Literasi Kota oleh Warga Kota

Rasa-rasanya, saya tergolong orang cukup beruntung pada hari Kamis, 20 April 2017, bertepatan dengan sehari sebelum peringatan Hari Kartini. Tapi, kali ini bukan soal kebaya dan konde, serta pernak-pernik sepak terjang pengusung kalimat bertuah, “Habis gelap, terbitlah terang”, Raden Ajeng Kartini. Perkara untung yang menghidu saya, tiada lain, karena dapat undangan dari penyelanggara peluncuran bedah buku, yang berjudul Anging Mammiri, buah pikir dan zikir, yang dituliskan oleh penulisnya, Abdul Rasyid Idris.

Buku Anging Mammiri , telah dicetak dua kali, oleh Nala Cipta Litera, Desember 2016, dan Maret 2017. Cetakan kedua, diterbitkan oleh Dinas Perpustakaan Kota Makassar bekerjasama Nala Cipta Litera. Pihak Pemerintah Kota Makassar, lewat Dinas Perpustakaan, menganggap buku yang berisi tentang story, serupa dengan cerita-cerita yang menjadi penanda jejak Makassar tempo dulu, kurun waktu 60an hingga 80an, sebagai tambang pengetahuan yang tak terukur nilai berita yang dirahiminya. Dan, dasar cerita dari buku ini, akan memancing siapa saja untuk melakukan riset berkelanjutan, sehingga bisa mewujud sebagai penggalan-penggalan history Kota Makassar.

Walau saya tidak tumbuh menjadi remaja di Kota Makassar, melainkan di Bantaeng, 120an kilometer dari Makassar,  tapi tidak sedikit cerita-cerita tentangnya,  sampai ke kampung saya. Setiap orang yang ke Makassar, setelah balik ke kampung, pastilah bercerita tentang pengalamannya mengunjungi Makassar. Kami yang belum sempat bertandang ke Makassar, hanya menikmati ceritanya, bak anak kecil yang didongengkan oleh seorang pendongeng lantip, sekelas Kak Heru, pendongeng tenar Makassar, yang hadir mendongeng buat mencairkan suasana peluncuran dan bedah buku.

Tempat, peristiwa, dan tokoh,  yang dirujuk Abdul Rasyid Idris, semisal: Pantai Losari, THR, Karebosi, Pasar Butung, DKM, Pelabuhan dan Pakappala Tallang, serta beberapa nama bioskop, amat sering saya dengar. Saking tenarnya tempat-tempat itu, beserta kisah-kisah yang mengiringinya, kadang di daur ulang oleh orang tertentu di kampung kami, seolah ia pernah ke Makassar. Istilahnya, appalembaji carita, sekadar memindahkan cerita. Hebatnya lagi, cerita-cerita itu, bisa bersaing dengan cerita dari para jemaah haji, yang telah balik ke kampung halaman saya.

Nanti pertengahan tahun 80an, saya kuliah di Makassar, barulah saya bersentuhan langsung dengan sebagian besar dari yang dituturkan oleh penulis buku ini. Setiba di Makassar, tempat-tempat itulah yang saya sambangi, sebab itulah ikonnya Makassar, terkhusus bagi orang kampung seperti saya. Sebagian besar yang dibabarkan penulis buku ini, masih saya rasakan auranya ketika itu. Tahun-tahun awal di Makassar, banyak waktu saya habiskan di tempat-tempat itu. Dan kini, tempat-tempat itu ada yang sudah hilang atau berubah sama sekali, tak kuat bertahan dari gempuran keangkuhan perkembangan kota.

Beruntunglah Kota Makassar, punya warga kota, yang lahir dan bertumbuh di Makassar, sebeken Abdul Rasyid Idris, yang memahatkan ingatannya pada buku anggitannya ini. Rasyid sendiri, merupakan seorang penulis produktif yang telah melahirkan buku, setidaknya sudah 7 judul buku, Jejak Air Mata, Melati untuk Kekasih, Dari Jendela Facebook, Tu(h)an di Panti Pijat, Anging Mammiri, Menafsir Ulang Demokrasi di Indonesia, dan Dari Langit untuk Bumi. Menurutnya, buku Anging Mammiri bisa menjadi buku yang bertumbuh, maksudnya, bisa saja akan ada informasi tambahan cerita, yang bakal menebalkan jumlah halamannya.

Tak elok rasanya, bila saya tak menghadirkan tutur-tutur, dari pembedah tunggal acara bedah buku ini, yang juga sekaligus sebagai pemberi pracitra atas buku ini, Alwy Rachman, seorang akademisi Universitas Hasanuddin, yang juga seorang budayawan. Menurut Alwy, yang menyandarkan pendapatnya pada Pierre Nora, seorang penulis berkebangsaan Perancis, melalui karyanya, “Di Antara Ingatan dan Sejarah”, mendakukan bahwa ingatan tidak pernah dikenali melebihi dua bentuk legitimasinya: ingatan sebagai sejarah, ingatan sebagai literasi.

Lebih dalam Alwy menukikkan tarian lantip pracitranya, bahwa sejarah memakai bahasanya sendiri sebagaimana literasi. Sejarah ditulis secara derivatif dan analitik, diolah dan disimpan di otak, dan dengan demikian menjauh dari “cita rasa” pembacanya. Sebaliknya, literasi ditulis secara orisinil, spontan, otentik, dan dengan demikian tak jauh dari “suasana hati” penulisnya. Alwy tetap kukuh pada Nora, sehingga, “Ingatan bersifat absolut, sejarah bersifat relatif”.

Dari dasar inilah, saya kemudian mengikatkan makna, bahwa apa yang dituliskan Rasyid ini, sebentuk ingatan personal yang bersifat absolut, yang didedahkan dalam wadah literasi, sehingga ingatan yang berupa cerita, mewujud jadi sebentuk literasi. Jadi, ingatan Rasyid ini, saya pendapatkan — dengan merujukkan pikiran saya pada Alwy Rachman — sebagai story, cerita yang memilih jalan literasi, dan bukan history, sejarah yang dihadirkan sebagai karya ilmiah untuk kepentingan siapa yang menuliskannya.

Sebagai pegiat literasi,  saya menabalkan bahwa hadirnya buku ini, memberi kontribusi tak terhingga akan rekam jejak Makassar di era silam, tahun 60an hingga 80an. Ini sejenis literasi, tepatnya literasi kota yang ditulis oleh salah seorang warganya. Bayangkanlah, jikalau banyak yang mengambil jalan seperti penulis buku ini, menulis literasi kota atawa kampungnya, betapa kayanya kita akan cerita  kota-kampung. Dan, layak ditiru oleh warga lain, pada daerah lain. Sehingga literasi kota-kampung benar-benar menyata adanya.

Peluncuran dan bedah buku yang berlangsung dari pukul 10.00 sampai 12.30, yang bertempat di Hotel Yasmin, beralamat di jalan Jampea, sebuah areal yang amat tua, pada kawasan pecinan itu, pesertanya dibatasi. Saya dan pasangan saya, benar-benar beruntung bisa menyata di arena persamuhan. Sekotahnya, karena jasa baik pengarangnya, yang mengundang khusus, dan juga atas ajakan spesial, dari orang yang ikut membidani lahirnya anak ruhani Abdul Rasyid Idris ini, seorang penyair, esais, editor dan menggawangi penerbitan, Muhary Wahyu Nurba

2 thoughts on “Literasi Kota oleh Warga Kota”

  1. Senang rasanya bisa bertemu dengan penulis dan penguat literasi yang begitu hebat.
    Kata kata yang terucap menjadikan tulisan yang begitu hebat.
    Jadi tak apalah dongeng yang terucap bisa menjadi bumbu penyedap bagi orang orang hebat!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *