Cahaya Malam
Seperti kunang-kunang di malam hari
perempuan itu berteman ajal kala anaknya tertidur sendiri
disibakkannya tirai labirin pembakar mimpi
Menjelma begitu abadi dalam sepi
Ia menggerutu akan pilu yang semakin menggebu
demi sekolah putrinya, ia menjadi mayat yang terasing bisu
Menguyupi jalanan, menderakkan cumbu satu persatu
Mengutuki kaum berdasi yang sedang riuh
Sesak seolah tak mau menepi dari tubuh
Perempuan itu seringkali mengeluh
mengobarkan luka sendiri lalu pulang sehabis subuh
potret ketika yang halal seolah menjauh
meninggalkan ruh yang sebentar lagi kian runtuh
Bagaimana ia rela menjejal tubuh ?
dicibir tetangga yang seolah menyimpan isyarat prahara beku
Tak dipedulikannya satu persatu
toh inilah fakta perihal kelabu
Kiamat nafasnya seolah remuk pada segala arah
melontarkan tangis yang kian amarah
pada diri yang hina
Jejaknya ditumbuk pada sebuah gairah
Meski sesekali penyesalan datang menyapa
Berulang kali ia berdoa
agar putrinya hidup dalam aljabar atau logaritma saja
Tak peduli betapapun peluh atau nyeri yang ia rasa
meski pekik dan umpatan melingkar dimana-mana
Perempuan Senja
Percik gelisah pada sebuah semburat di jingga merah.
Berdiri ia pada jejak sebuah prasasti mengenai opera sang alam semesta.
Lalu membenamkan imaji pada nuansa langit bersahaja.
Seperti senja kali ini …
Ia tak sengaja membaluri tubuh masih dengan setapak arah masa lalu.
Melangitkan elegi, beraroma misteri pada kitab seorang hamba.
Melayang ia bersama burung yang kian bersorak.
Seolah menikmati pulang ke tempat rindang bagai singgasana sang Tuan.
Adakah ia kian remuk oleh asa yang memintal ?
Adakah ia memaksa tubuhnya berkawan langit binal ?
Adakah ia masih menyeru ego di sepia usia yang nakal ?
Rupanya ia terlupa,
Pedih telah menggerogoti jiwanya sedari tadi
Mengotori mimpi tanpa peduli akan sebuah teriakan rasa yang tersemai.
Pecah, berpendar menanti sebuah perjumpaan yang dinanti.
Pun pada akhirnya ia harus kembali jua , sebab senja telah hilang ditelan malam, seakan tak peduli akan kisah yang semakin ramai oleh renjana yang harusnya kian padam.
Mengenang lewat stasiun kereta
Ada yang terus menggaris pada sebuah stasiun.
Cuaca yang menghadirkan semesta yang terburu berembun
Disapanya aku lewat peron yang gelisah tertuju
Berganti rupa dari kesepian yang tak terkira
Pernahkah kau menjejak diruang tunggu stasiun kereta?
Yang menyimpan pekik bagaimana aku menggeram merindu rupa
Seolah rahasia dalam hati makin nyeri terasa
meremuk dipikat jarak nostalgia
Lalu dibalik rel-rel kereta yang melengkung
Mengguratkan kepedihan yang sebentar lagi di larung
Ada bekumu sudah bagaikan patung
yang sebentar lagi dinamakan berkabung
Bagaimana lagi aku menafsir matamu yang kaku?
Sedangkan sudut-sudut besi tua di stasiun yang penuh cerita tak mau tahu
Lampu kristal disudut pemberhentian seolah menjelma batu
Ruang-ruang liar tak lagi mengadu
Hanya menyisakan kata-kata rancu
Sebentar lagi ruhku akan pergi
dalam ruang kereta yang melaju dengan mimpi
redamkan amarahmu kasih
Matamu yang surga tak dapat kunikmati lagi.
Perihal Sore dan Mimpi
Disuatu sore yang teduh
Seorang perempuan merebah tubuh
Ingin membisikkan pada langit yang semakin syahdu
Mengenai lekukan mimpi pada altar yang membatu
Berceloteh ia sungguh parau pada semesta
Menyapa ngilu bagai kutukan yang sama
Mencoba memancarkan cahaya seribu warna
Pada sesat jalan gemerincing fana
Dan pengharapan pada gandrung yang kian rekah
Mengolok cerita pada karisma pucuk rasa
Menyusun kesuma sakral pada puncak suara basi akan nada
Bergegas mengelok, meletup imaji putra surya
Lalu haruskah ia berpekik mencium aroma mesiu ?
Yang menyimpan meta si Fulan di tanah haru biru
Haruskah ia memejam beku dipelukan sang ibu ?
Menjatuhkan tangis pada telapak tangan yang kaku.
Maka biarkan ia layu ,
Sebab hanya kelu yang kini menyeruak la
Dwi Aulia Anggraini (Rainy Senja) lahir di Kab. Kep. Selayar 22 Juli 1995, mahasiswi di Universitas Muhammadiyah Makassar jurusan Bahasa Sastra Inggris dan menjadi salah satu penggiat di Rumah Belajar Tanadoang. Karyanya pernah dibukukan pada beberapa antologi puisi. Antologi puisi “Bukan Kita” (2016), “101 Bait Kata Himpunan Doa” (2016), “Bayangan” (2016), “Religi” (2017), “Si Fulan” diikutsertakan pada ajang Literasi Mataram Islamic Book Writers dan Festival Sajak Islami (Mataram Islamic Lombok Writers) dengan judul buku “Merindukan Surgamu” (2017) “Fatamorgana” (2017) yang juga pernah dimuat di SKH Go Cakrawala Gowa.