Senjakala Kelisanan

Cerita rakyat kakak-beradik Ayuh (Sandayuhan) dengan Bambang Basiwara adalah salah satu babad yang paling lekat dalam bilik ingatan orang-orang Dayak-Meratus dan Banjar. Tersebutlah, ketika kepada dua orang itu diserahkan masing-masing satu kitab suci yang akan menjadi pedoman dalam hidup mereka, Bambang Basiwara sang adik mengambil kitab itu untuk selanjutnya disimpan dan dipelajari. Dari kitab itulah Bambang belajar membaca dan menulis, sekaligus memahami kehidupan secara paripurna. Dengan kitab itu pula Bambang mengenal agama.

Hal yang tidak lazim terjadi ketika kitab lainnya diberikan pada Ayuh. Demikian kitab itu ada padanya, Ayuh justru tidak menyimpan untuk kemudian membacanya, tapi Ia malah menelan kitab itu bulat-bulat.

Bambang Basiwara kelak dikemudian hari dianggap sebagai cikal bakal orang-orang Banjar, sementara Ayuh adalah moyangnya orang-orang Dayak-Meratus. Kisah ini mengiringi kontestasi dan proses perjumpaan antara Banjar dan Dayak-Meratus. Dari cerita ini sering muncul pemahaman bahwa simbol Bambang yang menerima kitab suci, menunjukkan bahwa Ia dan bangsa Banjar menerima agama langit secara formal. Sementara Ayuh justru menjadikan ajaran dan nilai agama luluh dalam dirinya, sehingga dapat dimengerti jika banyak orang-orang Dayak-Meratus yang tidak memeluk agama langit secara formal, sebab agama adalah dirinya itu sendiri dan sikap serta perilaku mereka adalah pancaran agama yang sudah menubuh.

Kisah ini juga menunjukkan bagaimana pertarungan antara keaksaraan yang diwakili oleh Bambang dan kelisanan yang diwakili oleh Ayuh. Bagi Bambang dan keturunannya yang orang Banjar itu, keaksaraan menjadi penting, karena hanya dengan itulah mereka bisa memahami kitab (kehidupan) tersebut. Namun bagi Ayuh dan keturunannya, keaksaraan tidaklah bermakna, soalnya kitab sudah ditelan dan manunggaling dengan dirinya. Maka yang penting bagi mereka untuk menjaga kitab itu tetap hidup, adalah meneruskan ke generasinya melalui tuturan. Di sini, kelisanan (oral tradition) menjadi kuncinya.

Kontestasi kelisanan dan keaksaraan dalam cerita Bambang dan Ayuh memang tidak menunjukkan secara eksplisit siapa yang keluar sebagai pemenang. Hanya saja, dari cerita ini muncul semacam stereotyping bagi Ayuh dan keturunannya, Dayak-Meratus, sebagai orang-orang yang tuna aksara dan terkesan bodoh. Namun bagi orang-orang Dayak-Meratus, tentu saja kelisanan mengatasi keaksaraan, sebab kelisananlah yang paling mungkin mewakili secara langsung kitab yang sudah menubuh tersebut. Bukankah kelisanan belum berjarak dari tubuh yang telah menelan kitab tersebut ?

Jika dalam cerita Ayuh dan Bambang tadi tidak secara tegas menunjukkan keunggulan lisan atas tulisan, maka tidak demikian halnya dalam keyakinan orang-orang Tanah Toa Kajang. Bagi mereka, kelisanan adalah puncak pengetahuan, sementara tulisan berada di bawahnya.   Cerita ini saya dengar dari Amma Toa, pemimpin adat Tanah Toa , pada suatu masa di penghujung bulan ke tujuh pada tahun 2004 . Amma Toa Puto Palasa, demikian Ia biasa dipanggil, membentangkan perbandingan antara Pasang ri Kajang yang lisan dengan kitab-kitab lontara yang ditulis. Ibarat angka, demikian Amma, Pasang ri Kajang adalah angka satu; masih lurus, murni dan belum tercemari dengan kepentingan macam-macam. Sementara kitab-kitab yang ditulis sudah seperti angka 2 atau 3, sudah bengkok, karena sudah dimasuki bermacam-macam tafsir dan kepentingan.

Dalam kisah Ayuh-Bambang dan cerita Amma Toa, perjumpaan kelisanan dan keaksaraan adalah pertarungan yang saling mereduksi antara satu dengan lainnya. Berbeda dengan itu, bagi Walter J.Ong, perjumpaan antara kelisanan dan keaksaraan tidaklah bersifat reduksional, atau pertarungan yang saling melenyapkan satu atas yang lain. Perjumpaan keduanya cenderung relasional (Walter J. Ong, 2013).   Tetapi Ong tidak bisa memungkiri, meski tidak serta merta melenyapkan, perjumpaan keduanya bergulat untuk saling mendominasi. Ada masanya di mana kelisanan yang menjadi dominan. Sebaliknya, ada pula waktunya kelisanan itu berada di bawah bayang-bayang keaksaraan.

Pada masa klasik, keaksaraan sudah tampil. Banyak naskah tulis menawan yang terbit. Walau demikian, kelisanan tetap menjadi hal yang lebih istimewa. Balogh (1926) menandaskan pada masa itu lumrah anggapan bahwa teks tertulis yang bernilai, harus dibacakan keras-keras di depan umum. Praktik membaca keras-keras (tradisi oral) ini banyak mempengaruhi gaya pustaka saat itu.   Keutamaan kelisanan ini berlanjut pada masa Renaisans, meski saat itu kertas sudah ditemukan, sehingga ide dan gagasan dengan mudah disebar melalui tulisan, namun kelisanan tetap eminen. Tulisan, hanya menjadi pendukung dari kelisanan. Kurun waktu itu adalah masanya ahli retorika dan jayanya para orator.

Ketika zaman merangkak menuju masa kemodernan, tulisan tampaknya makin berjaya. Meski tidak serta merta kelisanan itu sirna dengan sendirinya. Jejak kelisanan itu masih tampak pada abad-abad ke-19. Beberapa sastrawan, seperti Dickens membacakan novel-novel terbaiknya di atas panggung orasi. Sementara itu karya masyhur nan memikat McGuffey’s Readers yang terbit di Amerika Serikat dalam titi mangsa 1836-1920 dirancang justru bukan untuk kepentingan keaksaraan (literasi) namun untuk memperbaiki cara berdeklamasi lisan (Ong, 2013).

Namun apa yang menjadi pandangan Walter J. Ong ini, semakin ke sini, rupanya semakin sulit dipertahankan. Kini, Ong tidak bisa lagi bersikukuh bahwa keaksaraan tidaklah menyingkirkan kelisanan. Russ Rymer dalam tulisannya “Suara-suara yang Sirna” (National Geographic, 2012) menyebutkan setidaknya dalam 14 hari ada satu suara atau bahasa lisan yang pupus. Ia memperkirakan menjelang abad XXI, 7000 bahasa ibu berbasis lisan akan lesap menemui ajalnya. Rymer kemudian bercerita lebih jauh bahwa saat ini kelisanan seperti Tuva di Rusia, Aka yang digunakan di gunung Arunachal Pradesh, utara India dan Wintu di California mengap-mengap dalam gempuran bahasa yang berbasis tulisan. Tidak menunggu waktu lama bahasa-bahasa itu akan sirna dari tempatnya (Bisri, 2013).

Kenyataan ini pun terjadi di Nusantara. Pada mulanya, dalam masyarakat lokal di Nusantara, kelisanan mendapatkan tempat yang lebih unggul dibanding dengan keaksaraan. Namun seiring dengan pengenalan terhadap aksara, baik aksara yang berasal dari negeri sendiri, seperti honocoroko dan aksara lontara, maupun persentuhan dengan aksara dari luar, seperti pallawa, arab dan latin, perlahan kelisanan mulai dipinggirkan. Apalagi keaksaraan diidentikkan dengan peradaban yang lebih maju, sebaliknya kelisanan acap kali diandaikan sebagai keterbelakangan.

Tradisi lisan Nusantara seperti bahasa lokal ,cerita rakyat, pantun, atau di Bugis-Makassar ada papaseng, pau-pau ri kadong, dan parupama semakin lama semakin sirna dalam kehidupan masyarakat. Kini perlahan digantikan dengan cerita-cerita dari bacaan yang begitu mudah diakses. Lantas apa yang hilang mengiringi sirnanya kelisanan ini ? Tidakkah maraknya literasi, hanyalah tuntutan perubahan zaman. Bukankah pula kelisanan itu awet justru karena Ia dituliskan ?

Jika kita perhatikan, ternyata perbedaan antara kelisanan dan keaksaraan, bukan semata-mata soal yang satu disampaikan dalam bentuk aksara-tulisan atas peran penglihatan, dan lainnya disampaikan lewat tuturan dengan peran penting pendengaran dan hafalan. Lebih dari itu, kelisanan dan keaksaraan memiliki dunia budayanya sendiri. Menurut Walter J.Ong (2013) pola berpikir antara para pemangku kelisanan dan keaksaraan berbeda antara satu dengan lainnya.

Ciri-ciri pemikiran berbasis lisan, demikian Ong, di antaranya; Kelisanan itu aditif dan tidak subordinatif sebagaimana lazim dalam keaksaraan. Aditif berarti kelisanan jamak menggunakan kata yang menguatkan kalimat sebelumnya. Kelisanan juga agregatif. Karakter agregatif ini bertujuan untuk memicu ingatan. Dalam tradisi lisan, jika menyebut putri, tidak cukup jika tidak melengkapinya dengan putri yang cantik jelita. Demikian halnya jika menyebut prajurit, baru absah jika diujarkan dengan prajurit gagah perkasa. Dengan demikian, ungkapan lisan bukanlah satuan sederhana, tapi justru kumpulan satuan yang cenderung dianggap tidak efektif dalam tradisi keaksaraan (Walter J. Ong, 2013). Ciri agregatif ini menimbulkan kesan kelisanan ini panjang lebar dan berlebih-lebihan. Ciri lisan yang lainnya adalah sangat situasional, yaitu makna kata mendapatkan pengesahan semantik langsung kini dan di sini. Selain itu kelisanan juga tidak mengenal logika silogisme yang abstrak.

Satu hal dari ciri kelisanan yang menurut saya penting dibentangkan lebih lapang dalam tulisan ini adalah kedekatan jarak atau bahkan tidak berjarak sama sekali antara ungkapan ide dengan realitas. Para pemangku kelisanan menyampaikan ide dan gagasan tanpa beranjak dari realitas yang ingin disampaikan. Mereka menyampaikan bahasa alamnya dan suara komunitasnya. Para pemangku kelisanan tidak membangun konsep, kategori dan analisis objektif yang rumit sebagaimana para kaum melek huruf melakukannya. Kalau komunitas Sedulur Sikep-Samin menyatakan bahwa pabrik semen Kendeng membuat mereka kehilangan air untuk kehidupan mereka, maka itu bukan konsep dan hasil analisis yang ribet. Ide itu adalah realitas yang mereka lihat.

Demikian halnya Amma Toa di Tanah Toa Kajang ketika memerikan tentang Patuntung”? Alih-alih Ia menjelaskan seperti kaum melek huruf yang biasa menguraikannya sebagai konsep keyakinan, Amma justru mengatakan bahwa patuntung itu “membenturkan kepala”. Amma Toa menyatakan itu, karena demikianlah realitasnya di Tanah Toa; ketika orang membenturkan kepala disebut dengan patuntungi.

Penelitian Romanovich Luvia memperjelas hal ini. Penelitian yang dilakukan di Ubzek dan Kirghizia terhadap orang tuna aksara menunjukkan bahwa pemangku kelisanan sangat susah untuk mendefinisikan secara abstrak-konseptual objek-objek yang ditanyakan kepadanya. Mereka justru memandang aneh, misalnya, pertanyaan yang meminta mendefinisikan apa itu pohon. Mereka hanya menyatakan: “pohon itu ya…seperti yang kau lihat sekarang ini”. Bagi mereka, melihat pohon itu secara nyata, jauh lebih gamblang memberikan gambaran tentang pohon itu sendiri dari pada membuat definisi tentangnya (J. Ong, 2013).

Cara berpikir para pemangku kelisanan yang demikian ini membuat banyak antropolog menganggap mereka sebagai primitif dengan cara berpikir prelogic (Bruhl, 1923). Mereka dianggap sebagai kelompok The savage mind (berpikir liar). Di Indonesia, ungkapan-ungkapan demikian itulah yang menyertai proses gerakan anti buta huruf yang dicanangkan oleh pemerintah Orde baru dulu. Bahkan lebih dari itu, gerakan melek huruf pemerintah orde baru, berbarengan pula dengan penghancuran segenap tradisi yang berbasis kelisanan. Upacara-upacara pertanian yang dulu berlangsung marak oleh para pemangku kelisanan ini, diremukkan oleh revolusi hijau pemerintahan Orde Baru. Kebudayaan dan pola berpikir khas lisan digeser bahkan dijungkalkan dengan berbagai kebijakan oleh pemerintah.

Hamparan persoalan pun satu persatu menghampiri komunitas-komunitas lisan ini. Tanah-tanah adat mereka yang hanya ditandai dengan tanda-tanda alam, misalnya pepohonan atau sungai tidak diakui negara. Negara hanya mengesahkan tanah-tanah yang telah disahkan dengan logika keaksaraan. Misalnya tanah yang telah jelas konsep batas-batasnya, dibuktikan dengan sertifikat. Di luar itu kebanyakan diambil alih oleh korporasi atau negara. Gerakan keaksaraan yang didentumkan oleh pemerintah Orde Baru saat itu betul-betul menjadi lonceng kematian bagi kelisanan dan kehidupan yang ada di dalamnya.

Jelaslah, dengan demikian, lenyapnya kelisanan bukan hanya sekadar sirnanya kebiasaan mentransmisi pengetahuan lewat lisan, namun juga pupusnya segenap cara dan pola berpikir secara lisan. Lebih jauh lagi, adalah remuknya kebudayaan para pemangkunya dan hilangnya akses mereka terhadap tanah dan hutan.

Kini dalam rangkak abad XXI, gerakan literasi ditabuh lebih keras lagi. Dentumannya semakin menggema dahsyat. Tidak hanya pemerintah, masyarakat melalui lembaga-lembaga swadaya juga ramai-ramai menggalakkannya. Kesadaran semacam ini, patut kita apresiasi, namun dengan beberapa pertanyaan yang patut direnungkan: ‘mungkinkah gerakan literasi ini bisa mengakomodasi logika dan budaya kaum lisan’? Dapatkah digalakkan gerakan sastra lisan (oral literacy) yang tidak hanya menginventarisasi tradisi lisan yang berkembang di masyarakat tapi juga mengakomodasi gaya, logika dan budaya lisan itu ke dalam tulisan. Bisakah pula muncul pengakuan terhadap logika-logika kelisanan sebagai cara berpikir yang benar untuk menentukan hidup masyarakat pemangkunya?  Dengan itu kita berharap bahwa gerakan literasi bukanlah upaya untuk melenyapkan kelisanan, tapi justru untuk menguatkannya. Keduanya, seperti dikatakan oleh Ong, berjumpa dalam hubungan yang saling mendukung dan bukannya saling mereduksi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *