Tetiba saja, saya dilanda resah pikir dan gelisah hati. Ada kecamuk dalam pikiran dan perhatian saya, tatkala memasuki tanggal 17 Mei 2017 ini. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, selalu adem, riang gembira, bahagia meluap-luap. Sebab, pada momen inilah saya merayakan Hari Buku Nasional. Begitu pentingkah? Wow… amat sangat penting. Mengapa? Karena waktu yang saya mangsa untuk menapaki hidup dan kehidupan, yang angkanya sudah lebih setengah abad, separuhnya saya habiskan bersebadan bersama buku. Sehingga, sampailah saya pada simpaian tekad hidup, bahwa hidup tak bersetubuh dengan buku, adalah hidup yang tak layak dijalani.
Berlapikkan separuh hidup saya inilah, saya akan meruahkan pengalaman persetubuhan dan persebadanan dengan buku. Lalu, mengapa resah pikir dan gelisah hati, datang menerungku di kala perayaan hari buku nasional, yang semestinya ceria? Setidaknya, dua kejadian mutakhir musababnya. Pertama, pembatalan diskusi buku Salju di Aleppo yang menghadirkan penulisnya, Dina Y. Sulaiman, di Universitas Brawijaya Malang. Sebagaimana dilansir oleh Tempo.co. pembatalan itu disebabkan oleh adanya sekelompok orang, yang berafiliasi pada ormas tertentu, tidak setuju dengan buku dan penulisnya.
Kedua, penolakan dan ancaman pembubaran diskusi buku, Islam Tuhan dan Islam Manusia, karangan Haidar Bagir. Pun, alasannya sama, sekelompok orang yang menggabungkan diri pada ormas tertentu menganggap buku dan pengarangnya, menyebarkan faham tertentu. Diskusi buku yang diselenggarakan oleh mahasiswa di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta, memaksa pihak rektorat turun tangan, untuk ambil bagian dalam menjamin keberlangsungan diskusi itu, demi menjamin kebebasan akademik.
Sesarinya, sebelum dua peristiwa itu, amat sering terjadi insiden yang sama di berbagai tempat. Lebih dari itu, ancaman sweeping buku tertentu di toko buku sering mengintai. Alasan pokoknya sama saja, ketidaksetujuan dengan muatan dan orang yang bakal mendiskusikan buku itu. Padahal, idealnya, jikalau saja ilmu pengetahuan dijunjung tinggi, setinggi-tingginya, maka langkah yang paling beradab adalah membuat buku, sekaligus mendiskusikannya, yang merupakan bantahan atau koresksi terhadap buku yang tidak disepakati itu. Sehingga, terjadilah proses dialektika dalam ilmu pengetahuan. Dengan begitu, ilmu akan berkembang secara berkesinambungan. Dan, pada akhirnya, melahirkan pengetahuan baru, yang akan memandu jalannya peradaban.
***
Saya ajak kembali ke perkara, persetubuhan dan persebadanan saya dengan buku. Bila pertautan saya dengan buku, saya defenisikan dalam bentuk persetubuhan, maka yang saya maksudkan adalah, bagaimana saya mulai membaca buku, merasakan sentuhan-sentuhan isinya, sehingga tiba pada orgasme intelektual. Sedangkan, persebadanan dengan buku, maka saya tujukan, merupakan kegiatan dalam bisnis buku, lahan mencari nafkah, buat menegakkan raga yang makin merenta. Jadi, bersetubuh dengan buku, muaranya pada urusan makam keruhanian, sementara bersebadan dengan buku, akhirnya berujung pada perkara makan kejasmanian. Makam dan makan, dua hal yang berbeda, tapi saling menguatkan.
Soal bersetubuh dengan buku, lebih dulu saya rasakan. Kala menjadi mahasiswa di IKIP Ujung Pandang, masuk tahun 1985 dan sarjana 1992. Tujuh tahun lebih bergumul, orgasme intelektual amat sering saya puncaki. Buku-buku yang saya lahap lumayan banyak. Kemampuan baca saya di atas rata-rata kawan-kawan saya. Belum lagi bidang tema kajian pemikiran, saya merambah ke belantara pemikiran, yang oleh kawan saya sering dianggap sesat menyesatkan. Tapi, bagi saya, tersesat di belantara pengetahuan, jauh lebih mulia, sebab di ujungnya, ada benderang kebenaran menanti. Soal jumlah buku koleksi saya, hingga selesai jadi mahasiswa, hitungan saya, lebih lima ratus judul. Dan, masih menjadi bagian dari koleksi perpustakaan keluarga saya, yang kini jumlah koleksinya ribuan.
Perkara bersebadan dengan buku, maksud saya berbisnis buku, mulai setelah lulus kuliah. Saya memilih untuk tidak menjadi guru, seperti pilahan kawan-kawan IKIP saya. Saya memulainya dengan menjinjing buku, atau membawanya pake tas ransel, menawarkan pada berbagai pihak, terutama pada dosen-dosen saya di kampus. Pergulatan ini, hampir setahun saya jalani. Dan, setelah saya nikah, tahun 1993, barulah saya buka sebuah toko buku sederhana, di bagian utara kota Makassar, dengan nama Paradigma Ilmu. Nama “Paradigma”, saya ambil berkat penjelasan, dari seorang ilmuan yang nyentrik pikirannya akhir tahun 80-an, Hidayat Nataatmaja.
Pertanyaan klasik yang sering diajukan kepada saya, mengapa memilih bisnis buku? Saya terkadang sok teoritis memberi penjelasan, bahwa dengan berbisnis buku, paling tidak ada tiga yang bisa saya wujudkan. Pertama, tentulah sebagai lahan mengais reski. Kedua, menggumuli hobi pada buku, yang sejak mahasiswa, kegilaan pada buku sudah membuncah. Dan, ketiga, bersentuhan setiap saat dengan buku, idealisme saya tentang jalan juang kehidupan, terpelihara. Tiga pilar inilah, yang mengukuhkan saya pada langgengnya persetubuhan dan persebadanan dengan buku.
***
Peruntungan hidup menghidu saya di tahun 1993. Saya dimudahkan untuk menikahi seorang gadis, yang juga gila buku. Pasangan saya, Mauliah Mulkin, sejak mahasiswa sudah akrab dengan buku. Di tempat indekosnya, paruh waktu ia menjual buku-buku, yang diperoleh dari sebuah toko buku yang ditutup oleh pemiliknya, karena hijrah ke kota lain. Jauh sebelum itu, ternyata ia punya tradisi baca di keluarganya. Tatkala saya pergi melamarnya, saya melihat di selasar rumahnya, sebuah rak yang berdiri kokoh, penuh dengan buku-buku. Rupa-rupanya, koleksi bapaknya. Sebagai penggila buku, mata saya tak berkedip memandangi judul-judulnya. Sekadar menghangatkan ingatan, pada rak buku itu, ada bukunya Alvin Toffler, The Future Shock, dan Islam Doktrin dan Peradaban anggitan Nurcholis Madjid. Kedua buku itu, adalah buku-buku yang terdepan sebagai bahan bacaan kaum intelektual Indonesia era itu.
Kesamaan selaku penggila buku, inilah yang menyebabkan kami terjun bebas menjadi pebisnis buku. Tahun 1994, saya pindah ke selatan kota Makassar, dan toko buku kami pun ikut pindah. Dan, sampai saat ini, rumah yang kami mukimi bersama tiga orang putri, dan satu putra, masih berfungsi sebagai toko buku. Namanya kami tetap pertahankan, Toko Buku Paradigma Ilmu. Sepuluh tahun kemudian, saya buka lagi cabangnya, dengan nama, Toko Buku Papirus di Tamalanrea Makassar. Dan, lima tahun berikutnya, tahu 2010, saya mendirikan cabangnya lagi di kampung halaman saya, Bantaeng, dengan nama, Toko Buku Boetta Ilmoe.
Sekotah toko buku yang saya dirikan, selalu punya komunitas, tepatnya komunitas literasi. Ada Paradigma Institute, Papirus Community, dan Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan. Komunitas-komunitas ini, bergerak di gerakan literasi. Pada setiap komunitas ada aktivitasnya masing-masing. Selain menyerukan pentingnya meningkatkan minat membaca dan menulis, pun setiap komunitas telah menerbitkan buku. Ada beberapa buku yang diterbitkan lewat Paradigma, Papirus, dan Boetta Ilmoe. Bahkan, geliat paling terkini, bersama kawan-kawan di komunitas, membuat media daring, Kalaliterasi.com. Juga mendirikan Bank Buku Boetta Ilmoe di Bantaeng. Kesemuanya itu terwujud, sebagai bentuk aktualisasi dari pilar melestarikan hobi dan jalan juang literasi yang saya pilih.
Di masa kiwari ini, bersama keluarga kecil saya, hidup bersama buku. Baik buat kebutuhan persetubuhan jiwa, maupun untuk persebadanan raga. Anak-anak yang tumbuh, pun, tradisi baca bagi mereka, merupakan harga mati, yang tak bisa mereka tawar. Terkadang, saya lebih sering ingatkan agar membaca buku, melebihi ajakan menunaikan ibadah personal. Sebab, bagi saya, membaca buku juga adalah ibadah. Kalau perintah ibadah personal tidak dilaksanakan, maka akibatnya, ia hanya akan berurusan dengan Tuhan. Sementara, jika tidak baca buku sebagai ibadah, maka peluangnya menjadi manusia reaksioner sangat mungkin. Syukur-syukur kalau tidak bergabung dengan ormas yang suka melarang diskusi buku.
***
Buku akhirnya menurungku saya dan pasangan saya. All about book, semuanya tentang buku. Begitulah kira-kira pantasannya. Maka tak eloklah jikalau tak ada bukti terungku itu. Karenanya, beberapa tahun yang lalu, tepat di ulang tahunnya pasangan saya, bukunya saya terbitkan, dengan judul, Dari Rumah untuk Dunia. Pun, saya juga telah menerbitkan sebuah buku, sehimpunan puisi, yang berjudul, AirMataDarah. Sebenarnya, pasangan saya masih memilki tiga lagi naskah yang siap terbit. Saya pun demikian, ada empat naskah yang bakal terbit. Tapi, karena “uang yang maha kuasa” belum juga berkenan, tertundalah hingga tulisan ini saya bikin.
Kini, dan di sini, saya dan segenap penghuni rumah, mengawal toko buku dan komunitasnya. Menjadilah saya pebisnis buku dan pegiat literasi. Jadi, jikalau suatu waktu, kisanak-kisanak bersua dengan saya, besar kemungkinan dalam dua kondisi. Pertama, lagi jaga toko buku, berarti menjual buku, pastinya mencari makan. Kedua, selaku pegiat literasi, situasinya melanglang buana, menggelandang sembari berseru agar membaca dan menulis, konkritnya memburu makam. Mencari makan dan memburu makam, bagi saya, adalah sunyatanya hidup dan kehidupan, yang layak untuk dijalani.
Pegiat Literasi dan Owner Paradigma Group. CEO Boetta Ilmoe_Rumah Pengetahuan Bantaeng. Mengarang buku Sehimpunan Puisi AirMataDarah (2015), Tutur Jiwa (2017), Pesona Sari Diri (2019), Maksim Daeng Litere (2021), dan Gemuruh Literasi (2023). Kiwari, selaku anggota redaksi Kalaliterasi.com.