Kata Mereka, Ini Namanya Perjuangan

Rutinitas berjalan hingga kematian menjadi pemutus dari rangkaian hidup. Seorang ibu bangun subuh bersiap-siap bekerja, seorang anak bangun pagi bersiap-siap bersekolah. Si Ibu membawa dua bekal nasi. Sang Anak membawa satu bekal nasi. Keduanya pergi bersama-sama.

***

“Hidup mahasiswa.”

“Hidup rakyat.”

“Penindasan harus dilawan.”

“Mahasiswa bersama rakyat bersama-sama berjuang.”

Teriakan semacam itu, dapat ditemui di kampus-kampus, dalam kurun waktu kurang lebih 3 kali dalam setahun, seperti May Day, Hardiknas, atau hari-hari yang telah ditentukan oleh segerombolan mahasiswa aktivis, dalam menyampaikan ide, atau gagasan, kadang pula keluhan. Orang-orang menamainya aksi demo.

Bermodal pita suara alami, dibantu oleh atribut aksi demo, mahasiswa dan mahasiswi turun ke jalan. Salah seorang di antara beribu-ribu manusia, yang masih hidup di muka bumi berkata, Lho mereka memang berada pada ketinggian berapa hingga harus turun? Namun mereka merasa demikian, walaupun kata bergeser, akan lebih tepat daripada kata turun.

Sebelum adegan itu, ada seremoni terlebih dahulu, menyanyikan lagu Kesaksian, punya si Om iklan kopi, Iwan Fals. Mengulang sumpah pemuda, lalu bergeserlah mereka dengan yel-yel sama, sejak dari tahun gajah. Dari kejauhan akan terlihat layaknya semut-semut berbadan besar dan kecil berwarna merah, sedang berbaris teratur perlahan-lahan bergerak.

Sampailah mereka pada beberapa titik, meneriakkan ungkapan marah, kekecewaan, yel-yel semangat, nyanyian, dan semacamnya, yang akan mereka perdengarkan pada pengendara jalanan. Berganti-gantian, satu orang ke orang yang satu. Teriakan digaungkan oleh mulut para petinggi lembaga mahasiswa, atau mahasiswa baru seperti roti fresh from the oven, masih panas seusai melewati pengaderan. Ketika fisik dari mereka sudah mulai merasakan kelelahan, air gelas, rokok dan roti adalah hal yang paling diinginkan. Jika anggaran dana masih mencukupi, nasi bungkus menjadi menu utama. Energi tertambah 20 persen sisanya 80 persen semangat.

Menjelang malam, pembubaran diri sendiri akan dilakukan, atau terpaksa bubar dengan datangnya pihak kepolisian, bersama mobil berstempel stiker, “kami bersedia melayani masyarakat.”

***

Keesokan paginya, seorang ibu menyuap beberapa sendok dari dua bekal nasinya, sebagai penambah energi dari tugas yang tak ingin ia hadapi. Lantas bergegas ia mengambil alat kerja, dimulai pukul enam pagi hingga enam sore. Ia memunguti, menyapu, mengumpulkan sisa-sisa aksi demo. Hingga lalu lintas semakin macet, mengingatkan akan jam pulang pekerja kantor, si Ibu belum juga selesai. Terlalu banyak yang ia harus kerjakan, tidak sesuai upah yang diberikan oleh si Bos. Jalanan tidak lagi sepadat itu, si Ibu pun akhirnya bisa pulang.

***

Pulang dalam keadaan lelah bertemu dengan si Anak, mereka berdua tidur dalam satu kasur ukuran dua orang. Jam tiga subuh, si Ibu bangun dan berdoa agar Tuhan menyertainya menghadapi beban kerja, diiringi oleh isakan tangis, membangunkan si Anak yang ikut pula duduk berdoa, harapan agar tidak ada lagi sisa-sisa sampah yang ditinggalkan oleh aksi demo. Doa diakhiri dengan kepasrahan, kalaupun hal itu masih tetap saja terjadi, ia ingin diberi energi sebanyak mungkin untuk melewatinya.

***

Di tempat lain, sekumpulan asap rokok bersama pelaku aksi berkonsolidasi untuk merencanakan lanjutan dari aksi kemarin. “Perjuangan harus kita lakukan teman-teman.”… “Jangan patah semangat.”… “Mereka harus kita sadarkan.”… “Kita membela rakyat yang tertindas.” Beberapa potong dari percakapan soal menyoal perjuangan.

***

Entah apa yang waktu inginkan, hingga mempertemukan si Ibu dengan salah seorang pelaku aksi demo. Si Ibu curhat dengannya mengenai kerjaan yang tidak sesuai upah, kelelahan atas sampah-sampah, bahan pokok semakin naik, dengan harapan agar si pelaku memahami kehidupan pekerja seperti dirinya. Jangan hanya menyuarakan. Masuklah si Ibu pada inti curhat sedari tadi ingin ia katakan

“Janganlah kau jual nama kami, kau sendiri tidak tahu apa yang kami rasakan, bantulah kami sesuai apa yang mulutmu lontarkan. Kami tidak meminta uang dari kau, atas upah yang tidak sesuai. Cukup kau tidak membuang sampah. Itu sudah membantu kami.”

Si pelaku berkata dengan bersemangat

“Inilah namanya perjuangan Bu, kami bersama Ibu, Ibu harus mendukung kami, bla…bla…”

Si Ibu hanya melihat mulut si pelaku tanpa mengerti apa isi pembicaraannya. Berusaha ia mencerna siapa yang pelaku dukung dan apa itu perjuangan. Tetapi sia-sia. Si ibu hanya diam mendengarkan orasi privat dari pelaku.

***

Pagi pun berlalu dengan nama perjuangan. Malam itu si Ibu masih saja berjuang dalam bekerja.

  • Entah pendengarannya seorang kisanak kurang jelas, atau kata-kata saya tak tangkas, sehingga ajakan saya ke satu hajatan disalah-pahami. Betapa tidak, Gusdurian menghelat haul Gus Dur, dia tangkap sebagai acara makan durian, terlebih lagi bakal minum jus durian. Mungkin kata Gusdurian menjadi biangnya. Apalagi sudah masuk musim durian. Sesarinya, hajatan haul Gus Dur (K.H. Abdurrahman Wahid,…

  • (Suatu Tinjauan Sosiologi Kekerasan) Kawasan Timur Tengah kembali memanas pasca kelompok Hamas Palestina menggencarkan serangan mendadak ke Israel tidak jauh di perbatasan Gaza, Sabtu (7/10/23) dini hari waktu setempat. Akhir pekan yang berubah mencekam, karena serangan ribuan nuklir itu tepat ditujukan ke Tel Aviv dan Yerusalem, menembus sistem pertahanan Iron Dome menghancurkan banyak bangunan. Frank…

  • Aktivitas manusia di era sosial media adalah produksi dan distribusi konten. Konten quote-quote adalah konten yang paling banyak berseliweran. Quotation adalah sebuah kalimat atau syair pendek yang disampaikan dalam rangka memberi makna ataupun mengobati perasaan derita dalam hidup. Penderitaan divisualisasikan dan didistribusikan melalui quote pada jejaring sosial media dalam upaya agar setiap orang diharapkan dapat…

  • “Saya tidak memikirkan representasi kecantikan yang lebih baik daripada seseorang yang tidak takut menjadi dirinya sendiri.” Pernyataan Emma Stone ini memberi sugesti pada saya betapa cantiknya seorang perempuan yang dikisahkan oleh dosen-dosen filsafat, dan yang digambarkan dalam film Agora yang pernah saya tonton. Sekitar 8 Maret 415 Masehi, kota Alexandria (Mesir) telah menjadi saksi bisu…

  • “Cita-cita kamu apa?” Ini adalah sepenggal pertanyaan yang begitu membosankan bagiku. Aku masih, dan selalu ingat. Betapa orang-orang sering mengajukannya kala aku masih di Taman Kanak-Kanak. Mulai bapak dan ibu. Tante dan om. Nenek dan kakek. Juga sepupu yang usianya terlampau jauh di atasku. Di sekolah pun demikian. Para guru kerap melontarkan deretan kalimat ini.…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221