Mendengarkan Perempuan

“Jalan menuju ke hati wanita adalah melalui telinga.” – Voltaire

Kita terlalu sering menghukumi perempuan baik secara langsung maupun dari obrolan-obrolan ringan di meja-meja warung kopi. Menjadikan perempuan sebagai objek, bukan sekadar melihat kecenderungan perempuan dalam budaya patriarki, ataupun branding. Menjadikan perempuan sebagai objek bahkan sering kita lakukan dalam budaya diskusi, bahasa sehari-hari, pun dalam tulisan ini—jika kita benar-benar menjadikan kata ‘objek’ sebagai landasannya.

Misalnya, ketika kita duduk dalam sebuah diskusi tentang perempuan dengan sangat khidmat. Kemudian beberapa pembicara dengan nada yang agak tinggi mulai berorasi tentang bagaimana perempuan-perempuan mengalami diskriminasi. Kita sebagai pendengar akan merasa kasihan, atau barangkali marah—apalagi ditambahkan dengan ilustrasi berupa kejadian-kejadian yang pernah menimpa perempuan. Rasa marah pun kasihan yang tercipta, membuat perempuan kembali menjadi objek yang harus dikasihani ataupun dibela. Jika sudah seperti ini, perempuan akan tetap selamanya menjadi makhluk inferior.

Dalam bahasa sehari-hari, kata perempuan seringkali dijadikan sebuah lelucon ataupun ejekan. Misalnya ketika beberapa lelaki dan perempuan sedang semenonton Film Korea, lalu tiba-tiba terdengar suara isak tangis oleh seorang laki-laki di antara kerumunan, dengan nada mengejek, seorang temannya mengatakan,”Deh, menangis bede’, kayak perempuan saja.” Parahnya, yang mengejek bukan hanya laki-laki. Tetapi perempuan pun mengatakan hal yang sama kepada laki-laki yang menangis itu. Tentu ini menegaskan bagaimana lagi-lagi perempuan menjadi objek bahkan dari bahasa sehari-hari, bahkan ia—perempuan—sendiri yang melanggengkan ini.

Seharusnya, perempuan mulai bersiasat untuk menjadikan dirinya sebagai subjek. Perempuan harus bisa menyelamatkan dirinya sendiri. Kita tidak sedang hidup di dalam sebuah layar ajaib penuh naskah, yang butuh pahlawan sebagai sentuhan akhir dalam memuluskan drama. Kita menghadapi kemungkinan setiap hari. Kita selalu terbangun dengan melihat kemiskinan menjamuri baju-baju penuh noda dan robek milik pengemis di jalan, tidak pernah terbangun dan melihat ada seorang pahlawan yang datang membawa pesawat penuh dengan pundi-pundi uang dan menjatuhkannya di lampu-lampu merah untuk menyelamatkan manusia lainnya.

Mendengarkan perempuan adalah belajar tidak membicarakannya, belajar tidak mengasihaninya, ataupun belajar tidak menjadi pahlawan untuknya. Belajar hanya untuk memfasilitasi, bekerja sama, pun mendengarkan. Kemarahan ataupun rasa kasihan kita terhadap perempuan sesungguhnya adalah objektivikasi paling individualis. Kita seolah-oleh merasa bertanggung jawab terhadap sesuatu yang salah, tapi ternyata kita pun melakukan hal yang sama terhadap perempuan, secara garis besarnya kita ingin menjadi pahlawan.

Tentunya kita tidak bisa sepenuhnya menutup diri terhadap perempuan dalam sikap membiarkannya menyelamatkan dirinya sendiri. Kita bisa melakukan banyak hal, apalagi untuk melawan stigma, tanpa ada dominasi dari segi pikiran ataupun tindakan. Perempuan dan laki-laki harus melakukan perannya dengan sesuai. Ada beberapa cara, contohnya menempatkan diri hanya sebagai fasilitator, bukan artis, sebab perempuan bukan objek, justru merekalah penerima manfaat. Mereka bisa membicarakan sesuatu, ataupun tentang mereka, dan kita mulai belajar untuk mendengar.

Mendengarkan perempuan adalah sebuah konsep di mana kita sepenuhnya lepas dari posisi sebagai subjek. Kita—yang memahami isu ini—pun bisa terbantu dari segi pengalaman, ataupun pelajaran untuk diri sendiri. Menurut Sartre (2000) mengenai teori “ketidakhadiran”, apabila Anda sudah menjadi orang lain, dan menderita karena ketidakhadiran yang berkesinambungan pada kedalaman keberadaan (eksistensi, batin) Anda, maka Anda lebih tidak hadir daripada diri Anda sendiri. Ini yang harus dihindari, bagaimana perempuan tidak menjadi dirinya sendiri sebab kita terlalu sering memosisikan diri sebagai subjek, pun artis.

Peringatan hari perempuan misalnya, ini seperti sebuah mulut besar dengan suara nyaring yang harus dioptimalkan oleh perempuan untuk berbicara. Tentu berbicara di sini bisa dengan banyak hal, terlepas dari protes-protes atau kampanye yang dilakukan dalam memeriahkan hari perempuan. Bisa menggelar aktivitas yang melibatkan perempuan dalam memahami dirinya sendiri. Misalnya dengan menyediakan ruang-ruang kreatif, panggung untuk para perempuan.

Masih banyak perempuan yang bersepakat untuk mengucilkan dirinya dengan membiarkan dirinya menjadi objek. Jika kita melihat kecenderungan apa yang memengaruhi perempuan berbuat seperti itu, tentunya ini berkaitan erat dengan indsutri: film, korporasi, musik, dan lainnya. Di dalam beberapa hal—mungkin rata-rata—kita dengan mudah melihat bagaimana perempuan memerankan citra penggoda. Semua hal bisa berubah karena perempuan. Ini juga berlaku pada korporasi yang membuat pakem bahwa hanya perempuan yang berpenampilan menarik yang bisa diterima di perusahaannya, ditambah lagi dengan musik yang menegaskan posisi perempuan, Madu Tiga yang dinyanyikan oleh Ahmad Dhani misalnya.

Malawan Objektivikasi terhadap perempuan seharusnya tidak dilakukan dengan protes—mungkin bisa kalau kau artis, tapi bagaimana membangun. Mulai dengan sesuatu yang paling dekat dengan kita: diri sendiri. Bagaimana upaya membuat diri kita berlaku adil pada apa yang tertanam, diolah, dan dikeluarkan—dalam pemikiran. Protes menurut KBBI adalah protes/pro·tes/ /protés/ n pernyataan tidak menyetujui, menentang, menyangkal, dan sebagainya: sebagian orang melancarkan kecaman pedas dan — keras; sedangkan membangu menurut KBBI adalah membangun/mem·ba·ngun/ v bangkit berdiri; naik (tentang awan dan sebagainya). Tentu kita harus melihat ini dalam frame gerakan.

Protes tidak bisa dikatakan jelek, sebab melakukan protes bisa jadi adalah sebuah upaya penyadaran. Tapi apakah protes efektif dilakukan untuk melawan stigma tentang perempuan? Protes seperti arti yang sebenarnya adalah upaya menentang, pernyataan tidak menyetujui, menyangkal, dan sebagainya. Bagaimana jika protes itu tidak melibatkan banyak perempuan? Bagaimana jika perempuan lain merasa dirinya tidak terkena objektivikasi? Ini adalah persoalan mendasar dari sebuah gerakan. Di mana partisipasi amatlah penting guna menyesuaikan persepsi tentang objektivikasi dan perempuan. Membangun yang dimaksud di sini adalah sebuah upaya memfasilitasi perempuan untuk mengerti, memahami, dan menyelamatkan dirinya sendiri. Prosesnya pun dari bawah, mencari akar permasalahan yang menyentuh inti isu. Protes selama ini sekadar menggalang massa, mengolah isu, kemudian melemparkan ke publik. Ini adalah permasalahan, sebab setelah isu ini dilempar, dibiarkan begitu saja. Sebenarnya titik tekannya di sini adalah partisipatif. Bukan sekadar menciptakan room model untuk dijadikan percontohan massal yang berakhir menjadi isu saja.

Mendengarkan perempuan hanyalah sebuah upaya dari pemikiran saya yang dangkal. Sebuah pemikiran yang mungkin saja hanya jadi isu lagi dan lagi. Jika tidak diawali dengan sebuah gerakan dari yang paling kecil: diri sendiri, atau taruhlah lingkungan sekitar kita. Mengumpulkan data, mengolahnya, lalu menindakinya adalah alternatif yang paling mungkin. Bisa saja apa yang selama ini dikampanyekan oleh beberapa perempuan, dinikmati oleh perempuan lainnya dan itu disadari keberlangsungannya. Tentu saja kita tidak boleh sepihak menggeneralisasi apapun itu: perempuan mengalami objektivikasi. Atau saja, perkataan di atas bisa jadi karena yang menulis artikel ini adalah seorang laki-laki yang menjadikan perempuan sebagai objek? Atau ia menulis dengan kelaki-lakiannya? Entahlah. Yang pasti lelaki ini terlahir dari rahim seorang perempuan yang dunianya dihabiskan dengan merawatnya, membangunkannya, melepaskannya, dan membiarkannya berpikir sendiri.

2 thoughts on “Mendengarkan Perempuan”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *