Kala Literasi

Kelas Literasi Paradigma Institute Makassar

Tentang Waktu

In memoriam, Halimah Usman.

Senja baru saja turun, hampar ke seluruh penjuru kota Makassar. Aku tak hendak menyaksi matahari terbenam di Kampoeng Popsa atawa di Pantai Losari yang banyak dinanti-nanti orang. Tapi, aku bergegas memasuki gerbang Fort Rotterdam, di mana perhelatan MIWF (Makassar International Writing Festival) 2016 sedang berlangsung. Kala kakiku kupijak melewati gerbang, suara perempuan menyapaku akrab dan familiar. Ia kerap menyapaku, ustadz dan kerap pula memanggilku kakak. Untuk sapaan ustadz, bagiku punya cerita panjang dalam jejak-jejak hidup yang dinamis.

Kak..sama siapaki (aksen Bugis-Makassar)? tanyanya ramah dan lembut. Aku menoleh ke muasal suara perempuan itu. Eh..Ima, sendiri dik, jawabku, tapi saya janjian dengan teman-temanku di sini. Ima, dengan siapa? Tanyaku balik, ada teman-teman di dalam kak. Aku berjalan beriringan dengan langkah sangat pelan, sembari berbincang tentang event MIWF yang sangat menarik dan selalu dihadirinya. Pandagan kami tentang MIWF, sama, sebagai event yang menginpirasi dan belajar berbagai hal tentang sastra dan literasi. Ia juga mengungkapkan keinginannya menulis. Di mata dan gesture tubuhnya kala menyampaikan keinginan dan minatnya tersebut sangat serius dan semangat yang tinggi.

***

Aku tahu adik manis yang akrab disapa Ima ini mengajar di sebuah sekolah yang peruntukannya untuk anak-anak yang kurang beruntung yang berorangtua miskin, yang didirikannya bersama kawan-kawannya dengan komitmen yang sangat ideal membebaskan dari semua pembayaran untuk anak-anak didiknya. Bersama teman-temannya berbuat tanpa pamrih untuk sebuah pengabdian kemanusiaan. Model atau sistem pendidikannya pun out of the box alias keluar dari genre umum, sebab dalam hal ini proses pendidikan berlangsung riang gembira dan nyaman. Orangtua dan keluarga siswa pun dilibatkannya dalam proses panjang pembelajaran. Setiap siswa yang berprestasi dan punya keinginan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi dan tak memiliki biaya, diusahakannya pula mencari donatur di ruang lingkup yang tak terlalu luas tanpa terbebani oleh tegen-prestasi dari orang-orang yang ingin berpartisipasi.

Sesungguhnya, aku jarang sua dengannya termasuk komunitas sekolah rakyat yang didirikannya bersama sahabatnya yang semua anggotanya kukenal, sebab kesibukanku mengais nafkah di kampung seberang. Sesekali kala ada event yang kami mesti hadir barulah kami sua. Sua pun cengkrama kami pada hal-hal yang ringan saja. Jadi, secara pribadi banyak hal yang tak kuketahui kecuali aktivitas kreatif dan kemanusiaanya yang kutahu, mungkin seperti juga dengan kawan-kawanku yang lain.

Kemudian, di suatu hari yang riuh di lapak-lapak sosmed, terkirim info bila beliau sedang berbaring meringkuk derita sakit yang menderanya. Aku dan istri mengunjunginya di sebuah rumah sakit. Kulihat ia tegar walau senyatanya ia menahan sakit yang akut. Berceritalah ia akan sakitnya yang telah lama menderanya namun berusaha melawannya dengan ketegaran dan kekuatan yang dimilikinya.

Di pojok rumah sakit yang temaram itu, kulantunkan doa di hatiku untuk kesembuhan dan kesabarannya. Aku berduka melihatnya terbaring tak berdaya. Berharap umurnya dipanjangkan oleh yang kuasa, untuk melanjutkan kerja-kerja kemanusiaan yang telah di torehnya di jalan panjang. Sebelum aku dan istri meninggalkan rumah sakit, beliau masih mengingatkanku, doakan saya, ustadz. Kali ini ia menyapaku ustadz. Insha Allah dek, jawabku singkat dalam perih di hati.

***

Tentang waktu yang kita jejaki kerap kita dikejutkan oleh peristiwa yang tak ternyana. Belum setahun kami bersama menyaksi perhelatan MIWF di Makassar dengan riang gembira, kini ia tergeletak tak berdaya di kamar rumah sakit dengan derita yang ia nikmati. Itulah waktu yang mengalir tak terbendung. Emmanuel Kant sudah menegaskan, bahwa waktu selalu terkait dengan ruang. Keduanya adalah bagian dari pikiran manusia. Pandangan ini dikembangkan selanjutnya oleh Albert Einstein. Ia melihat, bahwa waktu tidak pernah bisa dipisahkan dari ruang. Maka dari itu, ia merumuskan konsep ruang-waktu untuk menegaskan maksudnya.

Pada awal abad ke-20, Filsafat Barat menimba banyak sekali pemikiran dari Filsafat Timur, terutama tradisi Taoisme dan Buddhisme yang berkembang di Cina dan India. Di dalam Filsafat Timur, waktu dilihat sebagai persepsi manusia. Ia tidak bisa dipisahkan dari kedirian manusia itu sendiri. Pandangan semacam ini sudah mengakar begitu dalam di dalam tradisi Cina dan India. Mereka melihat, bahwa waktu tak bisa dilepaskan dari pikiran manusia. Maka dari itu, bisa juga dirumuskan, bahwa waktu adalah aku. Jika Einstein melihat kaitan tak terpisahkan antara ruang-waktu, maka Filsafat Timur melihat kaitan yang tak terpisahkan antara aku-waktu.

Peradaban Eropa melihat waktu sebagai sesuatu yang linear, yakni sesuatu yang bergerak lurus. Ia terdiri dari masa lalu, masa kini, dan masa depan. Ketiganya dilihat sebagai tiga hal yang berbeda, walaupun saling berhubungan. Jika masa lalu sudah lewat, maka ia sudahlah berlalu, dan tak akan bisa kembali lagi.

Martin Heidegger, filsuf Jerman di awal abad ke-20, menimba pemikiran dari kedua tradisi tersebut. Baginya, waktu adalah horizon hidup manusia. Dalam arti ini, manusia adalah mahluk yang mampu mempertanyakan dasar dari seluruh kenyataan yang ada. Ia berada di dalam kenyataan, dan selalu hidup di dalam tiga kategori waktu yang terjadi secara bersamaan, yakni masa lalu, masa kini, dan masa depan.

***

Dalam perspektif Imam Ali, waktu tidak hanya bergulir di bumi fana ini tapi ia terkait dengan masa depan setelah kehidupan di semesta ini kekehidupan di keabadian tanpa batas. Karenanya, Imam Ali dalam kata mutiara ke-21 Nahjul Balaghah, berkata, “Kesempatan berlalu laksana awan, oleh karena itu, kejarlah kesempatan-kesempatan baik”.

Waktu atau masa sungguh sangat bernilai sehingga Allah Swt banyak menyinggung tentangnya di berbagai ayat. Pada ayat pertama surat al-Asr, Allah Swt bahkan bersumpah demi masa. Surat al-Asr menjelaskan sebuah hakikat yaitu waktu dan umur manusia benar-benar sangat singkat. Sayangnya, mereka baru memahami hakikat besar itu ketika ajal menjemputnya dan meninggalkan dunia ini untuk selamanya. Pada detik-detik itu, mereka akan merasakan bahwa betapa singkatnya masa hidup di dunia ini. Dalam surat an-Nazi’at ayat 46, Allah Swt berfirman, “Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari.” Sementara surat Yunus ayat 45 menyebutkan, “Dan (ingatlah) akan hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka, (mereka merasa di hari itu) seakan-akan mereka tidak pernah berdiam (di dunia) hanya sesaat di siang hari.”

***

Dari perhelatan MIWF 2016, pertemuanku secara fana untuk yang terakhir kali, berbincang dan bercengkrama tentang literasi dan setelah berjibaku dengan sakitnya di rumah sakit. Jelang perhelatan MIWF 2017, sayup-sayup kudengar berita, bila perempuan muda ulet dan berdedikasi, untuk kemanusiaan dan religiusitas, telah berpulang meninggalkan kita semua dan alam fana ini.

Ima Telah berjibaku menjalani waktunya sebaik mungkin, sebanyak manfaat yang diberikan pada sesama dan Tuhan-Nya. Sejenak aku terhenyak. Ah..aku tak menyuanya lagi di perhelatan MIWF tahun ini. Adik Ima, semoga engkau bahagia di keabadianmu.