masuk ruang Komisi Disiplin.

Ilustrasi: http://harvardpolitics.com/harvard/47852/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *