Teruntuk Pak Bahri.
Sore itu, salah satu kawan sejawat menyampaikan suatu iktibar, sebuah pengabaran dari salah seorang guru besar di kampus tempatku menuntut ilmu. “Bung dipanggil oleh Bunda.” Begitulah bunyi kabar itu.
Sebagai mahasiswa yang baik dan juga sebagai penghormatan pada orangtua di kampus, maka kabar itu segera kutunaikan, bersegera menuju ruangan Bunda—panggilan para mahasiswa terhadap guru besar itu.
Setelah menembus brikade hujan—saya duduk mantap di kursi empuk di dalam ruang kerjanya. Mataku mengudara pada seisi ruang kerja itu. Terdapat lukisan perempuan Bugis yang mengenakan baju bodo sedang menari dengan begitu anggun, terdapat pula sebuah foto yang menampilkan kebersahajaan keluarga sang guru besar. Dan yang membuat mataku berbinar adalah sebuah lukisan perempuan berusia senja dengan roman wajah yang begitu teduh—yang sedang duduk bersandar pada kursi yang terbuat dari kayu-rotan. Di bawah bingkai lukisan itu terukir nama yang sangat familiar bagiku. Colliq PujiE. Perempuan yang paling berjasa dalam menghimpun manuskrip I Lagaligo.
Setelah puas mengagumi lukisan itu, kini pandanganku beralih pada sosok perempuan yang berdiri menghadap jendela. Dialah sang guru besar yang memanggilku. Para civitas academica mengenalnya sebagai Prof. Kesuma—tetapi lebih senang memanggilnya, Bunda—guru besar bidang Antropologi dan Sejarah.
Cukup lama Bunda memandangi suasana kota yang terbingkai dalam jendela. Mungkin beliau sedang asyik menikmati suasana kota yang sendu karena guyuran hujan. Sesaat kemudian, Bunda melangkahkan kakinya menuju kursi yang terletak di balik meja kerjanya. Sejenak ada sunggingan senyuman di roman wajahnya, kemudian mempersilakan saya untuk meminum teh yang entah kapan sudah tersaji di depanku.
“Silakan diminum, Nak,” sahutnya singkat mempersilakan.
Saya hanya mengangguk kemudian mengucapkan terimakasih, lalu menyeruput teh tersebut.
“Bagaimana kuliahmu?” tanya Bunda kepadaku, sebuah pertanyaan yang terbilang wajar bagi seorang dosen sekaligus pendamping akademikku.
“Yah Alhamdulillah, Bunda,” jawabku singkat. Walaupun sesungguhnya, ada kerundungan dalam hatiku karena keteteran mengurus penelitian skripsi.
Kulihat Bunda menghela nafas panjang, ada guratan kekhawatiran pada roman wajahnya. Yah, mungkin karena status mahasiswaku yang memasuki tahun ke enam. “Saya tahu kamu pintar. Tapi jangan juga kamu berlama-lama di kampus, kasihan orangtuamu memeras keringat di kampung untuk membiayai kuliahmu.”
Saya hanya berujar ‘iya’ dengan lirih sembari menganggukkan kepala sebagai penegasan jawabanku terhadap pendamping akademikku itu. Entah sudah berapa kali pertanyaan itu ditujukan kepadaku, seingatku pertanyaan itu sering muncul ketika menginjakkan kaki di semester VIII. Kupandangi cangkir teh yang masih tersisa tiga perempat. Entah mengapa, pertanyaan dari dosenku itu menusuk sukmaku, mungkin karena suasana sendu karena hujan ataukah karena bayangan ibuku terpampang jelas di permukaan air teh yang bewarna merah pekat itu. Sontak saja ingatanku melayang ke kampung halamanku. Bone.
“Nak, kamu kuliah yang rajin di Ujung Pandang, belajar yang baik. Jangan lupa salat mu, dan jangan lupa untuk menghormati dosen-dosen mu. Bagaimanapun dia adalah orangtuamu di perantauan.” Begitulah ucapan Indo sebelum melepaskan kepergian anaknya berguru di Universitas Jingga. Saya hanya mengangguk mendengar ucapan Indo. Beliau kemudian mengecup keningku. Lalu, kakiku sudah menjajaki anak tangga bus yang akan membawaku ke kota.
“Kamu sudah semester XII, tahun ini sudah tahun ke enam kamu menjadi mahasiswa. Saya tahu kamu aktif di organisasi dan berorganisasi itu penting. Tapi jangan lupa juga kewajibanmu yang utama. Ingat, di pundak kananmu masih ada impian dan harapan orangtuamu.” Bunda menasihatiku dengan nasihat yang sering kudengar sejak semester VIII. Mendengar nasihat itu, saya lebih memilih diam sembari menyunggingkan senyuman—yang serasa senyuman dipaksakan.
Kuseruput kembali teh yang tersaji di hadapanku, kini telah tersisa seperduanya. Sayup-sayup terdengar suara hujan dan gemuruh angin kencang, kualihkan pandanganku sejenak pada jendela kaca yang bersenandung ria bersama butiran-butiran hujan.
Suasana hujan seperti ini mengingatkanku pada masa liburan, tatkala perkuliahan di semester VII telah usai. Kakiku kembali menginjak Bone, merasakan terpaan hujan dan menyusuri pematang sawah menuju rumah. Di ujung aliran sungai Tangka yang mengairi hamparan sawah, kulihat Indo sedang berjibaku dengan butiran-butiran hujan serta hamparan sawah yang basah. Perempuan yang usianya sudah sangat senja itu masih saja bekerja, menanam bibit-bibit padi. Entah dorongan apa sehingga ada beningan mata yang luruh tatkala melihat tubuh ringkih Indo masih saja mengais rezeki di sawah itu.
“Indo!” Seruku kemudian menghampirinya. Perempuan berumur senja yang melahirkanku itu menoleh ke arahku, di wajahnya memancarkan binaran kasih sayang dan senyuman menawan.
“Kenapa hujan-hujan begini Indo masih turun ke sawah? Nanti Indo sakit.” Indo hanya tersenyum mendengarkan penuturan anaknya yang sangat khawatir.
“Tidak apa-apa, Nak. Semua ini Indo lakukan untuk mencari uang, untuk mebiayai kuliahmu.” Ucapan Indo yang loncat dari mulutnya ibarat bedil yang terlontar, menusuk ulu hati dan menghantam sukmaku. Saya hanya merasakan desiran hebat di dadaku. Tidak hanya saat itu kumenemukan Indo membanting tulang demi membiayai kuliahku, pernah satu masa tatkala kesulitan membayar SPP, Indo pergi bertandang ke kediaman Haji Andir bermaksud berutang. Sontak saja niatan itu kucegah, maklum Haji Andir terkenal sebagai ulara’—ejekan untuk rentenir—di kampungku.
“Tidak usah Indo berutang ke Haji Andir, uang riba kita’ terima Indo. Lebih baik saya cuti kuliah saja.”
Tetapi bukan Indo namanya kalau tidak bisa memecahkan suatu permasalahan, apalagi masalah anak semata wayangnya. Tatkala hari-hari terakhir pembayaran SPP, Indo memberikan satu ikat uang bergambar Bung Karno. Jumlahnya sekira sejuta. Belakangan ku tahu Indo menjual salah satu petak sawah peninggalan Ambo yang berada di sebelah utara sungai Tangka’.
Hujan semakin menggila di luar, gemuruh guntur bersahut-sahutan, seolah langit ingin runtuh. Kembali, kudengar wejangan dari pendamping akademikku. Sedangkan diriku mencoba menghangatkan tubuh dengan menyeruput teh yang mulai dingin.
“Sekali lagi, bukan bermaksud melarangmu untuk berorganisasi, tetapi kamu harus mengingat, bahwa ada keringat mungkin juga darah dan air mata yang mengalir dari kampung halaman untuk membiayai kuliahmu. Setidaknya kamu harus ingat perjuangan orangtuamu itu.”
“Iya Bunda, terimakasih.”
“Tahun ini kamu harus memakai toga, kamu harus tahu bahwa hanya itu yang ingin dilihat oleh orangtuamu, membanggakan beliau dengan prestasi putranya.”
Percakapan itu pun berakhir, saya masih menyempatkan menenggak habis teh yang diasjikan, kemudian melangkahkan kaki keluar ruang kerja Bunda, dosen sekaligus pendamping akademikku. Kususuri koridor gedung kampus yang di sebelah kanannya penuh dengan jendela, saya masih menyempatkan memandangi hujan di luar sana, sembari mengingat-ngingat kembali nasihat terakhir dari Indo. “Nak, jikalau kau dirundung kesulitan di perantauan, jikalau hatimu tidak lapang karena kesusahan, ingat pesan leluhurmu. Resopa temmangingi namolomoi, naletei pammase dewataE. Pasti akan ada kemudahan jalan untukmu, Nak.”
Saya hanya mendesah pelan, sembari menatap buliran hujan yang menerpa. Ah, apa yang dilakukan Indo yah? Mungkin saat ini, di selatan sungai Tangka, Indo sedang bergumul dengan hujan, hamparan sawah, dan dekapan udara yang begitu dingin. Gumamku kemudian berlalu. Di luar hujan semakin menggila….
Sungguminasa – Perpustakaan Umum UNM. 2 Februari – 8 Maret 2017.
Ilyas Ibrahim Husain adalah nama pena dari Adil Akbar. Alumni S1 dan S2 Pendidikan Sejarah UNM. Pernah menjadi guru di SMAN 1 GOWA dan SMAN 3 MAKASSAR. Pun mengajar di SMAN 2 MAKASSAR dan SMKN 10 MAKASSAR