“Hidup tanpa perenungan tak layak dijalani” -Sokrates
Pada suatu hari saya duduk di lobi fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Alauddin Makassar, bersama beberapa orang yang tidak saya kenal. Saya duduk dengan posisi sangat berdekatan disebabkan tempat duduk lobi tersebut terbatas. Dalam waktu sekitar 2 jam duduk bersama, kami tidak pernah saling menyapa. Semua sibuk dengan aktivitasnya, berselancar di media sosial, mengotak-atik gawai, menonton youtube, semuanya menikmati jaringan nirkabel gratis yang disediakan oleh fakultas. Tiba–tiba datang seorang dosen tersenyum dan berkata “siapa nama temanmu ini?” sambil menunjuk orang yang duduk di samping saya.
Saya pun tersenyum. “Kami tidak saling kenal,” ujarku.
“Mengapa tidak berkenalan? Kini media sosial memang telah menjadi bagian penting dari kehidupan bagi setiap orang yang memiliki ponsel cerdas. Kalian telah mengabaikan orang di sekitar kalian hanya untuk menampilkan eksistensi kalian di media sosial bahkan media sosial ini pula membuat kalian selaku mahasiswa tidak lagi tertarik memegang buku ke mana-mana,” ucap dosen saya menasihati.
Fenomena ini kerap kali terjadi. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menciptakan ruang kultural tersendiri di zaman kiwari. Kekuatan media sosial membuat media cetak tersaingi. Hampir semua peristiwa dan perubahan sosial di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, muncul dan disebarkan melalui media sosial seperti Facebook, Twitter, WhatsApp, dan ribuan blog pribadi para blogger.
Perkembangan pengguna media sosial di Indonesia sangatlah signifikan. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Kementrian Kominfo (Suara Merdeka, 27 Maret 2015), menunjukkan 5 media sosial terpopuler di Indonesia, yaitu Facebook dengan 65 juta pengguna, Twitter dengan 19,5 juta pengguna, Google+ dengan 3,4 juta pengguna, LinkedIn dengan 1 juta pengguna dan Path 700 ribu pengguna.
Jikalau saja pengguna salah satu media sosial ini beralih menjadi pembaca buku, pengguna Facebook misalnya, dan menamatkan 65 juta buku per tahun maka menurut hemat saya, Indonesia akan menduduki peringkat 1 sebagai negara minat baca tertinggi. Namun jika kita melihat perkembangan minat baca Indonesia, maka bangsa Indonesia butuh 700 tahun lagi untuk mewujudkan harapan tersebut.
Jumlah pengguna media sosial yang berkembang signifikan akan berdampak pada penurunan jumlah pembaca media cetak, tentunya juga pembaca buku. Sebagaimana hasil studi “Most Littered Nation In The World” yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016 lalu, Indonesia berada pada peringkat ke-60 dari 61 negara mengenai tingkat minat baca. Indonesia berada di bawah Thailand (peringkat 59) dan di atas Bostwana (peringkat 61).
Salah satu hal yang menghambat peningkatan minat baca adalah masuknya pengaruh era teknologi digital. Teknologi yang paling berpengaruh yakni gawai dan media sosial. Orang merasa mengalami kesepian, orang merasa mengalami alienasi (keterasingan) jika tidak memiliki gawai dan media sosial. Media sosial menjadi otoritas eksistensi manusia di era digital sekarang ini.
Sebagaimana yang dikatakan oleh salah seorang mahasiswa UIN Alauddin Makassar, dalam diskusi pengaruh modernisasi terhadap pola pikir manusia bahwa, “Melupakan gawai dan media sosial sama halnya melupakan eksistensi kita di era teknologi global saat ini”. Sehingga tak asing lagi jika di dalam kehidupan kita sehari-hari, banyak kita jumpai mayoritas orang sibuk sendiri dengan gawainya. Tentunya hal ini dipengaruh oleh adanya stigma tersebut.
Namun tidak dapat kita mungkiri bahwa dengan keberadaan media sosial kita dengan bebas berbagi informasi tanpa hambatan biaya, jarak, dan waktu. Kita tidak mesti lagi mengeluarkan banyak uang dan melakukan perjalanan jauh untuk mendapatkan informasi. Kita tidak mesti lagi menunggu dengan lama untuk mendapatkan informasi.
Di sisi lain, penggunaan media sosial akan menciptakan ruang tersendiri dalam kehidupan, menarik aktivitas keseharian kita menjadi teralienasi. Alienasi dalam pengertian ini adalah keadaan dimana manusia merasa terasingkan (terisolasi) dari kelompok atau masyarakat.
Adanya teknologi yang menyediakan berbagai fasilitas-fasilitas yang maya memunculkan fenomena baru yakni Zombie of Social Media. Padahal gawai, media sosial, dan teknologi lainnya diciptakan untuk mempermudah aktivitas manusia bukan sebaliknya. Hal ini dikemukan oleh Karl Marx dalam konsep alienasinya, bahwa selaku manusia pembuat teknologi atau produsen, seharusnya menjadi penggerak dan pengatur dari produknya bukan sebaliknya.
Menurut Marx, alienasi ini terjadi ketika produk atau teknologi yang diciptakan oleh manusia menjadi belenggu kebebasan manusia itu sendiri. Fenomena ini juga diungkapkan oleh Neil Postman, bahwa teknologi mendorong budaya technopoly yaitu suatu budaya di mana masyarakat di dalamnya mendewakan teknologi dan teknologi tersebut mengontrol semua aspek kehidupan.
Produk yang namanya gawai dan media sosial ini menyebabkan manusia harus tunduk dan beradaptasi dengannya serta membuat manusia mengabaikan hubungannya dengan manusia lain dalam lingkup dunia nyata. Sebenarnya fenomena ini didukung oleh naluri manusia untuk hidup sebagai eksistensinya. Namun hal ini telah dikritik oleh salah satu filsuf berkebangsaan Jerman bernama Heidegger, mengatakan bahwa fenomena kehidupan manusia yang hidup dalam perhatiannya terhadap benda, kuantitas, dan kekuatan personal yang sangat kuat, merupakan kehidupan yang sangat dangkal.
Bertolak pada pemikiran Heidegger tersebut menurut hemat saya, fenomena kehidupan di era modernitas, acap kali manusia mengkloning dirinya masuk ke dalam media sosial sehingga berimplikasi pada mentalitasnya. Manusia jenis ini akan sangat mudah tersinggung bahkan marah hanya karena colekan akun media sosial yang tak dikenalnya. Ia sangat ramah di media sosial dan menciptakan keterasingan dan kesepian bagi dirinya di dunia nyata.
Ironisnya manusia jenis ini sangat senang ketika mendapatkan likes dan followers dari orang lain yang berada di media sosial. Padahal bagi sebagian orang, memberikan orang lain likes dan mem-follow sangatlah mudah. Meskipun dalam kondisi orang lain tidak menyukai status atau diri kita pribadi dengan mudah memberikan like-nya kepada kita. Fenomena semacam ini merupakan wujud zombie social media.
Maraknya penggunaan media sosial berbanding lurus dengan rasa kesepian dan keterasingannya. Univesity of Pittsburgh pernah melakukan penelitian tentang hal ini dan menemukan bahwa orang yang mengunjungi jejaring sosial lebih dari 58 kali seminggu cenderung tiga kali lebih mungkin merasa kesepian dibandingkan dengan mereka yang menggunakan jejaring sosial di bawah sembilan kali.
Berdasarkan fenomena ini, saya semakin bertanya–tanya: apakah media sosial yang menyebabkan orang kesepian atau orang yang sudah kesepian yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk media sosial? Entahlah. Saya hanya bisa membayangkan di masa-masa silam, ketika teknologi belum secanggih sekarang, ketika semua orang menimba ilmu dengan buku-buku bukan dengan internet, ketika semua orang sibuk menulis di kertas bukan di beranda Facebook, ketika orang berjalan melintasi gurun dan lautan dalam waktu yang lama hanya untuk menuntut ilmu dengan antusiasisme yang besar bukan dengan niat popularitas semata. Ketika pemuda-pemuda belum mengomsumsi virus – virus zombie social media. Di saat itu, mereka belum direngkuh kesepian, keterasingan, bebas dari ideologi hoax, dan hal tak bermakna lainnya.
Lahir di Bombana, 05 Agustus 1999. Adalah manusia tidak berilmu di UIN Alauddin Makassar. “Aku sangat mencintai perbedaan hingga kuterlihat berbeda”