Setangkai Pacar di Kaki Nona

Di kaki Nona bertengger setangkai rapuh. Muasal puluhan tahun silam; sekarang pun dinamai pacar. Tak pernah berubah sejak rentetan tahun silam; saat dia genap dua puluh.

Tubuh pacar semakin lunglai, sesekali angin mengecupnya; mengebaskan daunnya yang hijau. Tetap saja dia bertahan, seperti enggan mati padahal hidupnya sudah sedekat kuku dengan ajalnya.

Mungkin dia merasa aman di tengah rentanya− berada di dekat putri berwujud gunung yang menjulang; pernah terdengar riwayat Gunung Nona. Kala itu seorang putri kerajaan melarikan diri dari kehidupannya; melanggar titah orangtuanya hingga dia terbunuh−tertebas menjadi dua bagian kemudian kaku tak berwujud manusia.

Sandiwang tanpa ampun memacul cangkul. Kebun di Duri tak pernah lelah membuahkan berkarung-karung hasil, mulai dari buah-buahan hingga bumbu dapur. ‘Namun, malang kian melankolis setelah Benteng Ranga dan Benteng Kaluppini jatuh di tangan kolonial.

Subuh menjemput kemudian diakhiri petang setiap hari dilakoni oleh Sandiwang, hingga kemudian harus memeras keringat bahkan meneteskan darah untuk bangsa lain yang menghunuskan kekejaman pada pribumi; tidak menghasilkan sesuatu yang layak untuk dirinya.

Di tengah kemelaratan hidup, Sandiwang tak pernah menggantung hidupnya untuk sebuah pengharapan yang pupus. Sarifah menjadi permata di tengah bara yang dia lalui. Di setiap langkahnya; di atas kerikil tajam sekalipun, Sarifah menjadi titik terang untuk tetap berjalan di ujung usia yang kian pekat.

Gadis dengan semerbak wangi hingga ke seberang desa adalah kenyataan yang digenggam Sarifah. Begitu banyak pemuda telah menghampirinya−tapi cintanya hanya satu pada seorang lelaki tua.

Sarifah−mata bulat tak dapat tajam seperti bohlam remang pada surau desa. Dia menangis tersedu berhari-hari semenjak utusan Sampe datang menemui ayahnya. Sepeninggal ibunya, ayahnya menjadi sandaran hidup yang tak pernah lelah berpeluh tanpa keluh walaupun kadang berakhir keruh−seperti kali ini.

Konco kolonial bertubuh tambun dengan rahang garang−dibekuk syahwatnya. Dia menelan liur tiap kali melihat Sarifah; gadis menawan Duri. Suatu ketika Sampe yang baru saja menerima jabatan menjadi mandor, datang mengawasi pekerjaan para buruh yang hasilnya kelak akan dijarah untuk diberikan kepada pemerintah kolonial, Sarifah wanita ayu yang juga harus bekerja di kebun kemudian menepi dari teriknya matahari, Sampe yang masih merasakan euforia mendapat kekuasaan melihat Sarifah untuk pertama kalinya; dia lalu menarik lengan wanita yang baru saja mengistirahatkan tangannya−setelah cukup lama bergerak menjejal pekerjaan bersama buruh wanita lainnya yang begitu akrab dengan biji kopi.

“Kau tak usah bekerja lagi besok! Jadilah wanitaku. Tanganmu terlalu indah untuk menyentuh tanah-tanah di kebun ini! Akan kulimpahi kau dengan perhiasan yang serupa eloknya parasmu!” Sarifah menghempaskan pegangannya, namun semakin kuat pula Sampe menengkramnya.

“Cuiihh!” Sarifah melempar liur dari bibirnya yang ranum; hina di mata Sampe− liur seorang buruh mengenai celana dan sepatu mewahnya.

“Berani sekali Kau!” Sampe mulai geram, ditariknya Sarifah mendekat ke tubuhnya. “Aku bisa melakukan apa saja padamu, mau kau suka atau tidak suka!”

“Untung bukan wajahmu yang kuludahi!” Wanita itu dengan garang menantang Sampe.

“Kurang ajar!” Sampe mengangkat tangannya yang diayunkan ke wajah Sarifah. Wanita itu kemudian tersungkur, Sampe mengangkat kakinya lalu dijepitnya betis Sarifah ke tanah. Sarifah menjerit, semua wanita yang ada di kebun itu memalingkan wajahnya−tak tega menyaksikan penderitaannya. “Hari ini kau kuampuni, tapi kalau kau tidak mau menerima tawaranku dan berlagak jual mahal. Aku bisa melakukan hal yang lebih dari ini!” Lelaki itu beranjak pergi−mengitari kebun bersama para pengawalnya yang terlihat begitu tolol.

“Kemarilah Nak!” Seorang wanita tua membantu Sarifah berdiri. Wanita tua bernama Nenek Kurnia; wajahnya sudah mulai memucat dimakan usia, namun geraknya tampak masih terlihat tegas. “Sakitmu ini akan segera berlalu, setidaknya kau telah menunjukkan kehormatanmu sebagai wanita!” Kata wanita tua itu menguatkan Sarifah yang tampak murung.

“Terima kasih Nek!” Sarifah tersenyum padanya.

“Kau tak usah khawatir, esok ketika dia datang dan berusaha membawamu maka datanglah padaku! Aku akan melumuri tubuhmu dengan minyak dengan rendaman daun pacar pemberian wanita berparas dewi, seorang titisan pohon daun pacar.”

“Maksud nenek?” Sarifah kebingungan mendengar penjelasan Nenek Kurnia.

“Namamu siapa, Nak?

“Aku Sarifah!”

“Sebenarnya nenek adalah keturunan terakhir dari wanita pacar. Semenjak wanita titisan pohon daun pacar memutuskan menikah dengan seorang lelaki tulus yang mempersuntingnya, dia kemudian menjadi manusia utuh dan keturunannya juga tidak dapat berubah lagi menjadi daun pacar. Namun, Nenek dibekali minyak yang sewaktu-waktu dapat digunakan untuk menyelamatkan wanita sepertimu dari nafsu kebinatangan para pria yang menaruh niat jahat. Minyak itu telah menurun dari wanita yang mampu berwujud pacar pada keturunannya−hanya diwariskan pada wanita keturunan berikutnya secara terus menerus.”

“Lalu, keturunan Nenek?”

“Nenek sebatang kara, Nak! Suami Nenek telah meninggal, kami tidak dikaruniai keturunan. Karena itu lebih baik Nenek menggunakan minyak itu untuk menolongmu. Nenek telah lama mengenal Sampe, Nenek tahu betul wataknya. Dulu Nenek adalah buruh saat orang tuanya berkuasa. Dia tidak akan berhenti menindasmu hingga dia mendapatkanmu. Minyak itu akan membuat Sampe tak mampu merenggut kesucianmu.”

“Sekali lagi terima kasih, Nek!” Walaupun Sarifah masih merasa kebingungan dan setengah tak percaya dengan penjelasan Nenek Kurnia, Sarifah menghargai niat baik wanita tua itu.

“Di mana Sarifah?” teriak Sampe di depan pintu Sandiwang di pagi buta. Akhirnya setelah beberapa hari semenjak melihat Sarifah di kebun, Sampe menghantarkan nasib malang Sarifah putri Sandiwang lelaki berusia 60 tahun yang sehari-harinya hidup diperbudak kolonial.

Ditemani lima orang berkulit putih yang mengapit senjata, Sampe mendatangi rumah Sandiwang.

“Ada apa? Mengapa kau mencari putriku?” Sandiwang keluar dengan sebilah pisau yang terselip di balik sarungnya. Telah berjaga-jaga untuk hal yang tak dia harapkan.

“Aku telah mengutus kacungku tiga hari yang lalu untuk menemuimu. Kukatakan padanya untuk membawa Sarifah tapi kau tak mau memberikannya!” Sampe kian geram mengenang penolakan Sandiwang tempo hari.

“Sarifah tak ingin menemuimu, dia tak ada di rumah ini!” Sandiwang tak punya banyak alasan untuk menimpali kemarahan Sampe, dia hanya menginginkan Sarifah bahagia−alasan yang tak masuk di akal Sampe.

“Aku tak mau tahu! Kau harus membuatnya menemuiku. Atau semua senapan yang mereka bawa ini akan memuntahkan pelurunya ke kepalamu!” Seluruh tentara kolonial yang ikut bersama Sampe bergerak maju menodongkan senjatanya ke arah Sandiwang, refleks lelaki tua itu bergerak mundur tertatih; tanpa kata-kata tangannya bergerak pelan ke tepi pinggangnya seperti menumpuhkan jari-jarinya pada sebuah benda untuk bersiap beradu cepat serangan.

“Kali ini Kau kumaafkan, biar bagaimana pun kau adalah calon mertuaku yang mulai menghitung detik menuju kematian. Anggap saja ini hadiah untukmu! Tapi kuberi kau waktu sehari lagi. Jika esok Sarifah tak menemuiku, maka kau dan anakmu itu akan kukubur hidup-hidup!” Belum sempat Sandiwang menimpali perkataannya tangannya mendarat di pipi Sandiwang yang telah mulai kerut dimakan waktu, lalu dia bergerak pergi bersama teman-teman kolonialnya.

Sarifah mempercepat langkah kembali ke rumahnya, irama tarikan napasnya bersahutan dengan dentuman pijakan kaki yang menekan tanah. Sepanjang jalan dia memikirkan nasib ayahnya. Gadis itu sangat menyesali tindakannya yang menuruti titah ayahnya untuk meninggalkan rumah, tapi di saat itu pula dia mendapat kesempatan untuk menemui Nenek Kurnia.

“Mengapa Kau kembali anakku? Bukankah ayah sudah berkata padamu bahwa hidupmu akan binasa jika kau tetap di sini!” Suara Sandiwang bergetar saat Sarifah tiba-tiba muncul−mendekapnya dengan napas tersengal.

“Aku akan menerima pinangan Sampe, Ayah!”

“Kau bicara apa Sarifah?”

“Keputusanku sudah bulat!” Sarifah melepas dekapannya dari lelaki tua itu. “Ayah katakan pada Sampe bahwa aku menantinya esok sebelum matahari terbenam!”

“Tapi, Nak..”

“Ayah ingin melihatku bahagia, bukan?”

“Tentu saja!”

“Kalau begitu Ayah harus percaya padaku! Aku tahu Sampe tak akan berhenti mengejarku. Saat aku telah menikah dengan Sampe, Ayah tolong ambil setangkai daun pacar yang ada di kamar pengantin Sampe saat malam renta!”

“Apa yang Ayah harus lakukan dengan daun pacar itu?”

“Ayah bawa setangkai daun pacar itu dan berikan kepada Nenek Kurnia sebelum mentari terbit, Ayah cari ia di ujung kaki Gunung Nona!”

“Lalu untuk apa Ayah harus melakukan itu sementara hidupmu menjemput derita?”

“Untuk mengubah derita anakmu menjadi kehidupan, Ayah!”

Sampe dan kerabatnya telah tiba di depan gubuk Sandiwang, rona bahagia terus memancar di wajahnya yang pekat. Setelah mendengar kabar tentang Sarifah, dia langsung mengadakan pesta untuk menyambut hari pernikahannya. Sekarang saat hari pernikahan yang tak kalah meriah akan dilangsungkan.

“Kau ambil saja anak gadisku ini, Sampe! Ini kan yang kau inginkan? Tapi, ingat satu hal mulai sekarang aku tak punya urusan lagi dengan kalian berdua! Sarifah menjadi tanggunganmu sepenuhnya! Sampai kapanpun aku tak sudi menjadi mertuamu!” Tubuh Sarifah terperanjat, dihempas oleh ayahnya sendiri. Seperti seorang pendosa yang tak terampuni oleh murka orangtua.

“Bicara apa kau lelaki tua?” Muka Sampe mendadak berubah, sekejap senapan yang berjejer rapi di sekeliling Sampe mengarah ke kepala Sandiwang. Tubuh Sarifah langsung melemas menyaksikan hidup ayahnya di antara ujung senapan dan permukaan kulitnya.

“Jangan Sampe, kita pergi saja dari sini! Bukankah Kau ingin kita segera menikah?” Sarifah menahan amarah Sampe.

“Ya, tentu. Seorang gadis di seberang desa pun telah menantiku untuk segera dinikahi! Haha..” Sampe menutup kalimatnya dengan tawa yang begitu renyah nan kejam.

Sampe dan kawanan berseragam yang menyelempang senjata sepanjang lengan bergegas membawa Sarifah menuju kediaman Sampe. Di kejauhan, Sandiwang terlihat kaku di tepian gubuk menatap anak gadis semata wayangnya semakin menghilang dari pandangan.

Waktu yang dinanti Sandiwang tiba, dia bergegas menyelinap ke dalam rumah Sampe, keringat Sandiwang bercucuran. Rumah yang besarnya berkali lipat dari gubuknya terlihat begitu sepi. Tempat yang biasanya dijaga oleh jejeran dua jenis wujud manusia dengan perangai serupa. Terdengar sayup suara Sampe yang meneriakkan nama Sarifah. Dapat ditebak bahwa suara itu mengalun dengan penuh amarah−dikikis jarak puluhan meter dan tersisa di daun telinga Sandiwang.

Lelaki tua itu menarik langkah demi langkah−menyusup ke kamar Sampe. Dilihat setangkai daun pacar tergeletak di tepi ranjang, Sandiwang menyusuri kamar Sampe mencari Sarifah namun dia tak menemukan. Entah kemana Sampe membawa Sarifah, pikirnya.

Sandiwang menemui Nenek Kurnia di sebelah utara pada kaki gunung nona setelah dia berkeliling jauh. Tinggal menghitung menit fajar akan segera merekah. Dia menyerahkan daun pacar itu pada nenek renta yang masih begitu jelas terlihat bahwa dia adalah seorang wanita yang cantik semasa mudanya.

“Semalam pasti dia telah berusaha menyentuhnya. Kita harus segera menanam tangkai daun pacar ini, jika tidak rohnya akan meninggalkan jasadnya!” Nenek Kurnia terlihat panik, namun Sandiwang kaku tanpa suara−hanya terdengar desahan nafasnya yang bersahut-sahutan dengan degupan jantungnya.

“Tiap kali kau rindu, datanglah kemari. Basuh dia dengan air. Maka dia akan merasakan kasih sayangmu!” Nenek kurnia melanjutkan kalimatnya namun Sandiwang semakin kebingungan.

“Aku harus segera mencari anakku! Sepertinya dia telah jauh dibawa oleh Sampe!” Belum sempat Nenek Kurnia menimpali perkataannya, Sandiwang telah jauh berlari meninggalkan Nenek Kurnia yang tengah merapikan tanah pijakan setangkai daun pacar.

“Jalanmu masih panjang, Nak! Apapun masa lalu Nona, kau akan berlindung di kakinya dari segala ancaman laki-laki.” Daun pacar bergerak mengikuti irama angin yang menciumnya; seolah ingin membelai pipi Nenek Kurnia yang masih duduk di sampingnya untuk membenahi segala yang dibutuhkannya.

“Seperti yang telah kukatakan padamu waktu itu; di kehidupan berikutnya lelaki berhati sendu akan menjemputmu dan mengubahmu menjadi wanita utuh.”

Hampir seabad pada lelahnya tegak sang pacar, seorang lelaki berkelana mencumbu Nona pada kuncup musim penghujan. Merasakan sisa tenaga yang tersembunyi jauh dalam jaringan tubuhnya, dia menepi berlindung pada sebuah pohon rindang. Di sisi pohon terlihat sebatang ranting yang renta namun tenggelam manja pada pelukan tanah.*

Ilustrasi: https://id.pinterest.com/dianps717/hendra-gunawan/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *