Tetiba saja, halaman parkir Pusat Dakwah Muhammadiyah (Pusdam) Sulawesi Selatan, Tamalanrea Makassar, yang juga merupakan areal depan Toko Buku Papirus, tempat saya membajak nafkah, disesaki mobil berjejer rapi, mendekati angka seratus mobil. Para juru parkir dadakan, sekaum anak muda yang mukim di sekitar kompleks Pusdam, amat cekatan mengatur posisi mobil. Semula saya agak heran, gerangan apa yang menyebabkan, sehingga mobil berbagai jenis dan merek itu, mangkal di areal ribuan meter persegi milik Perserikatan Muhammadiyah?
Sesaat saja waktu yang saya butuhkan, buat tahu duduk perkaranya. Rupanya, bakal berlangsung ibadah pada sebuah gereja di depan Pusdam. Sebab, malam itu bertepatan dengan hari Kamis, 13 April 2017, yang keesokan harinya, tanggal 14, diganjar sebagai hari libur nasional, guna memperingati wafatnya Nabi Isa Al-Masih, Yesus Kristus. Meluapnya jemaat, yang kemudian berimplikasi pada padatnya mobil yang butuh ruang parkir, merupakan suatu keniscayaan. Dan, lapangan milik Pusdam, yang lapang, memberi kelapangan untuk parkir, bagi umat kristiani, sebentuk lapang dada. Sesarinya, peristiwa ini, bukanlah kejadian yang langka, sebab saban waktu, tatkala ada ibadah di gereja, dan pesertanya padat, maka secara otomatis, lapangan yang biasa ditempati salat Idul Fitri dan Idul Adha, pun menjadi tempat yang nyaman dan aman untuk memarkir kendaraan.
Dalam perjalanan pulang ke mukim, ada lintasan-lintasan pikiran yang terpantik, membayangi laju motor yang saya kendarai. Terbetiklah keindahan akan kerukunan antar umat beragama, yang saling menyilakan penuh toleransi, untuk memaksimalkan ibadah masing-masing. Namun, bayang-bayang ketidakharmonisan senantiasa juga mengintai. Apatah lagi, di saat kiwari ini, terkadang suasana kebatinan anak bangsa, sering kisruh sebagai akibat dari mencuatnya, ujar kebencian, dan maraknya urita bohong, yang punya potensi untuk memicu pertikaian umat beragama. Saya lalu membatin, kala saja suasana pertikaian antar umat beragama itu menyata, maka betapa tak eloknya, berdepan-depan dengan suasana lapangan yang luas, namun sumpek dada yang memandangnya, gara-gara intoleransi menjadi anutan.
Setiba di mukim, sekira pukul 20.00, saya pun mengemas barang bawaan untuk ke daerah, Bantaeng. Setelah semuanya beres, saya kemudian ke ruang baca, sepetak surga di mukim saya, buat memplototi ribuan buku yang di rak, guna mencari satu, dua, atau 3 buah, buat teman perjalanan. Tertumbuklah kedua bola mata saya pada satu buku, yang agak provokatif judulnya, The Muslim Jesus, anggitan Tarif Khalidi. Saya cabutlah buku itu, dari dekapan buku-buku yang menghimpitnya. Buku inilah, yang menemani perjalanan saya ke Bantaeng, hingga balik lagi ke makassar, 3 hari kemudian.
Tertambatnya pilihan saya pada buku itu, pastilah tidak terlepas dari suasana di Pusdam dan hari libur atas peringatan wafatnya Yesus Kristus. Betapa tidak, pada buku Khalidi ini, terdedahkan anak judul, Kisah dan Sabda Yesus dalam Literatur Islam. Asumsi saya,dengan mendaras karya ini, akan semakin menguatkan pandangan saya, pada pentingnya memahamkan pada diri setiap umat, agar lebih banyak menekankan titik temu antara kaum muslim dengan umat kristiani. Serupa ilustrasi keindahan toleransi karena lapang dada di parkiran Pusdam, bersebadan dengan keelokan nutrisi keilmuan dalam berbagai sumber pengetahuan, termasuk pada buku yang sementara tidur di dalam tas selempang saya.
Menurut Edward W.Said, penulis buku Orientalisme, buku Tarif Khalidi ini, “luar biasa, sebuah karya kesarjanaan mendalam yang menggugah, wujud pemahaman agama yang mendalam, dan kaya nuansa pertukaran lintas budaya yang belum pernah ada sebelumnya”. Lebih jauh buku ini menyajikan sebuah dokumen, kisah ‘percintaan’ dan kedekatan Islam dan Kristen. Betapa tidak, Khalidi membabarkan sosok Yesus, yang dalam tradisi Islam dikenal dengan Isa as, sebagai nabi muslim dan imam para zahid dan sufi. Jadinya, Yesus di mata muslim, menjadi teladan moral dan spiritual selama berabad-abad.
Ada sejumlah 303 kisah dan ucapan Yesus yang dihimpun dari berbagai kitab Islam klasik, dalam buku ini. Paparan kisahnya, dirapalkan dengan kedalaman makna dan keindahan sastra, sehingga enak disimak, mudah dicerna, dan sekaligus menggugah. Pancaran ajaran moral dan spiritual, terkhusus pada soal zuhud, tauhid, hari akhir, ilmu, dan pesan-pesan sufistik yang garib dan mencerahkan. Bagi saya, buku yang semacam inilah mestinya menjadi santapan intelektual, guna mengantarkan suasana dialogis antar umat beragama, khususnya umat muslim dan kaum kristiani, sehingga titik-titik temu menjadi lebih padat nuansa saling memahami ajaran.
Tetiba saja, saya telah menuntaskan pendarasan akan The Muslim Jesus ini, tepat jelang balik ke Makassar. Ibrah terpenting yang segera mengemuka adalah, benarlah apa yang ditabalkan oleh Imam Ja’far as-Shadiq Rahimahullah, guru Imam Abu Hanifa (padanya Mazhab Hanafi dinisbahkan) dan Imam Malik bin Anas (padanya disandarkan Mazhab Maliki), bahwa orang yang lantip itu adalah insan yang mengerti perbedaan-perbedaan, bukan yang bertikai dalam perbedaan. Sejatinya, mengeja bagaimana kehadiran Yesus dalam kitab-kitab Islam klasik, mengantarkan pada pahaman akan perbedaan, sehingga kelantipan menghidu kemelataan hidup di kekinian dan kedisinian.
Pegiat Literasi dan Owner Paradigma Group. CEO Boetta Ilmoe_Rumah Pengetahuan Bantaeng. Mengarang buku Sehimpunan Puisi AirMataDarah (2015), Tutur Jiwa (2017), Pesona Sari Diri (2019), Maksim Daeng Litere (2021), dan Gemuruh Literasi (2023). Kiwari, selaku anggota redaksi Kalaliterasi.com.