Esai Tentang Esai

 

“Esai bentuk langsung dari opini.” (Remy Sylado)

Sekira empat tahun belakangan ini, kota Makassar, kota mukim saya dilanda gempa-gempa literasi, yang skalanya masih terukur. Getarannya, sekadar mencubit rutinitas kota, yang konon menurut walikotanya, Dani Pamanto, sang anak lorong, segera berbenah menjadi kota dunia. Sesarinya, yang saya tunggu adalah, tsunami literasi, yang dalam perspektif gerakan, bagaimana memelihara gempa-gempa itu, berakumulasi menjadi tsunami. Gempa-gempa literasi itu, dipicu oleh beberapa lempengan komunitas literasi, yang secara telaten menggetar-getarkan kota Makassar. Banyak nian komunitas literasi di kota ini, lebih dari sepuluh jari tangan saya, ditambah sepuluh jari kaki saya, masih lebih dari itu jumlahnya.

Salah satu komunitas literasi itu, bernaung di bawah payung Paradigma Institute, yang menyelenggarakan kelas literasi, tepatnya kelas menulis. Tahun 2017 ini, sudah memasuki angkatan ke-3. Capaian dari kelas menulis ini, sudah bisa diverifikasi hasilnya, berupa lahirnya penulis-penulis jebolan kelas, yang menulis di media luring, maupun daring. Pun, ada juga yang telah menulis buku, baik fiksi maupun non-fiksi. Dan, pada perhelatan angkatan ke-3, yang memasuki pekan ke-7, Ahad, 02 April 2017, sebelum memasuki masa praktek, peserta kelas disuguhi terlebih dahulu wawasan seputar kepenulisan, salah satunya esai. Masalahnya kemudian, tatkala para pengelola kelas mendapuk saya, untuk menjadi pemantik perbincangan teknik menulis esai.

Seintinya, di kota Makassar amat banyak penulis esai yang punya reputasi. Para esais itu, dengan segunung pengalaman bisa dimandat untuk mengampu kelas. Hingga esai ini saya tuliskan, saya masih diliputi segudang tanya, mengapa mesti saya? Nah, saya cobalah mencari pembenaran, sebagai penguat, agar saya bisa percaya diri untuk mengampu kelas. Saya pun menduga-duganya. Pertama, lebih mudah dihubungi. Kedua, sepertinya mereka mulai percaya keampuan saya dalam menulis esai, setidaknya bisa dilihat tebaran esai saya di media. Dan, ketiga, sebaiknya saya tanya pengelola kelas.

Agar penjelasan saya tentang kepenulisan esai meyakinkan, baiklah saya kutipkan beberapa pendapat yang cukup berguna untuk memahami apa itu esai. Saya mulai dulu menebar jala pengetahuannya Alif Danya Munsy, yang nama aslinya, Yapi Tambayong,  yang lebih akrab dengan nama samaran, Remy Sylado, dalam bukunya, Jadi Penulis? Siapa Takut! Ia Membentangkan pandangan, bahwa sejatinya, esai pada awalnya, bertolak dari tradisi tulis di kebudayaan Barat. Esai dimaksudkan sebagai tinjauan analisis terhadap karya kreatif prosa. Pun, dalam Kamus Besar bahasa Indonesia, lema ini dimaksudkan sebagai: “karangan prosa yang membahas suatu masalah secara sepintas lalu dari sudut pandang pribadi penulisnya”.

Namun, menurut Alif, meski awalnya orang Indonesia menerima kata ‘esai’ ini sebagai bentuk tulisan kritikal terhadap karya-karya sastra, perkembangan berikutnya, ‘esai’ merambah ke berbagai jenis pengetahuan, yang dibahas secara kritikal, dalam sebuah tulisan analitis, spekulatif, dan interpretatif, menyangkut masalahnya yang aktual dan faktual. Sebagai tulisan kritikal, yaitu opini pribadi, yang memposisikan diri pada pertimbangan-pertimbangan objektif, esai memberikan pengetahuan populer yang dibutuhkan pembaca. Dengan begitu, esai adalah bentuk langsung dari sebuah opini.

Biar pahaman kita akan esai makin menukik, saya ajak ke alam pikiran seorang penulis produktif, Muhiidin M. Dahlan. Pada buku Inilah Esai, Muhiddin membentangkan sajadah pemahaman, bahwa Michel de Montaigne (1533-1592) yang menerbitkan edisi pertama esainya pada paruh abad 15, berjudul: “Of the Vanity of Words”, Montaigne memberikan batasan esai sebagai “percobaan”. Dari sinilah, seorang filsuf, Aldous Huxley, mengajukan pernyataan, hendak mengomentari segala hal dan tentang apa saja. Cuilan, kata Bandung Mawardi.

Lebih kongkrit Muhiddin bilang, meminjam penabalan Montaigne,  esai adalah cerminan, meditasi, percobaan dalam pengungkapan gagasan yang diekspresikan dengan bahasa yang “lentur”. Sesuatu yang sifatnya longgar, tutur esais kondang, Emha Ainun Najib. Jadi, esai itu bukan karya sastra, bukan pula karya ilmiah. Zen RS mengunci dengan ungkapan,”esai di antara puisi di pojok paling kiri dan karya ilmiah di sudut paling kanan”.

Pastinya, Emha bersabda di CAKNUN.COM,”Esai itu bukan puisi. Akan tetapi esai tidak diperkenankan hadir tanpa rasa poetika. Esai bukan cerita pendek, bukan novel, bukan reportoar teater, namun esai diharuskan bercerita, diwajibkan mengekspresian suasana, itupun cerita dan suasana harus merupakan kandungan yang implisit, yang tersirat, yang samar, sebab kalau tidak: ia dituduh sebagai puisi atau cerita pendek atau novel atau reportoar teater. Demikian pun esei tidak boleh mengelak dari tanggung jawab ilmu dan pemetaan akademik, tetapi kalau esei terlalu terpaku pada hal-hal tersebut: ia akan dituduh sebagai artikel ilmiah dan dibatalkan kehadirannya sebagai esei”.

Ah, rasanya saya kunci saja pembatasan makna esai dengan menukil Ignas Kleden, dalam bukunya, Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan, pada bab 21, Esai: Godaan Subjektivitas. Ignas menulis, “Dengan membaca sajak kita dapat terserap ke dalam suasana puitis, dan dengan membaca karya ilmiah kita berkutat dengan analisis tentang suatu obyek penelitian. Dalam dua kegiatan itu sang penyair dan sang ilmuwan menjadi tidak penting, karena yang pokok adalah karyanya. Membaca esai, sebaliknya, cenderung membuat kita teringat pada penulisnya, karena gerak-gerik, mimik, dan gestikulasi, demikian pun kegembiraan dan rasa jengkel akan muncul dalam kalimat-kalimatnya. Membaca tulisan ilmiah dan membaca sajak pada dasarnya berarti menghadapi teks, sedangkan membaca esai adalah menghadapi teks sekaligus juga berhadapan dengan penulisnya. Ilmu mengubah subjektivitas menjadi objektivitas, puisi mengubah objektivitas menjadi subjektivitas, tetapi esai menghormati kedua-duanya, menghadapi objektvitas sambil mengubah subjektivitas”.

Sebab kasad pengampuhan di kelas menulis ini bertajuk Teknik Menulis Esai, maka tak elok bila saya luput menyajikan sisi-sisi pedoman praktisnya. Anggaplah muncul pertanyaan, apa petunjuk umum dalam mewujudkan sebuah esai? Alif menjawabnya dengan santun, pertama, mestilah terampil berbahasa Indonesia. Mengerti aturan-aturan standar EBI. Kedua, materi yang ditulis menarik, dan ketiga, masalah yang dibeber terjawab. Sebuah esai yang tidak memilki tiga kerangka pokok ini, memang tidak ‘menggigit’, atau tidak menarik untuk dibaca.

Selain itu, perlu pula diajukan prayojana, atau yang melatari kemauan kita untuk menulis. Oleh Alif didedahkan, paling tidak delapan tujuan, simpatetik: menghormati orang, karitas: membagi rasa peduli, persuasif: mendayu khalayak, provokatif: mengilik-ngilik khalayak, informatif: menerangkan pengetahuan, interpretatif: menafsir sudut lain, deputatif: penugasan dari redaksi, dan kreatif: dorongan kebebasan menulis.

Lalu, bagaimana bentuk-bentuk esai itu? Maksudnya, gaya menulis esai? Muhiddin menawarkannya dalam buku yang saya sudah sebutkan di atas. Setidaknya, ada 16 pilihan gaya. Sebaiknya, langsung saja membaca bukunya Muhiddin itu, agar esai yang dituliskan tidak mati gaya. Selain itu, Muhiddin juga menerangjelaskan, bagaimana gaya menulis esai yang mencuri perhatian, membuka tulisan, isi batang tubuh , dan tips menutup esai. Hebatnya buku ini, karena disertai contoh-contoh dari para esais. Persis sama menariknya buku Alif yang telah saya sebutkan. Singkatnya, bila ada yang bertanya tentang buku rujukan, maka saya merekomendasikan dua judul buku tersebut. Mengapa? Sebab, kedua pengarang itu, sangat lantip dalam membabarkan, mulai dari filosofi, hingga tataran praktis kepenulisan esai.

Sepertinya, tidak perlu berpanjang-panjang menguraikan teknik menulis esai ini. Saran saya, setelah persamuhan ini, pertama, perbanyaklah membaca karya sastra, karena akan membantu dalam alur-gaya kepenulisan. Kedua, segeralah menulis, sebab itulah tindakan yang paling nyata dari kasad kelas menulis ini, memberikan wawasan kepenulisan esai. Tuliskan opini anda, secara langsung dalam bentuk esai, seperti kata Remy Silado. Dan, jika tak mengganggu, atau penasaran akan pengampuan saya dalam memantik perbincangan di kelas ini, bacalah esai-esai saya yang beredar di media, baik luring maupun daring. Bacalah, sembari menyiapkan peluru tanya, benarkah yang saya maksud esai itu, tercermin dalam tulisan-tulisan saya sebagai esai? Atau paling tidak, esai yang saya tuliskan ini, tentang esai, sudah layak disebut esai?

 

  • Entah pendengarannya seorang kisanak kurang jelas, atau kata-kata saya tak tangkas, sehingga ajakan saya ke satu hajatan disalah-pahami. Betapa tidak, Gusdurian menghelat haul Gus Dur, dia tangkap sebagai acara makan durian, terlebih lagi bakal minum jus durian. Mungkin kata Gusdurian menjadi biangnya. Apalagi sudah masuk musim durian. Sesarinya, hajatan haul Gus Dur (K.H. Abdurrahman Wahid,…

  • (Suatu Tinjauan Sosiologi Kekerasan) Kawasan Timur Tengah kembali memanas pasca kelompok Hamas Palestina menggencarkan serangan mendadak ke Israel tidak jauh di perbatasan Gaza, Sabtu (7/10/23) dini hari waktu setempat. Akhir pekan yang berubah mencekam, karena serangan ribuan nuklir itu tepat ditujukan ke Tel Aviv dan Yerusalem, menembus sistem pertahanan Iron Dome menghancurkan banyak bangunan. Frank…

  • Aktivitas manusia di era sosial media adalah produksi dan distribusi konten. Konten quote-quote adalah konten yang paling banyak berseliweran. Quotation adalah sebuah kalimat atau syair pendek yang disampaikan dalam rangka memberi makna ataupun mengobati perasaan derita dalam hidup. Penderitaan divisualisasikan dan didistribusikan melalui quote pada jejaring sosial media dalam upaya agar setiap orang diharapkan dapat…

  • “Saya tidak memikirkan representasi kecantikan yang lebih baik daripada seseorang yang tidak takut menjadi dirinya sendiri.” Pernyataan Emma Stone ini memberi sugesti pada saya betapa cantiknya seorang perempuan yang dikisahkan oleh dosen-dosen filsafat, dan yang digambarkan dalam film Agora yang pernah saya tonton. Sekitar 8 Maret 415 Masehi, kota Alexandria (Mesir) telah menjadi saksi bisu…

  • “Cita-cita kamu apa?” Ini adalah sepenggal pertanyaan yang begitu membosankan bagiku. Aku masih, dan selalu ingat. Betapa orang-orang sering mengajukannya kala aku masih di Taman Kanak-Kanak. Mulai bapak dan ibu. Tante dan om. Nenek dan kakek. Juga sepupu yang usianya terlampau jauh di atasku. Di sekolah pun demikian. Para guru kerap melontarkan deretan kalimat ini.…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221