Bagaimana mungkin manusia di hadapanku itu tak bernama? Baru kali ini aku menemukan makhluk bernyawa tak bernama, manusia tanpa identitas. Sepertinya…
***
Sejak usiaku baru menginjak tujuh tahun, aku gemar mengumpulkan kartu nama. Bagiku, kartu nama adalah sebuah kemewahan, tak sembarang orang memiliki kartu bertahtakan nama panjang dan embel-embel titel yang tersemat di sana.
Beruntung aku memiliki ayah seorang kepala desa, karenanya aku kerap kali diajak bertandang dari satu desa ke desa lain. Ayah bertemu banyak kolega dan orang-orang yang memiliki jabatan penting, mulai dari perangkat desa, priayi, polisi, sampai orang asing dari kota.
Seperti biasa ayah selalu memamerkanku pada orang-orang yang dijumpainya, mereka biasanya akan memuji kecantikanku dan bertanya siapa namaku. Aku selalu bangga akan hal itu, bangga akan namaku. Ayah dan Ibu menamaiku Lentera, yang berarti cahaya. Ayah dan Ibu berharap kelak aku akan menjadi cahaya yang menghangatkan dan bersinar terang untuk orang-orang di sekitarku.
“Len-te-ra” aku mengeja namaku dengan lantang, mengejanya menjadi tiga suku kata, teman ayahku yang merupakan anggota dewan bertepuk tangan dan memuji keindahan namaku. Disusul berikutnya aku menceritakan riwayat pemberian nama itu dan doa ayah-ibu yang turut di dalamnya.
“Kalau om siapa namanya?” aku memberanikan diri seperti biasa, biasanya teman-teman ayah akan menyebutkan namanya disusul dengan sebuah kartu nama aneka warna dan corak.
“Om namanya Muhammad Unggul, Om Unggul” benar saja, ia menyodorkan sebuah kartu nama padaku, warnanya keemasan. Aku cukup tercengang melihatnya, itu adalah kartu nama terindah yang pernah kudapatkan.
Aku melonjak kegirangan, koleksi kartu namaku semakin bertambah banyak. Ada lima belas jumlahnya, aku selalu menyimpannya dengan rapi dalam sebuah kotak kecil yang kuselipkan di bawah ranjang.
Hobiku terus berlanjut bahkan sampai aku menginjakkan kaki ke kota untuk melanjutkan pendidikan strata satu. Jangan tanya mengapa aku tak kuliah di kampung, sebab Sekolah Menengah Lanjutan pun bisa dihitung jumlahnya. Itu pun sangat jauh, aku mesti menempuh perjalanan hampir dua kilometer untuk sampai ke sekolah. Maka dengan berat hati ayah dan ibu mengirimku ke kota untuk belajar meskipun kebiasaan warga kampung yang menikahkan anaknya usai lulus dari sekolah. Itu tak berlaku di keluargaku, ayah dan ibu memiliki cita-cita yang tinggi untuk pendidikanku, akhirnya aku dititipkan di rumah di salah satu rumah sepupu ayah di kota.
Kehidupan di kota nyatanya tak seburuk apa yang dikatakan orang-orang di kampungku, meskipun demikian aku tak bisa memungkiri berbagai perbedaan signifikan yang kutemui di kota. Aku hanya butuh adaptasi, pikirku.
Walau begitu, aku sungguh senang. Di kota aku bisa menemukan banyak wajah-wajah baru, berkenalan dengan banyak orang, dan mengetahui nama mereka. Ah iya, perihal nama dan kartu nama itu masih menjadi kegemaran yang kugeluti. Aku masih rajin berkunjung ke banyak tempat untuk menemui orang-orang, mengajak berkenalan, dan sebisa mungkin meminta kartu nama mereka. Aku sendiri sampai saat ini belum memiliki kartu nama, aku masih mencari-cari referensi kartu nama terbaik yang sekiranya bisa membuatku jatuh hati. Sebetulnya, banyak sekali kartu nama mahal dan mewah yang kudapatkan, tapi saat ini belum satu pun dari mereka yang membuatku tertarik. Itu sebabnya aku ingin mengenal lebih banyak orang lagi.
Saban hari, usai kuliah aku selalu menghabiskan waktu di pinggir kota. Aku suka keramaian, aku suka banyak orang. Berbekal sebuah kamera hasil tabunganku selama enam bulan, aku giat berkeliling menyusuri tiap sudut kota, banyak hal yang menarik penglihatanku dan menarik tanganku yang gatal untuk memotret. Hobiku bertambah satu lagi, yakni fotografi, itu sebabnya aku konsisten mengikuti UKM Fotografi di kampus dan berhemat selama berbulan-bulan.
Ada yang mengusik pikiranku beberapa hari ini, yang menjadi objek tetap kameraku selama hampir dua pekan. Aku tak tahu mengapa alasannya, aku hanya tertarik untuk terus mengikuti perkembangannya dari hari ke hari.
Ia adalah seorang lelaki yang tak kutahu namanya, namun rasa-rasanya bila melihatnya dari jarak lima belas langkah ini, usianya tak jauh beda dariku. Perawakannya tinggi, tubuhnya kurus, rambut keritingnya jatuh hampir menutup matanya yang cekung. Aku rasa ia kurang tidur, atau ia kurang makan? Entahlah, mengapa aku mesti repot-repot memikirkannya.
Sebenarnya tak ada sisi menarik dari dirinya, tapi sebagian lagi aku tak bisa menyangkalnya. Ia suka duduk di tangga penyebrang jalan, kakinya menekuk menyanggah tumpukan kertas di tangannya. Sebuah pensil yang digenggamnya sibuk mencorat-coret kertas, kurasa ia sedang menggambar.
Tapi satu hari, aku tak berhasil menemuinya di sana, aku mencari-cari ke seantero tangga penyebrang jalan. Tak ada sosok bermata cekung itu, kemana ia? Pikirku.
“Kau mencariku?” tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara berat dan asing dari belakang pungkungku. Aku menoleh, lelaki yang kucari berdiri tepat di hadapanku. Dari dekat, aku bisa melihat air mukanya yang sendu, matanya memang cekung bak telaga di musim kemarau yang berkepanjangan, tapi dia lebih tampan dengan jarak sedekat ini.
Aku tak bisa memungkiri bahwa aku memang mencarinya seperti biasa, dan aku tak bisa mengelak bahwa selama ini aku diam-diam mencuri potretnya. Aku hendak meminta maaf, tapi ia terus berjalan dan seolah memberi instruksi padaku untuk mengikutinya. Ia sampai di tempat biasa aku mendapatinya, duduk menekuk dan mulai menggambar, aku mengambil tempat di sebelahnya. Setelah terdiam cukup lama, aku memberanikan diri untuk menyapanya lebih dulu.
“Aku Lentera, namamu siapa? Boleh kupinta kartu namamu?” seketika pensil di genggamannya berhenti berderit, ia mengangkat wajah dinginnya dan menatapku lamat.
“Tak apa jika tak mau, aku tak memaksa” ujarku gusar, sesungguhnya aku ngeri melihat kilatan cahaya matanya yang tajam menusuk, namun ia merogoh saku celananya, mengambil selembar kartu putih yang kemudian ia beri padaku.
Aku mengernyitkan dahi, tak kutemukan tulisan namanya di sana, bahkan tak kutemukan barang satu huruf pun yang berjejal di sana. Aku muntab, seenaknya saja ia mempermainkanku. Jika ia memang tak ingin memberi tahu namanya, bukankah ia bisa menolak?
“Apa-apaan ini?! Kau membodohiku” kulemparkan kartu kosong itu hingga mengenai wajahnya, aku bangkit dari dudukku dan hendak meninggalkannya.
“Aku tidak membodohimu, bukankah kau yang meminta kartu namaku?”
“Ya, tapi kartu nama yang bertuliskan namamu!” aku setengah berteriak
“Aku tak punya nama, lantas apa yang aku harus tulis disana?” aku mematung, bagaimana mungkin manusia di hadapanku itu tak bernama? Baru kali ini aku menemukan makhluk bernyawa tak bernama, manusia tak beridentitas. Aku jadi ingin tahu apa yang ia tulis di KTP atau Ijazah sekolahnya dulu, atau aku ingin tahu seperti apa orangtuanya yang tega tak memberikan nama untuk anak lelakinya itu. Setahuku, apa-apa di dunia ini memiliki nama, orang-orang yang kutemui semuanya punya nama, kucing tetanggaku di kampung punya nama, sapi dan kambing milik ayah-Ibu punya nama, bahkan benda-benda pun juga bernama bukan?
“Tak mungkin kau tak punya nama, bagaimana orang-orang akan mengenalmu sedangkan kau tak punya nama?” aku menyela, kartu nama di depan wajahnya telah raib tertiup angin, lantas jatuh ke jalan dan terlindas truk pengangkut semen.
“Kau ingin orang-orang mengenal dirimu atau namamu?”
Aku mendegut ludah, pertanyaannya menohok ulu hatiku. Aku seperti terlempar jauh ke masa silam, kala aku gemar-gemarnya mengoleksi kartu nama orang, saat aku benar-benar takjub pada nama-nama yang tertera di sana, nama-nama indah dengan titel yang bersandar di depan dan di belakang nama.
“Seindah apapun nama, ia tak akan pernah bisa mewakili apa-apa dari yang diberi nama, maka aku memilih untuk tidak bernama”
Aku diam saja, pertanyaanku ternyata melahirkan pertanyaan dan pernyatan darinya. Aku belum sepenuhnya memahami jalan pikiran manusia tanpa identitas di depanku ini. Dari mana ia berasal, siapa-siapa saja keluarganya, atau apa tujuan hidupnya. Aku terus mereka-reka, tak kuasa menahan rasa penasaranku padanya.
“Pulanglah, sudah hampir malam” ujarnya, dan memang benar, langit tampak muram dan sayup-sayup adzan maghrib telah berkumandang. Tanpa pikir panjang aku memutuskan untuk pulang, meninggalkan ruh berjasad tanpa nama itu yang menyeringai tajam.
Sepanjang malam aku memikirkan kata-katanya, menurutku ia cukup realistis, dan aneh. Untuk kali pertamanya sepanjang sejarah hidupku ada manusia sepertinya. Aku kembali membuka kumpulan kartu nama yang kudapat, kotaknya sudah lama kupindahakan ke tempat yang lebih besar karena jumlahnya sudah bertambah banyak. Aku mengamatinya satu-satu, seraya mengingat si empunya kartu-kartu tersebut.
Ahmad Solehudin, nama teman ayah pemilik lahan pertanian terluas di kampungku. Namanya sangat bagus, Ahmad yang merupakan penggalan dari Muhammad, dan Soleh yang artinya baik. Kabar yang kudengar kali terakhir adalah tentang kekejaman dan ketamakannya pada para petani upahannya, menjadi lintah darat dan bergonta-ganti istri seperti berganti pakaian. Sungguh kenyataan yang terbalik.
Ada lagi kartu nama cantik milik seorang perempuan muda yang kutemui di pinggir kota, Zahra Amira, permaisuri cantik seperti bunga. Pada kenyatannya aku akui ia memang cantik, namun kecantikan yang membawanya pada dunia malam dan menjajakan kecantikannya. Sungguh aku tak berbohong, ia sendiri yang mengatakan itu padaku.
Mungkin benar kata lelaki bermata cekung di tangga penyebrang jalan itu, nama tak akan pernah bisa menjelaskan esensi dari si empunya nama, tapi sesungguhnya bukan salah orangtua mereka memberikan nama, bukankah yang harus disalahkan adalah perbuatannya, bukan namanya.
Esoknya, ingin kuhampiri kembali lelaki itu, kususuri tangga penyebrang jalan, tapi tak kutemukan dirinya. Yang ada malah keramaian, banyak polisi, dan garis polisi berwarna kuning yang bercokol di sana. Berjuta pertanyaan terlontar di benakku.
“Apa yang terjadi?” tanyaku pada seorang ibu yang ada di tempat kejadian. Kebiasaan orang indonesia memang begitu, suka menonton dan bergosip tentang apa-apa yang terjadi di disekitarnya.
“Ada laki-laki jatuh dari tangga penyebrang jalan, lalu tertabrak truk pasir dan tewas di sana” kata si ibu seraya menunjuk ke jalan tepat di bawah jembatan.
Aku segera berlarian turun, lantas mendapati sosok lelaki yang tergeletak tewas dengan tumbuh bersimbah darah. Aku berteriak, tak percaya dengan apa yang barusan kulihat.
“Apa kau mengenal pria ini? kami tak berhasil menemukan identitasnya” tanya seorang polisi berkumis tipis. Tubuhku bergetar, bahuku terguncang.
“Ia…ia tak punya nama” gumamku.
sumber gambar: www.istockphoto.com