(Sebuah Catatan Perjalanan dari Makassar ke Enrekang)
Makassar, Jam 9 Pagi
Mataku masih buram saat melirik secarik absensi basa-basi
kusentuh layar ponsel, memotret kelakar pelepasan
boneka dan bantal tersisip paksa di celah tumpukan koper
aku akan kompromi dengan kantuk atau mengusirnya paksa
Seseorang membaca gegarisan gelimpang daun-daun di tanah
“perjalanan ini akan lancar saja”, sabdanya kala menjauhi kemudi
Maros, Jam 10 Pagi
Sebutkan tempat-tempat kita berseteru dulu
aku masih hapal merek kacamata yang kupecahkan
ada pula lusuh kepalan tangan dari gang perkelahian
kutemui lagi keliaran dan pemberontakan masa remajaku
Semua masih sama, utuh seperti sediakala
hanya kini bergegas kutempuh jalur berlainan
Pangkajene, Jam 11 Siang
Mendengarkan hikmat orkestrasi jalan raya
kutangkup suara dari gesek aspal dan batuk knalpot
Dari jauh langit biru beradu atap-atap bergelombang
dan air ternyata tidak mengalir di rumah singgah
Kelebat firasat kami akan mengeluh dengan cara paling belia
saat kakiku kehilangan sepatu, hausku dilipat jalan yang rebah
Barru, Jam 1 Siang
Maka tibalah kami setelah keruh mengalir
entah sudah pada hitungan ke berapa tempuhan jarak
Puluhan? Ratusan? Aku menebak tanpa rima
sebab petunjuk jalan menguap ditempa terik
Bagiku peta adalah rencana kurang berani
milik roda-roda yang tengah menyiasati ledak
Pare-Pare, Jam 2 Siang
Inilah kota dimana pesawat tidak mendarat
hanya ada tugu cinta dan cerita dari tahun-tahun darurat
Aku datang tanpa menoleh pada gerbang kota
sementara pemudanya sibuk mengantar undangan pesta
Lihat, itu pantai di mana angin kerap singgah mematuk
menepilah kalau-kalau ada serpih ingatan harus kau larung
Sidrap, Jam 3 Sore
Bentang hijau seluas azimut
senantiasa setia bersambungan
menyibak diam
Benih dan bibit macam apa
yang dia pendam
dalam rahim?
Jika megap, ada ruh tangkai
menolak tenggelam
Enrekang, Jam 4 Sore
Sambut aku dengan upacara
akan kucatat ini dengan hati-hati
dalam lembar puisiku
Beri aku sekotak penganan
dan manuskrip pidato penyambutan
akan kurekam ini dengan buru-buru
dalam rangkaian singkat ingatanku
Kita Sering
Kita sering terdampar di pantai tanpa nama
lalu dirikan dermaga terpendek dari remah butir pasir
Kita sering bertamu di rumah peminta jendela
berbincang perihal teras muara embun pamit gelincir
Kita sering tergolek di jalan bersama rencana
setelah terpenggal keramaian usai lebih dulu diusir
Bahan Perbicangan
Mengulas masa remajamu, cuplikan episode sedih
sengaja kau bekukan, lama hingga mengendap
Menjelaskan wajah tirusmu, seutas bulu mata repih
kelakar bahwa seseorang nun jauh kehabisan harap
Mengibar baju merahmu, cucur peluh samaran letih
akhir masa penantian ditandai tubuh terjerempab
Dari Dalam Bus
Sesederhana sandaran pada bangku bus
dan riuh percakapan yang lupa kita akhiri
Kujalin lelap dari segala pecahan nafas tipis
mulanya pada kantuk persimpangan pagi
Tinggalkan singgahan hampar sawah tanpa garis
terlihat anyam cekung perbukitan perkenalkan diri
(Enrekang-Makassar, 14 Juli 2016)
Ilustrasi: http://tickshady.deviantart.com/
Achmad Hidayat Alsair. Lahir di Pomalaa, Sulawesi Tenggara, 15 Mei 1995. Mahasiswa tingkat akhir jurusan Ilmu Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Hasanuddin, Makassar. Karyanya pernah dimuat di Fajar Makassar, Go Cakrawala Gowa, Rakyat Sultra, Lombok Post, Analisa Medan, Tanjungpinang Pos, Radar Surabaya, Litera, FloresSastra, NusantaraNews, WartaLambar, Sediksi, serta beberapa buku antologi puisi bersama. Yang terbaru, puisi-puisinya tergabung dalam buku antologi bersama Pesta Puisi Kopi Takengon 2016 “1550 MDPL”. Bisa dihubungi melalui sur-el ayatautum95@gmail.com.