Bunyi hentakan petasan mengguruhi telingaku. Sepertinya, sumber suara itu berasal dari sebelah timur rumahku. Suara-suara keras itu mulai menabrak kesunyian kampung halamanku—tepatnya Desa Bojong Hejo, Bandung.
Kulangkahkan kakiku menuju jendela kamarku, menatap kerumunan orang-orang yang membawa baki, beberapa di antaranya membawa sebuah parcel—tepatnya parcel pisang tanduk yang berukuran cukup besar. Sepertinya, mereka adalah rombongan keluarga dan besan.
Suara bising irama dangdut juga tidak kalah keras, merambat menusuk pendengaranku. “Ummi! Itu teh[1] yang hajatan siapa sih? Berisik banget. Nggak tahu apa Neng[2] lagi sakit gigi. Mana suara musik dangdutnya nyaru[3] banget lagi.” Aku hanya menggerutu kesal lantaran suara yang bising itu. Suara yang mengganggu keadaanku yang menahan rasa sakit—sudah berhari-hari gigi ini tidak bias diajak berkompromi.
“Itu teh yang hajatah si Teteh Erna,” sahut Ummi-ku sembari menyodorkan sebuah amplop. Saya hanya meraih amplop pemberian Ummi,
“Maaf yah, Neng. Ummi baru nyampein[4] surat undangan ini. soalnya Ummi lupa. Dia ngundang kamu loh buat datang ke pesta pernikahannya,” lanjut Ummi menyambungkan percakapan yang sempat terpotong tadi.
“Apa?! Yang lagi nikahan itu Teteh Erna? Dia kan baru saja tamat SMA.” Sejenak kutatapi amplop itu—yang pastinya amplop itu berisi sebuah undangan pernikahan. Saya masih heran saja, kok Teteh Erna mau menikah muda? Usianya saja baru 17 tahun.
“Ih duka atuh! Jung lah geura mandi, saentos eta rarapih jeung kunjungan ka bumi tatangga,[5]” ucap Ummi dengan bahasa Sundanya yang begitu khas. Ia kemudian berlalu tanpa menggubris rasa penasaranku terhadap pesta pernikahan Teteh Erna.
Saya hanya diam sesaat, sembari memerhatikan undangan pernikahan Teteh Erna,tetangga sekaligus karibku, yang akan bersanding dengan mempelai pria yang tak kukenal. Kang[6] Dodi. “Kok Teteh Erna mau yah nikah muda? Bukankah Teteh Erna mau kuliah? Sayang kan otaknya yang encer itu tidak dimanfaatin,” gumamku pada diri sendiri. Kemudian melangkahkan kakiku menuju kamar mandi sembari menahan rasa nyeri akibat sakit gigi yang mendera.
***
Di depan cermin, kutatap wajahku yang telah mengenakan riasan wajah. Sembari memberikan perona merah pada kedua pipiku, pikiranku melayang pada Teteh Erna. Karibku yang begitu cantik. Wajahnya khas mojang Sunda.[7] Memang sih, bukan urusanku untuk mencampuri terlalu dalam urusan Teteh Erna. Menikah di usia muda juga tidak ada salahnya. Tapi kan, konsekuensinya pasti Teteh Erna harus mengubur impiannya untuk kuliah di kota. Bukankah Teteh Erna sudah berjanji untuk kuliah di kota bersama-sama?! Bersama dengan karibnya ini.
Kuambil gincu bewarna merah yang terletak di atas meja riasku. Kuolesi setiap sudut bibirku sembari mengingat kejadian sesaat setelah pengumuman kelulusan di SMA.
“Neng sudah lihat pengumuman?” sahut Teteh Erna kepadaku. Usianya setahun lebih muda dariku. Walaupun demikian, Teteh Erna sudah kelas dua belas SMA. Maklum saja, gadis paling cantik se SMA ini terkenal berotak sangat encer. Teteh Erna mengikuti program akselerasi saat SMP. Jadinya ia hanya bersekolah di SMP selama dua tahun.
“Udah Teteh Erna. Saya lulus, kalau Teteh gimana? Pasti lulus dong,” sahutku kepadanya. Ia hanya mengangguk. Lantas kami berjalan menuju taman sekolah. Melepaskan penat setelah melalui Ujian Nasional yang begitu menegangkan.
“Neng, setelah ini. Mau lanjut kuliah di mana?”
“Lanjut kuliah? Hmmm… entahlah? Kalau Teteh sendiri ada niatan tidak untuk kuliah?”
“Iya tuh, Neng ada pastinya. Saya mau kuliah di kota. bagusnya, kita kuliah bareng aja Neng. Giamana? Mau kan?!”
“Wah, kalau sama Teteh Erna pastilah Neng mau. Kan asyik kalau bareng terus.”
“Janji?!”
“Iya, janji.” Kami pun saling menautkan jari kelingking satu sama lain, sembari tertawa bersama desiran angin.
***
Suara petasan kembali terdengar, pertanda kenduri pernikahan Teteh Erna semakin ramai. Bersama Ummi dan Abah kulangkahkan kakiku menuju kediaman Teteh Erna yang begitu ramai. Para sanak famili dan handai taulan berdatangan. Makin malam semakin meriah. Kulirik arloji yang melingkar telah menunjukkan pukul 20.00.
Setelah suara petasan, giliran hentakan musik dangdut yang menyambut kedatangan para tamu undangan. Termasuk saya, Ummi dan Abah.
Di bawah tenda biru, dengan gemintang lampu-lampu pernikahan. Dan ornamen khas Sunda. Membawa suasana yang begitu khidmat dan sakral. Namun berbeda dengan kedua mempelai. Dari jarak yang cukup jauh, nampak roman wajah Teteh Erna yang gundah gulana. Seyogianya kedua mempelai berbahagia, namun entah mengapa suasana di pelaminan itu begitu dingin.
Sebelum Abah dan Ummi menuju pelaminan, saya lebih dahulu mencegah mereka. Untuk memberikan kesempatan pada diriku untuk berswafoto ria dengan kedua mempelai.
“Wah selamat yah Teteh,” sahutku. Kulihat Teteh Erna mencoba memaksakan senyuman. Sama halnya mempelai pria—Kang Dodi. Kulihat wajahnya begitu masam. Ia mengumbarkan senyuman yang kecut kepadaku.
Saat kupandangi bola mata Teteh Erna. Ada beningan mata yang coba ia tahan. Saya hanya mendesah pelan. Kami pun akhirnya berfoto bersama. Abah, Ummi, Neng, dan kedua mempelai.
***
Malam semakin larut, semakin ramai kenduri pernikahan Teteh Erna dan Kang Dodi. Saya mengambil deretan kursi paling belakang. Sedangkan di sebelah kiri tempat dudukku, kulihat kerabat dekat Teteh Erna. Mereka nampak begitu asyik mengobrol. Suaranya timbul tenggelam dengan suara musik dangdut yang memeriahkan pernikahan ini. Cukup jelas telingaku menangkap obrolan mereka.
“Kasian, yah si Teteh Erna?”
“Naha atuh kasian[8]?”
“Kasihanlah, Teteh Erna harus mengubur impiannya untuk kuliah, lantaran Abahnya[9]
kelilit utang. Makanya, ia di jodohin sama Kang Dodi—anak rentenir itu.”
“Ah, yang bener Jeng?!”
“Iya…!”
Saya hanya menghela nafas panjang, mendengar pembicaraan mereka. Lamat-lamat suara musik dangdut kembali terdengar, kini Sakit Gigi milik Meggy Z yang menggema.
Ilustrasi: www.novelrw.com/
Catatan Kaki:
[1]Teh ( suatu panggilan kakak untuk anak perempuan)
[2]Neng ( suatu panggilan untuk anak perempuan)
[3]Nyaru (sangat terdengar)
[4]Nyampein ( menyampaikan)
[5]Ihduka (tidak tau) atuh! Jung lah (cepatlah) geura mandi, (cepat mandi) saentos eta (selepas itu) rarapih jeung (rapi-rapi untuk) kunjungan ka bumi tatangga (kunjungan ke rumah tetangga)
[6]Kang ( panggilan kakak untuk anak laki-laki)
[7]Mojang Sunda (khas Sunda)
[8] Naha atuh (kenapa dong)
[9]Abah ( ayah)
Siswi kelas XI Jurusan ilmu-ilmu sosial MAN 1 Kota Tanggerang Selatan. Penulis mulai menyukai Hobi menulis sejak duduk di kelas X. Sekarang sedang terus belajar dalam mengayomi hobi menulis sebagai salah satu potensi. Ingin tulisan-tulisannya memberikan manfaat untuk sesama.