Kemarin saya diminta oleh panitia LK 2 Psikologi UNM membawakan materi tentang ‘Hegemoni Media’[. Kegiatan yang bertempat di STIE AMKOP Makassar menghadirkan beberapa pemateri yang punya perjalanan dan karya intelektual yang begitu berpengaruh. Tersebutlah nama besar seperti pak Alwy Rahman, Alto Makmuralto, Bahrul Amsal sampai Aan Mansur. Sedangkan saya – Syahrul Al Farabi – sama sekali jauh dari hal itu. Oleh sebabnya, sampai sekarang, saya masih bertanya-tanya, atas dasar apa si panitia ikut menyelipkan nama saya di sana?
Tapi saya sudah jadi bubur. Eh, maksud saya, nasi sudah jadi bubur. Saya mengikuti permintaan teman-teman panitia. Dengan demikian, sejak empat hari yang lalu , saya disibukkan bertanya sana sini kepada senior dan membaca beberapa buku terkait ‘Hegemoni Media’. Sebutlah misalnya Eriyanto dengan Analisis Wacana-nya, Franz Magnis Suseno Dalam Bayang-bayang Lenin, dan beberapa artikel tentang framing dan teori kritis. Itulah sedikit modal dasar saya bicara di depan teman-teman mahasiswa Psikologi. Dan supaya ndak malu-maluin amat, saya sertakan juga beberapa keping tulisan di bawah ini tentang Hegemoni, yang saya beri judul ‘Iman kepada Media’.
*
Iman adalah kata yang digunakan untuk menggambarkan sebuah ketundukan kepada Tuhan yang Maha Esa. Iman menjadi sebuah sistem kepercayaan yang hendak mendeklarasikan sebuah kebenaran pada sesuatu yang Transenden. Hari ini kita menyebutnya Tuhan. Segala sistem kepercayaan ini didasarkan pada teks kitab suci (Al Qur’an) ataupun Sunnah Rasul. Dari sanalah segala informasi kepercayaan dijadikan dasar hingga akhirnya dipercaya, diyakini, dan jadi pedoman hidup hingga akhir zaman.
Nah, di era modern seperti saat sekarang, di mana teknologi semakin berkembang, cepat, dan canggih, iman telah mengalami pergeseran. Kalau sebelumnya kita menyandarkan segala sistem kepercayaan (iman) kepada kitab suci dan segala tingkah laku Rasul, hari ini mungkin iman telah bergeser kepada ‘sebuah alat’ yang bisa mendefinisikan tentang dunia dan segala isinya ; Media. Melalui alat baca inilah, sebuah ideologi ataupun ajaran disisipkan untuk diyakini seperti wahyu yang diturunkan oleh Tuhan dari langit. Seperti sebuah kebenaran, yang tak punya cela dan cacat untuk dikritik lagi. Selesai. Final dan objektif. Dengan demikian, kita hanya butuh tunduk dan patuh.
Saya lebih senang menyebut bentuk kepercayaan (iman) di atas sebagai bentuk hegemoni. Pada poin ini, kita harus berkenalan dengan Gramsci. Laki-laki bongkol dari pulau Sardinia ini “membangun sebuah teori yang menekankan bagaimana penerimaan kelompok yang didominasi terhadap kehadiran kelompok dominan berlangsung dalam suatu proses yang damai, tanpa tindakan kekerasan” (Eriyanto, hal.103). Pada tahap ini media bekerja, bagaimana dia (media) menguatkan posisi sebuah kelompok dan merendahkan kelompok lain.
Masih menurut Gramsci, kekuatan dan dominasi kapitalis tidak hanya menguasai melalui dimensi material dari sarana ekonomi dan relasi produksi, tetapi juga melalui kekuatan (force) dan hegemoni. Yang pertama menggunakan daya paksa lewat aturan-aturan yang mengikat untuk ikut dan patuh atas segala syarat atau nilai-nilai tertentu, yang kedua lebih bersifat ‘sukarela’. Gramsci menyebutnya sebagai ‘kepatuhan aktif’ dari kelompok-kelompok yang dikuasai. Penguasaan ini, bisa dengan jalan politik, kepemimpinan intelektual, moral sampai agama. Ciri dari hegemoni ini adalah ia menciptakan cara berpikir yang dominan, rasional, paling benar, dan menegasi kelompok lain.
Demikianlah ritual hegemoni itu lahir. Ia berjalan melalui proses yang halus dan tampak wajar. Semua orang menganggapnya benar dan tidak usah dipertanyakan lagi. Media adalah dunia yang menjadi lahan subur berkembangnya ritual hegemonik tersebut.
*
Secara umum, media dalam menyebarkan doktrinnya menggunakan medium/pemakaian bahasa. Bahasa menjadi representasi dari kenyataan atau sebuah peristiwa. Mohammad A.S Hikam melalui ‘mulut’ Eriyanto membaginya dalam tiga cara pandang. Pandangan pertama diwakili oleh kaum positivisme-empiris. Menurut pandangan ini, bahasa dilihat sebagai perantara antara manusia dan objek di luar dirinya. Bahasa yang memuat pernyataan-pernyataan logis, sistematis, dan terukur adalah bahasa yang tidak butuh lagi tafsir yang sifatnya subjektif. Bagi penganut paham ini, benar dan salah hanya dilihat dari bangunan semantiknya.
Pandangan kedua disebut sebagai konstruktivisme yang punya persinggungan dengan fenomenologi. Aliran ini menolak positivisme-empiris yang memisahkan subjek dan objek bahasa. Konstruktivisme menganggap subjek (dalam hal ini si penyampai berita) punya peran sentral. Alasannya, subjek memiliki kemampuan kontrol terhadap setiap kepentingan/maksud dalam setiap wacana. Namun bagi saya , subjek dan bahasa secara bersama-sama punya peran sentral dalam pembentukan wacana. Lewat medium bahasalah segala kepentingan mewujud dan jati diri subjek terepresentasikan.
Pandangan kritis menjadi pandangan ketiga yang mengoreksi pandangan konstruksivisme. Apa yang menjadi kritik adalah hubungan proses produksi dan reproduksi wacana yang tidak berimbang, baik secara historis maupun institusional. Dengan demikian, pandangan ini tidak hanya melihat hubungan tata bahasa, pernyataan-pernyataan, ataupun makna yang punya tujuan tertentu, tetapi lebih jauh menganalisis konteks dan praktik kekuasaan.
*
Analisis Wacana Kritis
Bagaimanakah sebaiknya berhadapan dengan berbagai macam wacana yang diproduksi oleh media? Itu adalah pertanyaan umum yang hadir dari diskusi LK2 kemarin. Oleh sebabnya, saya hanya menyarankan untuk bersama-sama membaca dua alat analisis. Yang pertama adalah Critical Discourse Analisis atau Analisis Wacana Kritis dan kedua Analisis Framing. Namun, pada tulisan ini, saya tidak akan menyinggung perihal ‘framing’. Selain kekurangan referensi, konsep framing terbilang detail dan spesifik menganalisis media dalam memilah dan memotong realitas, yang kemudian akhirnya melemparnya ke publik. Sedangkan untuk teori analisis wacana kritis, saya hanya akan menyinggung teori Fairclough dari sekian banyak teori yang ada.
Menurut Fairclough, analisis wacana kritis melihat wacana – pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan – sebagai bentuk dari praktik sosial (Eriyanto, hal 7). Sebagai praktik sosial, wacana menjadi semacam diskursus berhadapan dengan segala situasi, institusi ataupun struktur sosial di masyarakat. Pada tahap ini, Fairclough mengintegrasikan analisis wacana berdasarkan linguistik dan pemikiran sosial-politik demi perubahan sosial. Melalui model ini, Fairclough berusaha melihat bagaimana sebuah wacana terbentuk dan bagaimana semaksimal mungkin menggunakan wacana tersebut sebagai alat perubahan sosial.
Ada tiga dimensi penting dalam teori Fairclough : text discourse practice, dan sociocultural practice. Teks dianalisis secara linguistik, misalnya kosakata, aturan penggunaan kalimat ataupun tata bahasa. Analisis ini bertujuan melihat hubungan linguistik dan semantik yang kemudian membentuk suatu pengertian sehingga menunjukkan muatan ideologis tertentu.
Berbeda dengan teks, discourse practice melihat bagaimana sebuah teks diproduksi dan dikonsumsi. Setiap teks ataupun wacana punya pola yang berbeda dalam proses produksi. Pola ini punya mekanisme yang spesifik dan teratur di mana setiap wartawan mesti mengikuti pola ini. Demikian juga dengan pola konsumsi teks akan berbeda berdasarkan konteks sosial. Seorang petani akan punya kecenderungan membaca berita yang berbeda dengan seorang politisi di perkotaan.
Sedangkan sociocultural practice lebih menekankan pada segala konteks di luar teks. Segala kejadian atau peristiwa di luar teks sangat mempengaruhi bagaimana sebuah teks dibangun. Menurut Fairclough, kondisi sociocultural ini mempengaruhi teks secara langsung namun tetap dipengaruhi atau dimediasi dalam pola hubungan discourse practice. Misalnya bagaimana sebuah teks harus diproduksi ataupun bagaimana wajah masyarakat yang akan mengonsumsi berita tersebut.
Demikian sebagian catatan kecil dari teori Fairclough. Karangan sederhana ini hanya mewakili satu dari sekian banyak teori tentang analisis wacana kritis. Buku yang bisa menjadi pengantar adalah Eriyanto Analisis Wacana ataupun Analisis Framing. Buku Idi Subandi Ibrahim yang menulis Budaya Populer sebagai Komunikasi atau Deddi Mulyana yang menulis Bercinta dengan Televisi. Beberapa buku tersebut cukup komprehensif dalam mengkaji ‘Analisis Wacana’.
Sebagai penutup, penting sebagai pembaca untuk senantiasa mengambil jarak dan curiga pada setiap teks yang lahir dari rahim seorang penulis. Kecurigaan ataupun daya kritis ini bisa dalam bentuk opini yang cerdas dalam melihat dan membaca segala bentuk wacana yang hegemonik. Kecurigaan dan daya kritis ini juga diharapkan melahirkan fungsi batas faktual, dalam bahasa St. Sunardi, semacam pelampauan positivitas (text) menuju after-humanistic.
Trims.
Ilustrasi: https://digitalculurejamrhetorics.wordpress.com
Pernah Aktif di Ikatan Pelajar Muhammadiyah Takalar. Laki-laki penyuka kopi dan buku.