Leader or Boss

“Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya.” (Hadits).

Tempo hari di sebuah desa bernama Kambuno. Saya sedang asyik masyuk mengisi paru-paru dengan udara segar pedesaan, sebab di kota terpaksa menghirup udara kaya polusi. Rimbunnnya pepohonan cengkih memanjakan mata, yang entah sudah berapa lama hanya melihat hutan batu bata dari gedung-gedung tinggi. Dan siulan burung kutilang yang saling menyahut, untuk sementara waktu menggantikan bising suara klakson besi berjalan di kota metropolis akibat kemacetan.

Perbedaan atmosfer desa dan kota jelas terbentang. Desa masih serupa gadis yang molek, dengan kecantikan alami dan perangai yang ramah. Keperawanannya masih terjaga oleh adat istiadat dan jiwa kekeluargaan masyarakat. Sedang kota tampak menua. Pesonanya bersumber dari kecantikan buatan, make up semen beton dan asap. Tangan-tangan nakal bernama liberalisme dan materialisme sudah menjamah dan merebut keperawanannya. Masyarakat mulai teralienasi menjadi orang-orang individualis.

Di hadapan secangkir kopi hangat dengan aroma khasnya, sahaya berbincang-bincang hangat dengan kawan tentang berbagai hal. Serupa diskusi lepas, yang konon katanya sudah jarang digelar sekaum pelajar di era kiwari ini. Sebab kecenderungan generasi hari ini adalah bercumbu dengan teknologi, dan lambat laun tanpa kita sadari otak kita mulai tergantikan smartphone. Maka kecanggihan teknologi yang dimiliki, menjadi parameter kepintaran seseorang.

Hingga bertuturlah ia tentang leader dan boss. Hal yang saya pahami sebagai sesuatu yang sama, tapi menurutnya memiliki substansi yang berbeda. Toh, antara leader dan boss tetaplah bermakna pemimpin. Leader berasal dari bahasa Inggris yang artinya pemimpin. Dan secara sederhana pemimpin dapat kita definisikan sebagai seorang yang mampu mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan bersama. Akan tetapi, proses mempengaruhi antara leader dan boss sangatlah berbeda.

Seorang boss pada sebuah perusahaan akan menjadi sangat berpengaruh karena karyawan takut dipecat atau takut gajinya dipotong. Jadi, seorang boss mempengaruhi seseorang lewat ikatan materi. Sedang seorang leader akan dipatuhi dan dihormati bukan karena adanya ikatan materi atau kontrak kerja dengan orang-orang yang dipimpinnya. Dia menghegemoni orang-orang melalui karakter dan sikapnya.

Setiap orang memiliki jiwa pemimpin dalam dirinya. Hal tersebut merupakan fitrah manusia. Karena di antara makhluk lain, manusia diberikan jubah kehormatan. Kehormatan itu adalah kekhalifahan manusia, tutur Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya Meraih Cinta Ilahi. Al-Qur’an menceritakan hal tersebut sangat indah melalui percakapan antara Tuhan dan Malaikat.

Alkisah, kala makhluk bernama manusia hendak diciptakan oleh Tuhan, sebagai khalifah di muka bumi. Malaikat protes, lalu bertanya kepada Tuhan tentang tujuan menciptakan manusia. Malaikat mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang akan menumpahkan darah sesamanya. Manusia akan mengeksploitasi bumi, sehingga bumi nan indah akan menjadi tempat yang mati dan hanya dipenuhi bau anyir darah. Sedang mereka – para malaikat – merupakan makhluk yang taat dan senantiasa bertasbih memuji keagungan Tuhan.

Sebagai Dzat yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana, Tuhan melalui firman-Nya menjelaskan kepada para Malaikat yang gusar akan rencana Tuhan, bahwa “Aku lebih mengetahui apa yang tidak engkau ketahui.” (Qs. Al-Baqarah: 30).

Kang Jalal melanjutkan bahwa jubah kekhalifahan itu adalah amanah. Maka pemimpin harus menjadi sosok bertanggung jawab dan mampu menundukkan ego pribadinya.

Potensi inilah yang harus diasah karena kedudukan manusia sebagai makhluk sosial menghendaki manusia senantiasa hidup dalam kelompok, baik kelompok kecil bernama masyarakat atau keluarga. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan Gus Dur melalui adagium “tiada agama tanpa kelompok/masyarakat, tiada masyarakat tanpa kepemimpinan dan tiada kepemimpinan tanpa sang pemimpin.”

Pengenalan akan potensi dan fitrah sebagai khalifah, makhluk yang diciptakan untuk menjadi pemimpin – demikian saya memahami makna khalifah – sangat diperlukan. Karena menurut Murthada Muthahari dalam Filsafat Kemanusiaan, “bahwa melalui dunia manusia mencoba mengenal dirinya. Pengalaman dan pengamalan pengetahuan sangat dibutuhkan untuk mencapainya”.

Walaupun demikian, tidak semua orang mampu menjadi seorang leader bagi kelompoknya. Karena banyak orang dalam posisinya sebagai pemimpin, tidak mampu bertanggung jawab dan berlaku layaknya boss – bisanya hanya memerintah dan mementingkan diri sendiri. Sikap, sifat, dan karekater yang dimilikinya sangat menentukan. Tapi, bukan berati seorang bos tidak mampu menjadi seorang leader.

Olehnya, masyarakat Sulawesi Selatan harus lebih jeli dan cermat dalam memilih top leader. Apakah pemimpin yang berjiwa leader ataukah boss yang akan menjadi nahkoda Sulawesi Selatan? Gus Dur sekali lagi menasihati bahwa pemimpin yang baik adalah orang yang kebijakan dan tindakannya haruslah terkait langsung kepada kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *