”Weee Bajingan!”
“Laki-laki Brensek!”
“Kau kurang ajar!”
Tiga kalimat dari pesan WhatsApp dua malam yang lalu seolah mempertegas dan memberi gelar: bahwa kau adalah satu dari banyak lelaki buruk di zaman yang masih merendahkan kedudukan perempuan, sebagai makhluk lemah dan tak berdaya oleh nafsu lelaki. Tiga kalimat itu sedikit mengganggu konsentrasiku untuk menyelesaikan bacaan cerpen berjudul “Paloma”.
Membaca adalah salah satu caraku untuk sedikit melepas beban, tetapi Paloma justru mengajakku bercengkrama imajiner untuk membahas tentang arti kesetiaan. Paloma tetap bersetia meski kekerasan dan pengkhianatan menjadi santapannya setiap hari terhadap lelaki yang telah memilihnya sebagai istri. Puncaknya adalah setelah kebenaran masa lalu terungkap sendiri oleh suaminya melalui foto-foto kemesraan Paloma bersama perempuan. Iya, Paloma adalah seorang lesbi di masa lalu dan mencoba menghapusnya di masa depan dengan kesetian tanpa syarat. Gugatan cerai suaminya mengakhiri kesetiaan tersebut, dan Paloma akhirnya tersenyum dan berkata, “Tuhan telah membebaskanku dari jerat lelaki yang tidak dewasa ini.”
Setelah bebas, aku pun memulai percakapan awal dengan Paloma. “Aku berbeda dengan suamimu Paloma, aku hanya ingin berdamai dengan masa lalu dan masih belajar setia,” ungkapku dengan kalimat datar tanpa ekspresi.
Paloma sejenak menghela nafas dan mencoba untuk bijak menanggapi. “Hey Lelaki, sesungguhnya perempuan yang kuat akan mendapatkan lelaki yang baik dan lelaki yang baik belum tentu baik di mata perempuan.” Tuturnya dengan halus. Aku hanya diam dan tak menjawabnya dengan pembelaan.
Dan betul, Paloma telah meninggalkan masa lalunya dan menjadi dewasa karena mencoba untuk bersetia. Sementara aku beberapa minggu terakhir dibunuh oleh tulisan masa lalu. Puncaknya, aku pun menemui masa lalu dengan harapan untuk mengajaknya berdamai dan berhenti mengumbar kebencian masing-masing. Sebelum bertemu, telah aku pastikan bahwa aku juga telah membunuh cintanya dalam hatiku.
Setelah pertemuan itu—yang aku dapatkan jauh dari kata berdamai bahkan lebih dari kebencian itu sendiri—bersama dengan manusia-manusia yang terus mengumpat dan mengeluarkan kata kotor kepadaku. Sepertinya mereka tidak akan puas dengan penghakiman seperti itu.
Aku ceritakan semua kepada Paloma sebelum dia memutuskan untuk pergi dalam pertemuan imajiner ini. Terakhir Paloma hanya menyampaikan pesan singkat sebagai kata-kata perpisahan. “Akibat terjadi karena adanya sebab dan mencari sebab bukan mencari salah benarnya tetapi mencoba untuk menjadi adil.”
“Ah, kata-katamu Paloma rumit dimaknai, seperti filsuf-filsuf yang lebih banyak menyendiri.” Balasku dengan sedikit kesal.
***
Seminggu kemudian, menanti cerpen tentang Paloma seperti menunggu dalam ketidakpastian. Tak ada lagi percapakan imajiner tentang Paloma. Sore ini terasa cuaca lebih bersahaja setelah beberapa hari hujan mengguyur kota yang hanya memiliki 8 persen Ruang Terbuka Hijau (RTH) dari yang seharusnya merujuk pada aturan minimal 30 persen.
“Wajar saja banjir di mana-mana, toh kota ini adalah binal penuh nafsu membangun hutan beton.” Umpatku, sedikit kesal dalam hati.
Dua jam lamanya aku bercengkrama dengan puluhan mahasiswa dalam sesi acara pelatihan advokasi di salah kampus tertua di kota ini dan bergegas pergi menuju perpustakaan Komunitas Ruang Abstrak. Rasanya aku sudah mulai tenang kembali dari penghakiman dan memulai aktivitas seperti biasanya. Dalam perjalanan, aku tersenyum kecut mengingat salah satu peserta mahasiswa datang menemuiku setelah diskusi berakhir, Namanya Tari, dia justru curhat kepadaku dengan keadaannya yang dilematis.
“Kak, sebenarnya saya sangat ingin menjadi bagian dari setiap advokasi-advokasi yang perjuangankan hak-hak masyarakat marjinal. Terutama ketika itu menyangkut tentang isu-isu perempuan seperti kekerasan seksual dan diskiriminasi perempuan dalam kehidupan bermasyarakat, tetapi bulan depan saya akan menikah dengan salah satu lelaki yang berprofesi sebagai tentara dan pastinya dituntut harus patuh dan taat pada perintah suami.”
“Itu lelaki pilihanmu Tari?” Jawabku balik dengan pertanyaan.
Tanpa mesti merasa malu privasinya dipertanyakan, Tari menjawab dengan mimik wajah yang sedih.
“Bukan Kak, ini pilihan sulit karena menyangkut pilihan keluarga dan saya telah berjanji dengan calon suami setelah menikah hanya akan fokus mengurusi rumah tangga dan menjadi istri yang patuh. Tetapi, jujur saya pasti akan terbatasi dan tidak akan bisa melawan keinginan hati.”
“Apakah ada solusi atau saran kepada saya Kak?”
Di motor aku masih membayangkan bagaimana respon Tari dan penilaiannya terhadapku dari apa yang kusarankan kepadanya. Sedikit konyol mungkin menurutnya karena dari masalahnya yang berkaitan dengan pertentangan nurani yang ingin memberontak. Tetapi tak bisa berbuat banyak. Justru aku menyarankan agar Tari lebih banyak lagi membaca, menulis, dan berdiskusi. Terutama yang berkaitan dengan isu-isu perempuan.
Mengakhiri percakapan dengan Tari, aku memberikannya buku yang sebenarnya tinggal sedikit lagi selesai aku baca. Yah, ini menurutku bentuk rasa empati kepadanya. Buku Gadis Pantai karya Pramodya Anantatoer kini telah menjadi milik Tari. Buku yang mengkritik sistem feodalisme dan budaya patriarki di Jawa. Maaf Tari hanya itu yang bisa kuberikan dan semoga buku itu bisa berguna buat kehidupannmu Tari!
Melintasi kolong Fly Over aku memperlambat laju motorku. Terlihat puluhan orang yang lebih banyak didominasi perempuan melakukan aksi demonstrasi dengan pengawalan lebih banyak dari aparat kepolisian. Salah satu poster aksi dengan tulisan yang besar menarik perhatianku. “LGBT juga punya hak hidup yang sama sebagai warga negara”. Di pikiranku langsung teringat Paloma yang masa lalunya adalah lesbi. Dan andai saja Paloma ada dalam kenyataan aku membayangkan Paloma memegang Megaphone, berorasi juga menyuarakan masa lalunya tetapi bukan untuk kembali ke masa lalu.
***
Butuh waktu sekitar setengah jam untuk sampai di perpustakaan dengan kecepatan laju motorku yang hanya 40 km/jam. Melambat karena macet dan banyak pikiran yang hinggap dalam perjalanan. Perpustakaan nampak sepi, hanya Bento salah satu pustakawan yang lagi asyik menonton film di laptopnya.
“Ben, minta tolong ambil gitar dan mainkan instrumen melodi seperti biasa.”
“Hahaha, siap Kak!”
Ben sudah tahu apa maksudku. Aku pun langsung mengambil satu buku kumpulan puisi Nyanyian Seribu Jiwa karya Muh Ferdhiyadi N dan membacakan satu puisinya.
Lelaki Baik Itu
Lelaki baik itu tidaklah melukai..
Lelaki baik itu tidaklah membohongi..
Lelaki baik itu tidaklah mengumbar janji..
Lelaki baik itu tidaklah memperdayai..
Lelaki baik itu adalah bertanggungjawab..
Lelaki baik itu adalah berpengetahuan..
Lelaki baik itu adalah bekerja keras..
Lelaki baik itu adalah bersikap tegas..
Lelaki baik itu bukan saya..
Lelaki baik itu hanya ada dalam mimpi dan harapan setiap perempuan..
Apa yang lebih melegahkan setelah membaca puisi? Penting atau tidaklah penting ingin kusampaikan kepada kalian berdua. Paloma dan Tari bahwa saat ini aku belajar untuk menjadi lelaki baik dan bersetia bersama dengan perempuanku saat ini.
Makassar, 4 Maret 2016
Ilustrasi: https://id.pinterest.com/pin/471822498438883892/
Bercita-cita menjadi Power Ranger Merah. Saat ini aktif sebagai Pustakawan di “Ruang Abstrak Literasi”. Fans PSM Makassar dan Inter Milan. Senang membaca, berdikusi dan jalan-jalan.