Coretan untuk Kesadaran

Kobaran api menyalak, melahap pondok tempat petani berteduh di kala terik matahari mulai menyengat. Kebun yang sedang petani itu garap untuk menghidupi keluarga dirusak. Sebidang lahan tempat petani itu menaruh harapan dan untuk sekedar ingin melihat wajah anak-anaknya tidak mengekspresikan raut wajah kelaparan. Hanya demi itu, dia rela wajahnya bengkak dan memar.

Hari itu suasana mencekam, warga Tiberias, Kabupaten Bolaang Mongondow, Provinsi Sulawesi Utara, menghadang sekelompok oknum Korporasi yang menurut pandangan mereka ingin menjarah tempat sekaligus sumber kehidupan mereka. Kata protes pun keluar dari mulut mereka dan tangisan sebagai bentuk perlawanan. Namun, kata-kata dan tangisan itu mendapatkan suatu jawaban yang cukup membingungkan. Apakah seperti itu standar operasional prosedur (SOP) untuk menenangkan massa yang tak bersenjata? Massa yang hanya menggunakan kata dan air mata.

Sengketa lahan ini sudah cukup lama bergulir. Masyarakat Tiberias dan PT Malisya Sejahtera saling menggugat. Entah kenapa rasa sabar pada pihak Korporasi untuk melakukan pendekatan yang lebih manusiawi menghilang. Keserakahan Kapitalisme bak Vampir yang sudah berhari-hari belum menghisap darah manusia. Dengan kekuatan yang mereka miliki, korporasi kelaparan itu, memobilisasi aparat keamanan. Maka terjadilah : atas nama hukum, oknum aparat menggunakan otoritas yang melekat dan membuat masyarakat Tiberias tiarap.

Seperti itulah deskripsi yang digambarkan oleh Mongabay.co.id, setelah menghubungi Abner Patras yang merupakan warga Tiberias.

Aksi main hakim sendiri tanpa membudayakan sikap persuasif adalah bukti bahwa ada kegagalan pelaksanaan prosedur di negara ini. Tangan anak negeri yang diperuntukkan untuk menyasar musuh negara, kini disalahalamatkan kepada mereka yang hanya mempunyai kata dan air mata. Atau mungkin mereka tidak mempunyai lagi lawan yang setara.

Moncong senjata yang seharusnya diarahkan kepada musuh Negara serta yang bersenjata, kini telah salah arah. Atas nama hukum negara senjata itu berbalik arah. Di mana budaya kompromi dan edukasi sebagai bentuk kongkrit dari mengayomi? Mungkin kejernihan dalam berfikir terbatasi dengan emosi yang memuncak. Mungkin.

Kapan sikap represif dari segelintir oknum aparat keamanan yang merupakan bentuk sikap genealogi dari orde baru (ORBA)  ini terputus, dan mengutamakan jalur-jalur persuasif dan edukasi sebagai budaya. Mana sebenarnya lebih menyentuh hati; tangisan warga atau senyuman pengusaha. Humanisasi selalu digaungkan di setiap kesempatan –namun prakteknya seringkali berakhir mengerikan (dehumanisasi).

Begitu pun dengan pemerintah terkait, harus mengambil langkah cepat dan tepat dalam situasi seperti ini –serta harus berlaku adil. Jangan melakukan perselingkuhan dengan pihak korporasi hanya karena mungkin dia seksi dan mengkhianati cinta rakyat yang telah memilih kalian sebagai kekasih yang tepat. Buktikan janji suci kalian yang telah dikumandangkan. Jangan berikan rakyat harapan palsu hingga mendedah pintu surga, tapi dalamnya neraka.

Apakah semua ini seperti memperbincangkan kembali konsep “Ratu Adil” dalam wacana kekuasaan? Di mana keadilan masih nun jauh serta lindap bagai utopia. Di mana masyarakat terombang-ambing tanpa arah, hanya karena berada dalam situasi krisis akan sebuah harapan. Ernst Bloch seorang filsuf Marxis pernah berkata, bahwa fungsi yang benar dari sebuah utopia; bukanlah untuk melarikan diri dari sebuah realita, namun memberikan sesuatu menuju masa depan.

Kejadian yang mengerikan itu akan terus dikenang, dan menjadi sejarah kelam tentang penindasan di bumi Totabuan. Biarkan kisah ini dibaca di pelosok negeri, agar di sudut-sudut negeri ini tahu bahwa di daerah tempat aku berasal, ada realitas penindasan atas nama hukum. Perlakuan sewenang-wenang sebagai sikap ksatria yang membuat tanda memar dan bengkak di mata orang lemah dan tak bersenjata.

Maafkan kami dari segelintir pemuda Bolaang Mongondow, hanya bisa membantu kalian lewat kata. Tapi kami percaya, bahwa kata-kata ini: akan menyelinap dan menembus kulit mereka, membuat jantung mereka berdegup kencang serta menjadi racun (hantu) yang mengendap di pikiran mereka serta anak cucunya. Berteriaklah, perjuangkan keadilan dan hak kalian –maka kata-kata kalian akan membentuk bahasa yang lebih tajam dibandingkan dengan senjata mereka. Semoga dengan tulisan ini, akan membentuk kesadaran dan memutuskan mata rantai kekerasan di tanah “Totabuan”, atas dasar apa pun.

Saya bingung dengan konsep keadilan di negeri ini, sebingung penggalan sajak dari W.S. Rendra : “kita ini dididik untuk memihak yang mana? Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini akan menjadi alat pembebasan, ataukah penindasan?”.

 


 

sumber gambar: merdeka.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *