Surat untuk Lily

Aku memiliki rasa ini. Izinkan aku untuk memiliharanya, merawatnya, dan mengaguminya. Rasa yang bagiku mengubah laut menjadi tawar. Dan aku meneguknya serasa aku di tengah padang tandus dan haus, aku pada langkah yang melelahkan menemukan sebuah oase di bawah sebatang pohon. Pohon itulah satu-satunya yang hijau. Mendekatinya mengatarkanku pada pertemuanku dengan sekubang oase yang segar. Aku lelah dan haus. Meneguknya adalah menghilangkan dahaga. Membasahi tenggorokanku.

Rasa hilangnya dahaga inilah yang ingin aku rawat. Tak akan kulupakan bagaiman air segar itu mengalir di lubang leherku. Membasahi dinding leherku yang kering. Bagaimanapun rasa itu adalah pengetahuanku yang tak terpisah dariku. Pengalaman itu hadir tanpa batas denganku. Aku yakin pengetahuan itu yang sering mereka namakan sebagai pengetahuan huduri. Huduri, di mana antara aku dengan pengetahuan tak memiliki batas. Sepeti yang aku katakan tadi, bahwa saat air segar itu mengalir dan membasahi dinding tenggorokanku, hanya akulah yang tahu bagaimana nikmatnya rasa itu ada. Sulit bagiku untuk mengutarakan atau menggambarkan rasa itu dengan kata-kata. Bagiku aksara yang diciptakan oleh manusia tak selamanya mampu mewakili rasa-rasa yang menjadi ilmu huduri. Ia terbatas. Bukan, bukan kerena terbatasnya aksara itu, tapi karena tak terpisahnya aku dengan pengetahuan itu (huduri). Sebuah rasa yang hanya aku seorang yang tahu, bahkan para rahib tak bisa membacanya.

Walaupun aksara yang sering kita gunakan ini tak mampu mewakili rasa yang kualami. Pada prinsipnya, bagaimanapun, karena engkau adalah jiwa yang memuji kejujuran. Dengan segala kemampuan yang ada kuarahkan agar—setidaknya tersampaikan walau sedikit— bisa kau pahami dengan pengetahuan dan pengalaman yang kau miliki, aku harap engkau bisa memahaminya. Saat kau memahaminya, maka saat itulah aku mewujud dalam jiwa dan ragamu. Bilapun demikian, aku tetap ‘menjadi’. Entah itu mewakili hanya sebagian kecil dari jiwaku. Jiwa yang mengalami peristiwa dahsyat menjungkir-balikan dunia yang selama ini kita anggap mapan. Maka pahamilah aku dalam kesunyianmu. Pahamilah aku dalam gelapmu. Dengarlah suaraku dalam ketulianmu. Sebutlah namaku dalam kebisuanmu. Agar (hanya) akulah yang mampu memahami apa yang kau pahami.

Cinta adalah semesta. Sepanjang sejarah umat manusia. Sepanjang sejarah para pencinta. Semuanya, tak mampu meneropong cinta yang utuh. Menjelajah cinta sampai pada ujung batasnya. Karena cinta adalah semesta, sedang kita adalah insan yang kecil, kerdil, dan bukan apa-apa bagi cinta. Cinta yang kita alami hanyalah tetesan embun pagi yang menetes jatuh di ujung daun.

Aku sering mendengar orang berucap “cinta itu butuh pengorbanan”. Bagiku mereka bukanlah insan yang memahami cinta yang transenden. Mereka hanya mengalami penglihatan pada embun yang menetes jatuh tanpa membuka mulutnya dan membiarkan embun itu membasahi tenggorokan mereka. Apa yang mampu kita korbankan pada cinta. Cinta telah cukup untuk cinta. Cinta tak meminta apa-apa pada insan yang ingin menyatu dengannya. Pengorbanan seperti apa yang ingin kita penuhi untuk cinta? Apakah tidak kejam jika cinta meminta suatu untuk dikorbankan? Padahal Dialah yang menuntun kita pada kesucian. Pantaskah cinta menerima derita dari insan yang berkorban. Cinta telah sempurna untuk cinta. Cinta bukanlah suatu yang dialami oleh dua insan yang mencinta. Cinta bukanlah kasih-sayang ibu pada anaknya. Cinta bukanlah hormat anak pada kedua orang tuanya. Cinta bukanlah perlindungan si kuat pada si lemah. Tapi cinta adalah semuanya.

Itulah yang aku alami. Aku laksana batang bohon yang terombang-ambing di tengah samudra. Keadaan itulah membuatku sadar bahwa aku bukanlah apa-apa di hadapan cinta. Ia menguasaiku. Menjagaku dari kebodohan. Dengan cinta pada ilmu aku tercerahkan. Melihat rupamu dari cahaya ilmu yang suci. Aku mencarimu dengan ilmu dari cintaku. Cinta mengajarku untuk ‘menjadi’, bukan’ memiliki’. Pantaskah aku memiliki engkau yang sempurna? Engakau yang di hidupkan dengan nafas cinta. Engkau adalah milik sang cinta. Aku ingin ‘menjadi’, bukan ‘memiliki’. Menjadi dirimu. Mencintaimu, sama halnya aku mencintai diriku.

Sejauh ini apakah kau memahami apa yang kutuliskan untukmu? Ini adalah surat dengan air mata yang mengalir di pipiku. Kesedihanku mendalam. Seperti ada luka yang menganga di hatiku. Laksana sebilah pedang telah menghunus hatiku dan merobeknya. Luka. Aku menangis, sebab rasa cinta ini seharusnya aku rahasiakan darimu. Mulutku telah berhasil aku bungkam. Telah ku jahit mulutku beberapa jahitan. Agar dia (mulut) tidak mengatakan “aku mencintai mu”.

Tapi aku lengah. Mata yang tak sempat aku tutup melihat beberapa lembar kertas dan pena. Refleks saja jari-jemariku meraih pena itu dan menggenggamnya. Kalimat demi klimat telah kutuliskan sedemikian rupa. Aku tak kuasa menyimpan rasa ini bahkan ragaku ingin mengekspresikannya. Tubuhku ingin menari saat mendengar suling bambu yang dimainkan oleh bocah pengembala.

Kau tahu kenapa aku harus merahasiakan ini semua? Pastinya engkau pernah mendengar cerita dari seorang sufi, dia di juluki Al-Halajj. Yang berlari sambil berteriak di tengah sibuknya pasar, Al-Halajj mengatakan ” Ana Al-haq. Ana Al-haq (Akulah Kebenaran, akulah Kebenaran).” Sontak saja pengunjung pasar pada keheranan. “Siapa dia mengaku sebagai Kebenaran (Tuhan),” lirih seorang pengunjung. Akhir kisah dari Al-Halaj, kepala, kedua tangannya, dan kedua kakinya dipisahkan dari tubuhnya. Ia mati dengan perjumpaannya. Aku takut akan mengalami hal serupa.

Cinta memicu ledakan yang maha dahsyat. Membuatku menjadi gila bila aku tak mencurahkan sebagian dari apa yang aku alami. Aku harus mengekspresikan ini semua. Jadi kupilih cara untuk itu. Aku memilih pena dan kertas untuk menyimpan rasa yang kualami. Dan engaku yang telah kujadikan diriku, pantaslah kau menghukumku. Kerena telah lancang mewujud menjadi jiwamu. Tapi apakah kau akan marah? Sejatinya cintalah yang menyeruku untuk melakukan ini semua. Aku tak punya pilihan selain melakoninya. Aku menjadi aktor dari skenario besar yang telah ditulis oleh cinta dalam kitabnya yang suci.

Ujung jariku. Manjadi tanda bahwa aku mengalami pertemuan besar ini. Dan engaku jiwa yang kucinta dengan nafas cinta mebuatku mengenal cinta, walau tetes embun di ujung daun. Jika sampai pada kalimat terakhir ini masih tak kau pahami apa yang kumaksud. Aku tegaskan, datanglah, temui cinta. Agar cinta memberimu penglihatan yang bersih, pendengaran yang jelas, perasaan yang peka. Dengan semua itu aku dan kau telah menjadi dan mencair dalam samudra cinta. Biarlah kehidupan mengapung di atas kita berdua.

Aku adalah orang yang sering merenung. Bahkan untuk memilih mana yang bagus antara celana warna hitam atau biru langit, itu biasa memakan waktu beberapa jam. Aku harus merenungi kedua warna tersebut sedalam mungkin. Sampai-sampai aku tenggelam dalam warna biru dan hitam. Warna itu menyatu. Lahirlah warna baru dari perpaduan kedua warna tadi dalam perenunganku. Pada akhirnya aku berhenti merenung dan memilih warna yang terakhir, perpaduan antara hitam dan biru, jadilah aku pemilih yang adil. Dan aku menyukai warna yang terakhir. Tapi sayang si penjual malah tak punya stok celana untuk warna yang terakhir (gabunan warna hitam dan biru).

Dengan hati yang senang aku pulang tanpa membawa celana selembar pun. “Barisan Soekarno” masih tesusun rapih di dalam dompetku. Dalam perenungan itu menjagaku dari budaya konsumtif. Aku tidak mudah tersesat dalam budaya konsumtif. Sebab kebiasaanku merenung yang menolongku melakukan tindakan-tindakan yang sia-sia.

Dengan alasan inilah aku menulis isi hatiku untukmu. Agar kau ikut merenungi apa yang telah kusampaikan padamu. Cinta yang ‘menjadi’ dalam diriku harus kau renungi segera mungkin. Kiranya kau pahami dengan amat dalam. Ada lelaki yang memandang dari jauh. Ada lelaki yang memperhatikan langkahmu. Ada lelaki yang mengagumi ciptaan Tuhan. Ada lelaki yang bingung dengan pertanyaan “apa yang dilakukan Putri kayangan di bumi ini”.

Bukan berlebihan. Tapi, aku adalah pembaca sejarah. Aku sering menemukan orang-orang menulis surat cintanya pada insan yang mereka cintai. Aku tak ingin mengungkapkan cinta dengan mulut yang hanya bisa merangkai kalimat yang tak bermakna lagi dangkal. Aku (lewat surat ini) ingin mengajakmu dalam rasa cinta yang menjadi dalam jiwaku. Begitu dalam. Aku sangsi melakukan ritual bodoh yang sering aku temui di sekitarku, mengatakan cinta dengan bunga, coklat, bahkan dengan kondom. Aku memilih cara yang mulia, cara yang dilakukan Tuhan pada hambanya. Di mana Tuhan menyampaikan Firmannya pada hambanya dan hamba itu menulis apa yang ia dengar dari Tuhannya.

Karena Tuhan adalah Cinta. Aku menuliskan apa yang telah Ia berikan padaku. Rasa cintaku untukmu yang dari-Nya ku tuliskan lewat surat ini. Saat kau membaca suratku untukmu, yakinlah kau sedang membaca Nikmat-Nya. Aku memilih cara yang mulia untuk mengungkapkan isi hatiku. Lewat surat. Lewat perenungan.

Dengan nama Suci-Nya, izinkan aku menjadi dalam jiwamu.

Makassar, 15 Desember 2016, Sekret LKIMB UNM

 

Ilustrasi: http://phoenixleo.deviantart.com/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *